Mereka berdua berkuda dengan cepat. Melintasi pepohonan dengan akar-akar besar yang mencuat dari dalam tanah. Kaki-kaki kuda yang ramping tapi padat dengan otot itu bergerak dengan lincah. Menghindar dari tumpukan batu, tunggul, pepohonan, dan arang melintang lainnya yang mengganggu dalam perjalanan.
Mangkuto memacu kudanya dengan begitu cepat. Memukul tunggangganya dengan tali. Kuda itu sedikit terpekik. Kaki-kakinya bergerak dengan cepat. Berusaha mengejar laki-laki di depannya yang sudah bergerak begitu laju.
Kuda dipacu sejak matahari masih baru terbit di ufuk timur hingga cahaya besar itu sudah berada di atas ubun-ubun mereka berdua.
Pemuda itu diam saja ketika laki-laki di hadapannya bertanya apakah bisa membantunya atau tidak.
"Kau berkenan membantuku, Mangkuto?" tanya laki-laki itu sekali lagi.
Mangkuto menggeleng pelan. Lawan bicaranya itu sudah menduga jawaban dari pemuda yang dimintai pertolongan.
"Tidakkah kau ingin bertemu dengannya langsung? Aku tahu rasanya bagaimana seseorang yang belum pernah bertemu sekalipun langsung mengajaknya menikah. Terlalu aneh dan terlalu cepat."
"Maaf untuk itu aku tidak bisa. Tuan salah menyangka jika aku adalah laki-laki yang baik. Aku hanyalah seorang peternak kuda. Tidak ada bedanya dengan pemuda-pemuda yang Tuan ceritakan."
"Tapi kau berbeda, Mangkuto. Kau sudah memiliki pekerjaan walaupun itu usaha sendiri. Kau juga begitu mandiri. Sangat aman jika Zylia berada di sampingmu. Bahkan aku sendiri tidak bisa menemukan laki-laki yang membuat keponakanku itu bunting."
Pemuda itu menghela napas berat. Dia sebenarnya tidak harus untuk menolong laki-laki di depannya itu. Meskipun aura yang dipancarkan sama dengan mendiang ayahnya dulu. Tegas, berwibawa, dan ramah. Sepertinya Mangkuto mesti berpikir ulang tentang hal itu. Pemuda itu mestinya tidak mengambil kesimpulan terlalu cepat tentang orang yang baru dikenalnya.
Tapi sepertinya dia telah terlambat untuk berpikir jika apa yang dilakukannya itu keliru. Dia begitu keliru lantaran begitu sangat merindukan sosok ayah walaupun sebentar. Ini bisa menjadi pelajaran baginya untuk ke depan.
Jangan terlalu cepat untuk menilai seseorang.
"Apakah sekarang kau sedang sibuk?"
"Tidak."
"Kuda-kudamu?"
"Sekarang aku libur. Tidak ada yang datang untuk membeli kuda hari ini."
"Berkenankah kau pergi bersamaku untuk menemui Zylia, keponakanku."
"Tentu."
"Baik. Kita pergi sekarang. Kau sudah sarapan?"
Mangkuto terdiam. Dia menatap laki-laki di depannya lekat-lekat.
"Kita pergi sekarang?" Ada keraguan yang dirasakan oleh Mangkuto terkait jawabannya.
"Iya. Bukankah kau bisa bertemu dengannya hari ini?"
Dia memaki dirinya sendiri. Entah bagaimana jawaban itu langsung terlontar oleh mulutnya tanpa perlu berpikir panjang bahwa jawaban itu akan menentukan nasibnya untuk ke depan.
"Tidak bisakah aku menemui esok atau lusa?" Mangkuto berusaha menawar atas apa yang dia katakan tadi.
Laki-laki itu menggeleng. "Tidak bisa. Urusan ini begitu mendadak dan mesti diselesaikan dengan cepat."
Mangkuto kembali terdiam. Dia tidak tahu mesti bagaimana lagi. Ucapannya tidak bisa ditarik lagi. Dia berusaha untuk tenang walaupun dalam dirinya begitu kacau balau. Pemuda itu tidak belajar dari apa yang dilakukannya tadi. Mulai dari terlalu cepat mengambil kesimpulan untuk menilai orang dan sekarang ringan lidah untuk menjawab keinginan orang lain. Bahkan sejak awal pemuda itu tidak ingin menerima ajakan laki-laki itu untuk menikahi keponakannya itu.
