Perjalanan ke Kampar dilanjutkan setelah acara jamuan makan yang diajak oleh Ziam. Jamuannya benar-benar menyenangkan walaupun ada beberapa hal yang mesti digaris bawahi untuk dilupakan. Atau sama sekali tidak perlu ada di dunia. Sangat janggal untuk menyebut aku sebagai Sang Penyelamat yang ada di ramalan masa lalu itu. Ziam beserta warganya mengakui aku sebagai Sang Penyelamat. Sayangnya bagiku itu adalah sebuah olok-olok yang jelas lagi nyata.
"Salam sembah sujud untuk Sang Penyelamat." Perkataan Ziam dituruti oleh semua warganya. Suara mereka padu padan menjadi satu.
Sejak awal, Sang Penyelamat memanglah benar hanya seorang manusia biasa. Tetapi itu bukan berarti setiap manusia bisa menjadi Sang Penyelamat. Setiap manusia juga emmang ditakdirkna unutk menjadi penyelamat bagi hidupnya sendiri ataupun penyelamat bagi hidup orang lain. Tetapi itu tidak memungkin setiap orang yang berhak menjadi orang yang disebutkan dalam ramalan itu. Tidak ssma sekali.
Terlebih untuk aku yang mereka anggap manusia sekaligus Sang Penyelamat.
Aku sendiri adalah makhluk yang jauh dari sempurna. Untuk berbicara saja tidak mampu, apalagi memenuhi impian mereka, jika aku adalah Sang Penyelamat yang dibicarakan oleh ramalan. Seorang pahlawan adalah manusia yang sempurna. Tidak ada cacayt fisik maupun cacat batinnya. Tidak ada keraguan dalam jalan hidupnya. Bagaimanapun, pahlawan adalah sosok yang begitu sempurna bagi setiap orang.
"Tidak ada yang meragukan kau sebagai Sang Penyelamat. Ramalan telah membuktikannya. Dan itu adalah takdir mutlak yang mesti dijalani."
Bahkan aku sendiri meragukan diri sendiri apakah aku manusia atau bukan.
Tidak ada yang istimewa dari perjamuan makan yang diberikan Ziam selain bukti sebagai tanda terima kasih karena saudagar dan aku telah menolong mereka dari serangan naga. Setidaknya tidak menambah orang-orang mati di desa itu.
"Aku ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya sudah menolongku. Tidak peduli jika kakiku hilang sebelah, tapi sekarang aku masih bisa hidup. Menatap matahari pagi dan melepasmu pergi melanjutkan perjalanan, Pendekar." Xavier berdiri di depanku dengan raut wajah yang sudah lebih tenang daripada sebelum makan tadi. Dia mengulurkan tangannya, aku membalas menjabat tangan kanan itu. Tangan yang keras, besar, dan kasar, ciri-ciri orang pekerja keras. Dia menggenggam dengan begitu erat, seperti orang yang tidak akan bertemu lagi. Pemuda itu juga memberikan satu helai pakaian, katanya sebagai ganti sudah membakar bajuku karena menolongnya.
Aku juga bertemu dengan ibunya Maria. Dia masih menatap kosong ke arah tempat terahir kali gadis itu berdiri untuk kemudian dimakan oleh naga. Perempuan itu tampak kehilangan cahaya hidupnya dari sorot matanya yang begitu kosong. Walaupun dia sudah berusaha untuk menyibukkan dirinya atas kepergian anaknya, dan ibu-ibu lainnya terbuka lebar tangannya untuk membantu ibunya Maria. Sayangnya hal itu tidak serta merta bisa melupakan putri satu-satunya yang meninggal dengan cara yang tragis. Jasad tidak ada apalagi batu mejannya.
Perempuan itu menatapku ketika dia datang ke hadapa saudagar dan aku. "Terima kasih." Dia berkata sambil membungkuk. Memberikan penghormatan. Untuk kemudian dia kembali berdiri seperti biasa.
"Aku tidak akan menyalahkan kau atas kematian anakku, Pendekar. Tidak akan pernah. Kalaupun yang mesti disalahkan adalah Xavier, pemuda dungu itu. Tapi itu tidak perlu juga. Aku mestinya juga berterima kasih kepada pemuda itu walaupun dungu. Dia adalah orang yang baik, yang bersedia berteman dengan Maria hingga sekarang. Tapi untuk sekarang aku tidak bisa melakukannya.
"Aku tahu kau telah banyak berbincang dengan pemuda itu. Aku tidak tahu apa yang kalian bincangkan, tapi aku bisa menerkanya sendiri. Dia adalah pemuda yang kesepian. Sekali lagi terima kasih banyak."
Perempuan itu berlalu pergi. Kembali berkumpul dengan ibu-ibu lainnya. Saudagar menatapku penasaran semenjak ibunya Maria sudah jauh.
