Chereads / BALASAN UNTUK SUAMIKU / Chapter 1 - Pesan Yang Mengganggu

BALASAN UNTUK SUAMIKU

Tyara_Sani
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 24.8k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Pesan Yang Mengganggu

****

[Mas jangan lupa, segera tranfer uang lima juta ke nomor rekening Adik, ya!]

Kubaca pesan itu berkali-kali. Sejak kapan Mas Helmi punya Adik? Yang kutahu Mas Helmi itu anak bungsu, dari dua bersaudara.

Ketika Mas Helmi sedang mandi, aku berhasil menyadap  aplikasi Whatsappnya. Berkat bantuan sahabatku, Vio. Ia yang menyarankanku untuk melakukan itu, ketika suami di rasa mencurigakan gerak-geriknya.

"Vio, aku wajib curiga gak, sih? Kalau suamiku tiba-tiba aneh?" tanyaku, beberapa waktu lalu.

"Aneh gimana, Dinda?" Vio malah balik nanya.

"Suka senyum-senyum sendiri sambil mainin ponsel, atau saat menjawab panggilan telepon dia akan berusaha menjauh dariku, bergaya ala anak muda, pokoknya mencurigakan gitu, lah," jawabku malas mendeskripsikan semuanya.

"Hati-hati loh, jangan-jangan suamimu puber kedua!" celotehnya sambil tertawa puas.

"Jangan nakut-nakutin, dong, Vi!" 

"Usia berapa emang suamimu sekarang, Dinda?" tanyanya lagi.

"Empat puluh lima."

"Tuh!" sahutnya, sambil menunjukan telunjuknya di depan wajahku.

"Tuh, apaan?" tanyaku. Vio sukses membuatku penasaran dengan ucapannya yang tak jelas dan terkesan menggantung.

"Biasanya laki-laki itu akan mengalami masa puber kedua diusia segituan, tapi tenang aku tahu cara membajak aplikasi whatsappnya. Nanti kuajarkan, ya!" ucapnya, membuatku tiba-tiba meriang di siang-siang begini.

Aku segera mengambil minumanku untuk sekadar mendinginkan tenggorokkan yang berasa panas mendengar ucapan sahabatku.

'Apa ia, suamiku sedang jatuh cinta lagi?' 

****

Namaku Adinda Putri syakira, dan suamiku Helmi Aditya. Kami terbilang pasangan yang jarang sekali bertengkar, meskipun Mas Helmi orangnya dingin dan jauh dari kata romantis. Namun tak masalah, selama dia tak selingkuh dan berpaling dariku.

Usiaku lebih muda delapan tahun dari Mas Helmi, aku masih terlihat fresh karena rutin melakukan senam zumba bersama teman-teman sosialitaku, lumayan menguras lemak yang bersarang indah di perutku.

Kami telah memiliki dua orang putra, yaitu Adam dan Alif. Adam berusia dua belas tahun, dan sedang menempuh pendidikannya di sebuah pesantren ternama di kota ini. Sedangkan si Alif baru genap lima tahun, bulan ini.

Tak ada angin tak ada hujan, Mas Helmi sedikit demi sedikit memperlihatkan perubahannya. Ia akan marah jika Mbak Sri menyetrika bajunya kurang rapi atau Mbak Sri lupa menyemir sepatunya. 

Dia akan mendatangi toko-toko milik kami setiap hari dengan gaya nyentriknya, serta parfum yang baunya sembriwing membuatku langsung pusing saat mencium baunya, meski dari jarak dua meter.

Pernah, waktu itu dia berdandan ala anak muda. Memakai kaus yang berbahan rajut tangan panjang warna hitam, jeans yang super ketat dan dipadukan dengan sepatu sport. Ya Allah, aku terkekeh melihat perutnya yang terpampang nyata buncitnya. Namun, setelahnya, aku ketakutan sendiri kenapa suamiku jadi bertingkah begitu?

Dengan ragu aku mengikutinya. Agar dia tak curiga aku sengaja memakai taxi. Tak lupa aku mengenakan masker dan kacamata hitam serta jilbab yang lebar agar dia tak mengenaliku.

Tak ada yang mencurigakan, dia benar-benar datang ke toko, melakukan rutinitas seperti biasa, mengutak-ngatik komputer, mengganti pajangan, dan menyapa beberapa karyawan perempuan yang muda-muda tentu cantik dan menarik.

"Mas Hel, anak-anak SPG disuruh berhijab saja," saranku waktu itu.

"Buat apa? Biarlah mereka begitu agar menarik minat pembeli. Menurut Mas cara berpakaian mereka masih sopan-sopan, Kok."