Zylia. Perempuan yang tidak diketahui oleh Mangkuto seperti apa rupanya. Apakah seperti perempuan pada umumnya yang dikenalnya. Atau dia adalah perempuan yang berbeda. Seperti apa bentuk wajahnya. Bulat, lonjong, atau kotak. Bagian terpentingnya bagaimana sampai perempuan itu bisa bunting. Dari cerita oleh laki-laki itu tidak jelas. Dia tidak juga menjelaskan bagaimana rupa Zylia. Keponakan perempuan satu-satunya. Bahkan berapa usianya tidak disebutkan.
Laki-laki itu hanya untuk meminta Mangkuto untuk memenuhi keinginannya yang sama sekali tidak ingin dia lakukan. Tapi tidak ada gunanya dia untuk menolak sekarang. Mangkuto sudah menjawab bahwasannya dia bersedia bertemu dengan Zylia sekarang. Pantang juga baginya untuk menarik ucapannya. Dia adalah laki-laki yang berpendirian dari apa yang diucapkannya. Sangat tidak mungkin bagia dia untuk mundur sekarang. Akan dimana letak wajahnya jika mengutarakan maksudnya untuk menarik ucapannya. Menggantinya dengan menolak ajakan itu.
Harusnya dia berpikir terlebih dahulu sebelum menerima ajakan itu, tapi sayang semua sudah terlanjur. Dia urungkan niatnya untuk mengutarakan bahwa dia ingin menolak tawaran menemui Zylia. Mangkuto tatap laki-laki lekat-lekat sekali lagi. Raut wajahnya begitu banyak lipatan di keningnya hingga tampak berkerut. Dia begitu mengharapkan jika Mangkuto yang akan menolongnya. Bukan orang lain. Dia begitu berharap pada Mangkuto. Tapi ada beberapa hal yang tidak bisa dimengertinya. Tentang Zylia yang entah kenapa tidak dibahas lebih dalam oleh laki-laki di hadapannya itu. Tentang kejadian yang menimpa Zylia. Awal mula sehingga dia bisa bunting. Dan raut wajah laki-laki itu yang menyimpan banyak pertanyaan.
Laki-laki itu juga tidak mirip dengan ayahnya. Terlebih ayahnya tidak suka memksa kehendaknya sendiri.
"Beri aku waktu untuk sarapan sekaligus mempersiapkan kuda. Mari kita sarapan bersama."
Laki-laki itu menggeleng. "Aku akan menunggumu di sini, Mangkuto."
Pemuda itu berlalu menuju dapur. Membuka lemari, mengeluarkan isinya. Menyajikannya di atas piring, untuk kemudian memakannya. Setelah makanan itu tandas, dia pergi ke kandang kuda. Memilih satu kuda yang besar dan tegap. Kuda berwarna hitam itu dibawanya keluar. Binatang itu tampak ditempa cahaya matahari pagi. Dia menggiring kuda ke depan rumahnya dimana kuda laki-laki itu sudah ada di sana sejak tadi.
Seiring dengan itu, laki-laki itu keluar dari rumahnya. Dia sudah bersiap-siap untuk pergi. Mangkuto masuk ke rumah. Mengunci pintu dapur dan terakhir pintu depannya. Matahari pagi mengiringi kepergian mereka menuju rumah laki-laki itu.
Kini ketika matahari berada di atas ubun-ubun mereka, perjalanan mereka masih terus berlanjut. Saat matahari sudah bergeser sedikit ke arah barat, mereka berdua berhenti di tepi sungai.
"Kita sebentar lagi akan tiba. Tapi kita tidak akan langsung ke rumah. Kita pergi ke kota, ketika malam, baru kita ke rumahku. Aku tidak ingin kedatanganmu diketahui oleh warga desa. Bisa-bisa mereka akan menyebarkan berita aneh-aneh. Aku tidak ingin menambah masalah lagi."
Mangkuto mengangguk. Manut dengan apa yang dikatakan laki-laki itu.
Mereka berdua hanya berhenti di sana sebentar, untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju kota yang disebut oleh laki-laki itu. Kuda-kuda mereka berhenti di gerbang kota Riak. Konon dulu di kota itu dialiri oleh sungai besar yang sekarang hanya tinggal bekas cekungan dan jalan sungai seterusnya sudah ditimbun oleh tanah. Banyak pepohonan tumbuh di sana. Nama kota Riak hanyalah tinggal nama.
Kuda mereka berjalan dengan lambat. Melewati balai yang ramai menjual berbagai macam barang. Bahan masakan, keperluan rumah, bumbu dapur, peralatan bertani, dan berbagai macam barang lainnya. Laki-laki itu berhenti di lapak penjual buah-buahan. Dia membeli bermacam buah-buahan yang tidak sempat diperhatikan Mangkuto karena langsung masuk ke bekas dari anyaman bambu.
