Chereads / TIRTA NIRWANA / Chapter 11 - 10 | HIKAYAT DI TANAH LAPANG 2

Chapter 11 - 10 | HIKAYAT DI TANAH LAPANG 2

"Kita masuk dulu ke dalam rumah."

Laki-laki itu mengangguk pelan. Dia pergi ke rumah bagian depan. Melepaskan selopnya di teras dan menunggu pemuda yang dicarinya itu untuk membuka pintu rumah. Selepas kepergian laki-laki itu, Mangkuto membuka pintu belakangnya. Masuk dari dapur, meninggalkan peralatan mandinya di dapur, meletakkan pakaian kotonya di bekas yang terletak di sudut dapur. Masih memakai kain yang melingkari pinggangnya, pemuda itu berbegas ke ruang tamu. Membuka pintu, menyilakan tamunya itu untuk masuk. Sementara itu, Mangkuto kembali berjalan menuju kamarnya yang tidak jauh dari ruang depan.

Dia menutup pintu kamar untuk kemudian membuka lemari. Mengambil baju hijau berkerah dan celana hitam. Dia juga mengambil baju dalam yang berwarna hitam dan celana dalam yang berwarna sama. Di depan cermin, pemuda itu mematut badannya yang telanjang. Memperhatikannya satu persatu. Tubuhnya yang tinggi berisi tampak mengisi pantulan cermin itu. Dia membalik badan, berusaha melihat tubuh belakangnya yang berotot.

Apa yang dilihat laki-laki itu sehingga memintanya untuk menikahi keponakannya?

Mangkuto kembali membalikkan badannya. Kini dia memperhatikan wajahnya yang lonjong dengan garis-garis tegas di keningnya. Alis tebal bertengger di atas sepasang matanya yang bulat dengan alis yang panjang. Hidung mancung yang memiliki kumis tipis di bawahnya. Bibirnya tidak terlalu tebal dan giginya tertata rapi. Pipinya tirus dan mempunyai lesung di kedua pipi. Dagu yang sedikit lancip itu menambah kesan gagah pada dirinya.

Apa yang bisa dia tawarkan dari rupanya ini? Dia hanyalah pemuda biasa yang menjalankan bisnis berdagang kuda.

Dia menyegerakan untuk memakai baju. Berhenti untuk berpikir yang tidak harus dipikirkannya. Tentang apa yang diingikan laki-laki itu biarlah nanti bagaimana cara dia menjawabnya. Menerimanya atau menolaknya.

Kembali dia berdiri di depan cermin. Kini Mangkuto sudah memakai baju hijau berkerah dengan lengan panjangnya serta celana hitam. Dia menyisir rambut hitam legam yang lurus itu. mematut lagi dirinya untuk kemudian melangkah ke pintu kamar dan membukanya.

Didapatinya laki-laki itu tengah duduk dengan keadaan yang begitu gusar. Kaki kanannya terus bergerak dengan cepat. Beberapa kali dia berusaha menghentikan kegiatan itu, tapi tidak bisa. Tetap saja kaki kanannya itu bergerak dengan cepat. Laki-laki itu tidak menyadari jika pemuda yang ditungguiny sudah keluar dari kamar.

"Maaf jika lama, Tuan. Aku akan membuat teh sebentar."

Laki-laki itu sedikit terkejut. Kaki kanannya masih bergerak. "Tidak perlu. Aku perlu berbicara denganmu mengenai tawaran tadi."

Mangkuto mengangguk. "Aku paham. Tapi biarlah teh yang akan menemai perbincangan kita. Sepertinya Tuan sudah melakukan perjalanan jauh. Sangat tidak sopan bagiku untuk tidak menjamu tamu. Tuan bisa beristirahat sebentar di kamar atau kalau tidak di ruang tamu saja."

"Tidak, terima kasih. Cukup di sini saja, sudah nyaman. Maaf merepotkan."

"Tidak sama sekali."

Setelah berkata demikian, Mangkuto langsung ke dapur yang terpisah dari rumah bagian utama. Mengambil cerek yang berisi air panas yang dimasaknya pagi tadi. Menyiapkan dua gelas untuk kemudian mengisinya dengan dua sendok gula. Mengambil bubuk teh yang dibelinya di pekan minggu lalu. Meletakkan bubuk teh pada saringan, untuk kemudian menuangkan air dari cerek ke dua gelas itu. Dia juga memberikan tatakan pada dua gelas itu sehingga mudah dibawa.

Laki-laki yang menunggu di ruang tamu itu sedang berbaring sambil meluruskan kedua kakinya. Kaki kanannya tidak lagi bergerak cepat. Ketika Mangkuto datang membawa dua gelas the, laki-laki itu langsung duduk. Mangkuto mengambil posisi duduk di kursi yang untuk satu orang. Pemuda itu meletakkan kedua tangannya pada lengan kursi yang dilapisi kapas.

"Minumlah terlebih dahulu. Kita bisa bicarakan ini dengan pelan-pelan."

