Dikisahkan ada seorang pemuda peternak kuda yang terkenal akan kejujurannya. Sifatnya itu tidak ada tandingnya di antara pemuda seusianya atau pun mereka yang berumur di atasnya. Tiada tanding untuk kejujurannya itu. Orang-orang di desa Tanah Lapang itu langsung mengenali pemuda itu dari pakaian yang dikenakannya. Dia memakai baju berkerah berwarna hijau daun dengan celana panjang hitam dan selop. Pakaian yang sederhana dan bermartabat untuk seorang peternak kuda.
Kuda-kuda yang dirawatnya bagus-bagus. Banyaknya dia mengkembang biakkan kuda-kuda untuk dibawa perang. Binatang itu besar-besar, gagah, dan tampak berani ketika orang menungganginya. Tidak ada tandingannya dengan peternak kuda lainnya. Kualitas kuda-kudanya yang termashyur itu terdengar ke berbagai desa lainnya, ke Andalas, hingga ke pulau seberang. Sama terkenalnya dia sebagai orang yang jujur.
"Aku tidak akan pernah kecewa berniaga denganmu, Mangkuto." Laki-laki berpakaian baju hitam dengan kerah tegak itu berkata. Buah bajunya yang berwarna emas terlihat mengkilap ditempa cahaya matahari. Juga terdapat rantai emas yang menggantung di saku kiri bajunya. Wajahnya begitu bahagia melihat pemuda itu. Melepaskan topi yang dikenakannya yang berwarna sama.
Pemuda yang bernama Mangkuto itu tersenyum. Dia menuntun pelanggannya untuk memasuki rumahnya. Menyiapkan teh dan kudapan berupa kue kering yang dibuat dari adonan tepung, telur, bawang merah, bawang putih, daun bawang, dan beberapa rempah-rempah lalu digoreng kering.
Mereka berdua bercakap apa saja. Membahas apapun yang terlintas dalam benak masing-masing.
"Aku tidak pernah menyangka jika kau yang membuat semua hidangan ini," kata laki-laki itu ketika pertama kali mencoba kudapan di depannya. Tidak pernah dia rasakan kudapan lebih enak daripada apa yang dimakannya di tempat Mangkuto.
"Aku belajar dari mending ibuku. Dia pembuat kue kering dahulunya sebelum meninggal karena penyakit."
"Bukankah kau yang harusnya melanjutkan usaha ibumu? Ini bisa menjadi peluang untukmu, Mangkuto."
Pemuda itu tersenyum ramah sembari menggeleng pelan.
"Tidakkah kau ingin memiliki pekerjaan tetap yang penghasilannya lebih besar beternak kuda. Misalnya menjadi pasukan dari Para Penguasa." Laki-laki itu berkata demikian ketika membahas perihal keinginan-keinginan yang tidak pernah terwujud hingga sekarang.
"Aku sudah nyaman bekerja seperti ini. Beternak kuda. Dan aku tidak mempunyai mimpi yang begitu tinggi untuk aku gapai sekarang."
Atau membahas pasangan.
"Hei, kau tidak ada berpikir untuk mencari pendamping hidup? Umur kau sudah layak memiliki istri. Malah ketika aku seumuran dengan kau, aku sudah memiliki dua anak. Bahkan temanku sudah empat anaknya."
Mangkuto kembali menggeleng pelan. "Untuk sekarang belum ada perempuan yang dekat lebih dalam. Maksudnya belum sampai untuk tahap serius. Tuan bisa lihat sendiri, aku sedang sibuk mengurus kuda-kuda ini. Bagiku, ini salah satu jalan supaya aku memiliki banyak Kepeng untuk membangun hidup berdua entah itu dengan perempuan manapun. Bukankah perempuan akan menyukai laki-laki yang memiliki banyak Kepeng, Tuan?" Pertanyaan terakhir pemuda itu diiringi gelak tawa.
Laki-laki yang menjadi lawan bicaranya itu juga ikut tertawa. "Kau benar, Mangkuto. Sebagai orang yang sudah mempunyai istri, aku tidak menyangkalnya. Kepeng adalah hal yang paling utama dalam rumah tangga."
"Atau jangan-jangan Tuan ingin menjodohkan anak perempuan Tuan denganku?"
Laki-laki itu kian keras tertawanya. "Aku sangat berbahagia sekali jika kau yang meminang salah satu anak perempuanku. Sayangnya, kelima anakku laki-laki semua."
Mereka berdua sama-sama tergelak kian keras.
Ketika senja sudah mulai merangkak ke malam, laki-laki itu pulang membawa dua belas ekor kuda yang besar-besar dengan otot kakinya menonjol. Cocok untuk digunakan perjalanan jauh atau bepergian jauh.
Pemuda itu bisa dekat dengan siapa saja, meskipun sifat aslinya adalah pendiam. Dia seperti ubi. Dimana ditanam, tumbuhan itu tumbuh, berkembang, dan menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. Mangkuto sangat mirip dengan ubi.
Tapi dengan laki-laki yang menjadi pelanggannya itu bisa dikatakan agak diistimewakannya. Ada bayang-bayang sosok ayahnya dalam laki-laki itu. Kendati itu adalah orang yang sekadar pembeli dari barang dagangannya. Laki-laki itu pun sudah lama menjadi pelanggan tetap kuda-kudanya.
Tidak banyak pembeli yang diajaknya untuk masuk ke dalam rumahnya yang sederhana itu. Rumah yang terbuat dari kayu sonokeling dengan tiga kamar, ruang tamu dan ruang keluarga menyatu. Dapur dan ruang makan sedikit terpisah dari rumah. Dan kamar mandi di sungai belakang rumah.