Laki-laki itu mengajak Mangkuto untuk makan. Mereka disuguhkan dengan hidangan dari ikan bakar dan ayam bakar. Harum makanan itu begitu semerbak ketika dihidu. Makanan itu disantap dengan lahap dan cepat. Mereka usai makan ketika matahari sudah hampir tenggelam. Laki-laki itu membayar makanan dengan Kepeng. Kertas-kertas itu diserahkannya pada penjaga kedai.
Mereka melanjutkan perjalanan ketika malam mulai merangkak naik. Senja perlahan pergi dari hadapan mereka digantikan gelap. Lentera menerangi perjalanan mereka. Kali ini menaiki bukit yang sedikit curam dengan lebar jalan hanya untuk dua kuda. Ketika sudah berada di puncak bukit, mereka menyaksikan kota Riak disinari banyak lentera. Seperti tempat itu dibanjiri oleh cahaya kuning.
Di balik bukit yang mereka daki, tampak kumpulan lentera seperti halnya dengan di kota Riak, tetapi hanya sedikit. Tidak seramai di kota.
"Itu adalah desa kami. Kita aman ke sana jika sudah malam."
Kuda-kuda dituntun menuruni lereng yang tidak securam saat didaki. Saat berada di kaki bukit, mereka disambut oleh gerbang yang tidak sebesar di kota Riak. Lentera menyinari mereka sepanjang jalan menuju rumah laki-laki itu.
Rumah laki-laki itu terletak tidak jauh dari gerbang depan desa. Rumah kayu yang lebih besar daripada rumahnya Mangkuto. Dia tidak bisa memperhatikan lebih jelas tentang rumah laki-laki yang dikunjunginya itu karena gelap. Cahaya lentera tidak cukup untuk menerangi keseluruhan rumah.
Pintu rumah diketuk pelan dan disambut dengan suara pintu dibuka dengan perlahan. Seorang laki-laki menyambut mereka berdua.
"Kau sudah dapatkan laki-laki yang mampu menanggung Zylia?" Itu pertanyaan yang dilontarkan ketika Mangkuto dan laki-laki yang bersamanya masuk rumah. Pintu kembali dikunci.
Orang yang ditanyai itu mengangguk. "Kau sudah berdiri di depannya, Jen."
"Oh, pemuda ini, Khaz?"
Laki-laki itu kembali mengangguk.
"Maafkan aku yang sampai sekarang selalu mengganggu hidupmu yang tenang, Khaz."
Orang yang bernama Khaz itu menatap adiknya lekat-lekat. "Tidak apa. Sebagai seorang abang, aku akan menjaga keluarga adikku."
Mangkuto baru tahu jika nama laki-laki itu adalah Khaz. Mungkin karena dia tidak bertanya perihal itu karena tidak penting mengetahui nama pembeli kudanya.
"Siapa nama pemuda ini?"
"Namanya Mangkuto. Mangkuto ini adikku, Jen."
Mangkuto bersalaman dengan laki-laki yang perawakannya mirip Khaz itu. Sama-sama berbadan besar dan suaranya yang juga besar.
"Dimana Zylia?"
"Dia bersama ibunya. Akan aku panggilkan."
Mangkuto dan Khaz dipersilakan menunggu di ruang tamu. Mereka duduk di kursi berlengan. Tangan Mangkuto menumpu pada lengan kurisyang juga menumpu pada dagunya. Akan berupa seperti apa perempuan yang akan ditemuinya itu. Ingin rasanya dia mundur dari pertemuan ini. Tidak mengikuti keinginan Khaz dan kembali ke desa Tanah Lapang. Tapi itu sangat bertentangan dengan apa yang selama ini dipegang teguh olehnya.
Seorang perempuan datang ke ruang tamu. Rambut panjang hitamnya tergerai hingga mencapai pinggangnya. Rambut yang halus dan bagus sangat sesuai dengan wajahnya yang bulat. Putih bersih. Segala kecantikan melekat pada dirinya. Bahkan auranya sangat keibuan.
Mangkuto terdiam atas apa yang dilihatnya malam itu. Perempuan itu begitu mempesonanya. Jika saja perempuan itu ditempa cahaya matahari, kecantikannya sungguh mempesona. Hanya diterangi oleh lentera saja dia benar-benar sangat cantik. Pakaiannya serbaputih itu menambah keanggunan dirinya.
Laki-laki mana yang tidak tergoda untuk mengawininya barang sekali. Mangkuto meneguk ludahnya sendiri. Akhirnya dia tidak merasa menyesal atas keputusannya yang tiba-tiba itu.
Sayangnya Zylia bukan lagi seorang perawan.