Laki-laki itu menuruti pinta Mangkuto. Mengambil gelas teh yang sudah dihidangkan di depannya. Menghidu aromanya yang harum dan menenangkan kepalanya sejenak. Untuk kemudian menyeruput teh itu dengan perlahan. Merasakan setiap tetes teh itu di kerongkongannya. Nikmat yang dirasakannya setelah lama tidak minum teh untuk waktu lama, mengingat banyak hal yang harus dikerjakannya hingga bisa sampai ke tempat Mangkuto.

Dia meletakkan gelas ke tadah dengan agak tergesa. Bunyi gelas dan tadah itu beradu terdengar nyaring. Suara yang memecah keheningan di antara mereka berdua.

"Maaf."

Mangkuto menggeleng. "Tuan tidak perlu terburu-buru. Kita masih ada waktu untuk berbincang-bincang seperti biasa."

"Tidak ada waktu lagi. Ini semua mendesak. Suratan tadi takdir ini mesti dijalani. Dan permasalahan ini mesti dicari jalan keluarnya." Laki-laki berbaju hitam itu terdiam cukup lama, untuk selanjutnya dia mengembuskan napas yang berat.

"Aku tidak tahu mesti meminta tolong kepada siapa lagi, selain kau, Mangkuto. Aku tidak punya kenalan pemuda yang sebaik dan semandiri kau. Pemuda-pemuda di kampung saya dan sekitarnya lebih banyak pergi dari kampung dan bergabung dengan pasukan Para Penguasa. Kalaupun ada pemuda-pemuda yang masih tinggal di kampung, mereka tak lebih dari babi-babi yang berkeliaran di hutan. Keluar masuk kampung tanpa tahu adab dan sopan santun. Bukan kepada orang tua atau sesamanya, tapi lebih parah lagi. Tidak ada harga dirinya sebagai manusia.

"Tidak mungkin aku meminta bantuan kepada orang-orang seperti itu. Dimana letak harga diriku dan keluarga yang sudah susah payah dibangun oleh moyang kami. Ini adalah masalah serius bagi kami. Tidak perlu ada campur tangan orang-orang kampung yang hanya bisa berbicara di belakang kami. Ini adalah masalah keluarga. Meskipun orang-orang kampung lebih lama kenal dengan keluarga kami, tapi aku sendiri tidak sepenuhnya untuk bisa mempercayai mereka. Aku hanya kenal kau, Mangkuto. Kau adalah pemuda yang baik dan layak untuk keponakanku.

"Aku tidak tahu kapan ini terjadi awal mulanya. Keponakanku yang bernama Zylia datang kepadaku kemarin malam, ketika aku dan istriku sudah berbaring di tempat tidur untuk beristirahat. Zylia, kedua orang tuanya, dan semua saudara laki-lakinya yang berjumlah empat orang itu datang. Beruntung mereka tidak bertemu dengan satu pun warga kampung, sehingga aku dan istriku tidak perlu memikirkan tentang perktaan mereka. Zylia datang membawa kabar yang membuat bapaknya naik pitam, bahkan aku duga sampai sekarang adikku itu tidak ingin melihat wajah anaknya barang sekejap. Meskipun sekarang sama-sama berada di rumahku. Keponakan perempuanku itu bunting entah oleh laki-laki mana. Tidak jelas. Bahkan dia sendiri tidak pernah ingat jika sudah pernah tidur dengan laki-laki yang tidak dikenalnya.

"Ibunya yang pertama kaki mengetahui anak perempuan satu-satunya itu tengah berisi. Ibunya menemukan Zylia dalam keadaan pucat pasi dan muntah-muntah yang tidak jadi di kamarnya. Perempuan itu beranggapan jika anaknya sedang masuk angin, tapi sampai beberapa saat tidak ada satupun yang keluar dari mulut Zylia. Salah satu saudaranya memanggilkan tabib untuk datang ke rumah. Betapa terkejutnya hasil yang disebutkan oleh tabib itu. Zylia sedang bunting, sudah tiga purnama kehamilan itu. Semua orang di rumah itu terkejut bukan main. Ibunya pingsan. Keempat abangnya meminta penjelasan. Dan bapaknya hampir memukul Zylia dengan sarung pedang yang dibawanya.

"Aku tidak menduga jika hal ini akan terjadi pada keponakan perempuanku satu-satunya. Aku sangat malu mendengar kabar di tengah malam itu, dan beruntungnya tidak ada satupun warga kampung yang mengetahui kabar itu. Tidak akan aku biarkan satupun kabar mengenai keponakanku itu terdengar oleh mereka. Lebih baik kepala ini dipenggal daripada kabar ini menjadi santapan gunjingan mereka."

Laki-laki itu menatap ke lantai. Menunduk dalam-dalam. Untuk kemudian menatap Mangkuto lekat-lekat. Seolah tidak ingin melepaskan pemuda di hadapannya itu. Mereka berdua kembali dalam diam. Pemuda itu balas menatap laki-laki di depannya dengan tenang.

"Jadi?"

Laki-laki itu mengambil gelas tehnya. Meminumnya perlahan-lahan seperti tadi.

"Kau berkenan membantuku, Mangkuto?"