"Lalu kenapa Mas meminta aku berpakaian yang longgar-longgar?" tanyaku memancingnya.

"Kamu istri Mas , jelas cuma Mas yang bisa menikmati indahnya lekuk tubuhmu," kilahnya beralasan.

Aku hanya bisa menghela nafas dengan kasar, mendengar jawaban yang menyiratkan keegoisan. Tetapi, aku tak bisa memaksakan kehendakku untuk di turutinya. Karena bagaimana pun yang berkuasa di bagian pemasaran adalah Mas Helmi. Sedangkan aku? Hanya berperan dibalik layar. 

Aku bertanggung jawab di bagian produksi. Aku akan membuat desain busana-busana yang sedang di gandrungi anak-anak muda jaman now dan memilih bahan-bahan yang nyaman saat dipakai. Namun untuk bagian penggajian aku serahkan pada orang keparcayaanku, jadi setiap pemasukan dan pengeluaran tentu melalui pengecekanku terlebih dahulu.

Untuk sampai dititik ini tidak semudah membalikan telapak tangan pemirsa, waktu itu aku dan Mas Helmi merangkak dulu dari bawah. 

Dulu, pertama kali toko ini berdiri, aku pernah menjadi kasir. Padahal waktu itu aku lulusan sarjana Akuntan, tetapi entah kenapa aku tak berminat mencari pekerjaan yang menjanjikan gaji besar, malah senang berjibaku dengan pekerjaan dan sekaligus hobi sejak dulu.

Orang tuaku memberikan modal yang cukup besar untuk bisnis yang sedang kugeluti, mereka menggantungkan harapan padaku setelah beberapa kali, kakakku gagal berbisnis dibidang ini.

"Adinda, di Bandung toko kita sudah ada enam dan sudah berjalan dengan baik. Mas rencananya ingin membuka cabang di Jakarta, di Pasar Abang 'kan pusat grosir, Mas rasa keuntungannya akan jauh lebih besar. Apalagi barang kita barang produksi, pasti laku keras, tuh!" ujarnya setahun yang lalu.

Aku menyetujuinya dan menggelontorkan dana yang lebih besar untuk membuka cabang di sana, tiga toko sekaligus. Beberapa kali kutemukan ada pengeluaran yang tak singkron, tetapi Mas Helmi bilang biaya renovasi di sana lebih mahal jika dibandingkan di kota Bandung. 

Untuk karyawan awal, aku dan Mas Helmi sengaja memutasikan Karyawan lama dari Bandung, dengan iming-iming tinggal di rusun, biaya mudik di tanggung perusahaan, dan gaji dua kali lipat. Aku cukup paham di sana biaya hidup pun akan jauh lebih mahal dibandingkan di kotaku, dan itu yang membuat karyawan-karyawanku betah bekerja denganku.

Sejak membuka cabang di Jakarta, Mas Helmi kadang harus menginap di sana barang dua atau tiga hari, dengan alasan memantau kerja para karyawan. Aku tak keberatan soal Mas Helmi yang sering bermalam di sana, karena pernikahan kami sudah berjalan hampir lima belas tahun. Sungguh, tak akan mungkin Mas Helmi berpaling dariku!

Kepercayaan demi kepercayaan untuk Mas Helmi terus kupupuk, hingga aku merasa begitu sangat percaya padanya. Aku menjadi perempuan yang terlalu naif tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada Mas Helmi akhir-akhir ini.

****

Pesan itu terus saja mengganggu pikiranku, apa Mas Helmi benar-benar berkhianat dariku? Apa kurangku? Aku cantik, meski tak muda lagi. Pelayananku di atas ranjang juga tidak monoton, berkali-kali aku mendapatkan pujian darinya, katanya aku sangat memuaskan. 

"Sayang, kenapa kamu diam saja?" tanyanya.

Aku hampir berhenti bernapas mendengar pertanyaan Mas Helmi, sejak kapan dia memanggilku dengan kata sayang? dia tak seromantis itu!

"Eh, anu ... Mas, aku sedang kepikiran Alif." Aku tergugup karena sebenarnya pikiranku sedang travelling ke pesan tadi. 

"Alif kenapa, Dinda?" tanyanya, terdengar panik. Seketika ia menghentikan aktivitasnya dari ponsel yang akhir-akhir ini terlihat selayu bergelayut manja di tangannya.

"Minta jalan-jalan, Mas, tapi bareng kamu!" Aku terpaksa berbohong.

"Nanti kita atur waktunya, ya!" 

"Oke, Mas."

'Terus saja kamu berpura-pura, Mas, sampai kamu ketahuan berkhianat dariku akan kubuat kamu menyesal seumur hidupmu!'

_______________