Mangkuto menyiapkan lentera. Memberikan api pada sumbu-sumbu yang sudah disebar di seluruh rumah. Ketika malam datang merambat, rumah itu sudah terang. Rumah terdekat darinya perlu berjalan kaki sekitar seratus langkah. Dari rumahnya hanya bisa terlihat cahaya lentera.
Suara gemercik air sungai belakang rumahnya terdengar lembut. Dia menghela napas. Melihat keluar dimana gelap mengelilingi rumahnya. Dia membuka bingkisan kain cokelat yang diberikan laki-laki itu ketika perniagaan sudah mencapai kata sepakat. Dikeluarkannya semua Kepeng. Bunyi besi beradu dengan meja kayu terdengar nyaring.
Mangkuto mulai menghitung Kepeng.
***
Seminggu kemudian laki-laki itu datang ke rumah Mangkuto. Dia mengetuk pintu kayu berwarna keunguan itu dengan cepat.
"Mangkuto. Kau ada di rumah?"
Diulanginya kegiatan itu sampai buku-buku jari tangan kanannya memerah. Tampangnya gusar dengan padangan yang lari-lari entah kemana. Dia menempelkan wajah ke jendela. Memperhatikan apa saja yang menjadi petunjuk di dalam rumah itu. Di balik jendela yang ditutupi gorden,laki-laki itu menelisik. Sia-sia usahanya karena tidak mendapatkan apa-apa di sana.
Tidak ada orang di dalam rumah itu.
Kali ini dia memukul kaca jendela dengan agak keras. Suaranya sedikit bersisik, tapi itu tidak membuat pemuda yang dicarinya keluar dari rumah. Dia mundur selangkah dari jendela di hadapannya. Menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan pelan. Berusaha tenang walaupun pikiran banyak yang dipikirkannya dan hatinya kian gundah. Pandangannya kini berpindah ke selop yang ada di depan pintu masuk. Laki-laki itu yakin jika alas kaki itu milik pemuda yang sedang dicarinya. Tapi dia dimana, laki-laki itu tidak memiliki jawabannya.
Dia keluar dari teras tempatnya berdiri sedari tadi. memperhatikan rumah itu dengan seksama. Rumah kayu dari sonokeling itu berwarna ungu gelap. Pemuda itu tidak memberi warna pada rumahnya. Warna ungu gelap itu berasal dari warna kayunya. Pemuda itu hanya memolesnya dengan cairan yang bisa mengkilapkan kayu sehingga warna asli kayunya keluar.
Ada beberapa jendela yang hanya terdiri dari satu jendela saja. Laki-laki itu menduga jika salah satu dari jendela-jendela itu adalah kamarnya Mangkuto. Tapi dia tidak tahu dimana letak pastinya. Lagipun tidak sopan jika dia sampai mengetuk jendela-jendela itu, walaupun pemuda itu akan keluar untuk menemuinya.
Tapi ini sedikit aneh baginya. Mangkuto yang dikenlanya sebagai pemuda yang penuh dengan disiplin bisa bangun siang. Mengingat dia sebagai peternak kuda, itu adalah hal yang sangat sia-sia. Dia paham betul tentang keseharian peternak kuda. Bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan diri sendiri, setelah pagi datang barulah para peternak kuda itu mempersiapkan kuda-kudanya untuk dibawa keluar sekedar mencari makan ataupun membersihkan binatang pencari Kepeng itu.
Sepanjang jalan menuju rumahnya Mangkuto dan di sekitar pekarangan rumahnya, tidak ada satupun tampak oleh laki-laki itu kuda-kuda milik pemuda yang dicarinya. Pikirannya kian kacau karena apa yang diinginkannya, bertemu dengan Mangkuto itu bisa batal. Laki-laki sangat membutuhkan pertolongan Mangkuto. Bukan sebagai pelanggan setia dalam perniagaan. Tapi sebagai rekan perniagaan.
Terdengar olehnya suara gemercik air dari arah belakang rumah Mangkuto. Laki-laki itu penasaran. Perlahan dia berjalan dari samping rumah kayu itu ke arah suara air. Didapatainya seorang pemuda sedang mandi. Tubuhnya yang penuh otot itu begitu mengkilap karena air dan ditempa cahaya matahari. Air sungai seinggi dada itu sangat jernih sehingga bisa melihat tubuh bagian bawah pemuda itu dan batu-batu yang berserakan di dasarnya.
"Mangkuto."
Pemuda itu membalikkan badan. Tampak olehnya laki-laki yang membeli kudanya seminggu lalu itu berdiri dengan raut wajah yang gusar. Mangkuto berjalan ke tepi sungai. Mengambil kain, lalu melilitkannya ke pinggang. Untuk kemudian berdiri di depan laki-laki itu.
"Ada apa?"
"Aku butuh bantuanmu, Mangkuto." Laki-laki itu masih berusaha tenang.
Pemuda di hadapannya sedikit memiringkan kepala. "Bantuan seperti apa?"
"Kau tidak sibuk sekarang? Mengurus kuda? Atau sudah ada janji kegiatan yang lainnya?"
Mangkuto menggelengg. "Hari ini aku libur. Kuda-kuda tidak aku keluarkan."
Laki-laki itu baru paham kenapa tidak ada kuda-kudanya Mangkuto di pekarangan rumahnya. Dia menghirup napas dalam-dalam. Lalu mengembuskannya. Berat untuk dia mengatakan apa yang ingin dimintanya.
Dia diam cukup lama. Hingga akhirnya berkata dengan napas yang berat.
"Aku ingin meminta bantuanmu untuk menikahi keponakanku."
Ada beban berat yang dipikul laki-laki itu dalam permintaannya. Ada banyak hal yang tidak diketahuo pemuda itu. Dan itu membawanya pada garis kehidupan yang tidak pernah dia duga sebelumnya.