"Sudah aku duga, kau orangnya pandai untuk berbaur. Majikan kau saja yang terlalu melarang ini itu. Padahal dulu saja kau dibelinya kan?"
Aku mengangguk.
Aku memang dibeli oleh orang yang menjadi majikan hanya untuk menempa besi. Membuatkannya pedang yang sangat banyak. Tidak ada bayaran Kepeng. Laki-laki itu hanya memberiku makan tiga kali sehari dengan lauk yang itu-itu saja, ikan lele. Tidak ada hari libur selama menjadi budaknya. Aku juga sekaligus menjadi pengawalnya ketika melakukan perjalanan ke desa lain, dan belum lagi untuk megurus perampok-perampok. Dan laki-laki itu hanya bisa bersembunyi di balik kereta kuda sambil memeluk tas yang berisi banyak Kepeng.
"Aku paham apa yang kau rasaakan. Terkekang olehnya. Sudah lama aku ingin mengajak kau untuk melakukan perjalanan ini. Terlebih kau ada tujuan tertentu untuk melakukan perjalanan ini bukan?"
Sekali lagi aku mengangguk. Aku bersedia menjadi teman perjalanannya hanya untuk mencari Tirta Nirwana yang digadang-gadangkan oleh Ziam sebentar lagi akan muncul. Tidak ada yang akan di mana benda tersebut akan muncul.
'Perjanjian apa yang kau lakukan dengan majikanku, Saudagar?'
Laki-laki yang berpakaian cokelat itu terdiam. "Kau akan mengetahuinya nanti. Aku belum siap untuk mengatakannya sekarang." Dia berkata setelah lama memandang bukit tempat bermalam sebentar kemarin.
Ziam dan warga lainnya mengantarkan saudagar dan aku ke kaki bukit dimana tempat kami pertama kali datang. Laki-laki bersongkok putih itu memeluk kami satu per satu dengan erat dan hangat. Seperti teman lama. Ziam juga membagikan beberapa bingkisan yang didapatkannya dari Panglima Sutar untuk bekal perjalanan kami.
"Aku tidak bisa menerimanya. Kalian lebih perlu daripada kami. Aku bisa mencari bahan apa saja untuk dimakan. Di hutan banyak bahan makanan. Kau dan warga yang sangat membutuhkan. Simpan saja." Saudagar menolak dengan tegas bingkisan itu.
Panglima Sutar dan anak buahnya juga turut melepas kepergian kami dari desa yang tidak bernama itu.
"Maafkan saya yang menantang Pendekar secara sembarangan." Laki-laki yang memakai zirah itu membungkuk diikuti oleh semua anak buahnya. Meskipun begitu, wajahnya tampak masih masam.
Panglima Sutar bangkit, lalu berjalan cepat ke arahku. Kepalanya berada di samping kananku.
"Urusan kita belum selesai. Saat kita bertemu kembali, saya pastikan kau dan saudagar yang banyak lagak itu akan masuk kerangkeng." Untuk kemudian Panglima Sutar berlalu. Kembali ke pasukannya. Ucapannya penuh dengan bisikan tetapi begitu mengancam. Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya. Meskipun saudagar banyak memegang kartu Panglima itu dan bisa mengendalikannya, aku tidak bisa bergantung pada itu saja.
Lagipun Panglima Sutar dan aku apakah akan bertemu lagi tidak ada yang tahu jawabannya.
Saudagar dan aku menaiki kuda. Memukul kuda dengan tambang, binatang itu terpekik. Kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Kampar ketika matahari belum sampai di ubun-ubun. Ziam dan warganya melepas kami dengan sorak sorai senang dan penuh haru. Termasuk para peri yang entah dari mana muncul kembali ketika saudagar dan aku melanjutkan perjalanan.
Salah satu peri ikut dengan perjalanan kami. Makhluk itu hanya seukuran telapak tanganku dengan tubuh bercahaya biru dan sayap tembus pandang. Sepertinya sayapnya begitu rapuh. Wajahnya putih bersih dan berseri dengan rambut cokelat panjang. Tidak jelas apa jenis kelamin peri ini, dia tidak berbicara selain kata RIP. Jadi tidak bisa untuk aku simpulkan apa jenis kelaminnya.
Perjalanan kami melewati pohon-pohon yang begitu rindang dan jarak antar pohon hanya bisa dilalui untuk seekor kuda. Dahan-dahannya panjang dan tebal dengan rimbun daun yang lebat. Cahaya matahari hanya nampak di beberapa tempat yang kosong. Terlalu sulit untuk cahaya matahari menembus dasar hutan.
Laju kedua kuda berlari dengan cepat. Berusaha mengejar waktu untuk tiba di Kampar sebelum senja datang. Entah apa yang akan menanti kami di tempat itu.