****
"Mau kemana sepagi ini?" tanya Mas Helmi ketika melihatku telah berpakaian rapi.
"Ke toko, Mas." Aku menjawab singkat.
"Untuk apa? Lagian toko baik-baik saja tak ada masalah. Kamu di rumah, biar Mas saja yang handle!" sahutnya lagi.
"Emh, kamu 'kan sering bolak-balik Jakarta, apalagi kamu sering menginap di sana. Yang di Bandung biar aku saja yang handle, lagian aku harus tahu betul model apa yang sedang trandy sekarang ini." Aku beralasan.
'Tentu saja aku harus bermain cantik untuk menghempaskan benalu sepertimu, Mas!'
"Kan, ada Hana. Dia bisa menangani semuanya, Dinda!" kilahnya ngotot.
"Mas, Hana itu hanya kerja dan dia di bayar untuk itu! Apa salahnya aku sebagai istri dari pemilik toko ingin ikut serta dalam membesarkan toko kita?" ucapku, kali ini dengan intonasi tinggi karena berpura-pura baik di depan orang yang sudah ketahuan berkhianat itu tak mudah.
"Dinda, Aku tak mau kamu kelelahan. Kamu itu istriku sudah selayaknya aku memperlakukanmu bagai ratu, diam di rumah saja! " elaknya, terus beralasan.
'Hahaha, Ratu di rumah saja. Lalu di luar sana kamu menghabiskan uang serta waktumu untuk berzina. Astagfirullah!'
"Mas, cukup aku tidak mau berdebat denganmu kali ini! Aku sudah membuat keputusan untuk kembali mengelola toko, dan kamu tak perlu bersikeras untuk melarangku. Kamu fokus saja pada toko yang di Jakarta!" Setelah berkata begitu, aku segera berlalu dari hadapannya.
****
"Selamat pagi, Ibu!" sapa Hana, sambil mengangguk hormat kepadaku.
Aku menatapnya cukup lama. Andai saja aku punya bukti dia ada andil dalam perselingkuhan suamiku, akan kupecat dia sekarang juga.
"Selamat pagi juga, Hana. Oya, setengah jam lagi tolong antarkan laporan keuangan tiga bulan yang lalu ke ruangan Bapak, ya!" perintahku pada Hana.
"Baik, Bu."
Setengah jam kemudian, Hana masuk setelah mengetuk pintu ruangan. Aku mempersilakannya duduk terlebih dahulu, lalu Hana menyodorkan berkas-berkas itu padaku.
"Hana, kemarin aku melihatmu berpelukan dengan perempuan yang datang bersama Mas Helmi kemari ...." Aku sengaja menjeda ucapanku, lalu memperhatikan raut wajah Hana yang tiba-tiba berubah gelagapan di depanku.
"Bisa kamu jelaskan padaku, siapa perempuan itu?" kulanjutkan ucapanku sembari menatapnya dengan penuh permohonan.
Hana Bergeming, jemarinya memainkan ujung kemeja yang di kenakannya.
"Hana, kamu tahu? Kamu sudah lama ikut denganku, aku memberikan kepercayaan penuh sama kamu, tapi kenapa ketika ada masalah seperti ini kamu tak bisa kasih tahu saya?" cecarku, emosi yang sedari ku redam hampir saja pecah bersamaan dengan air mata yang terjatuh di sudut mataku. Aku tak boleh lemah, segera kuhapus air mata yang sempat jatuh itu dengan cepat sebelum Hana melihatnya.
"Hana, Aku tahu ibumu sedang sakit keras, gajimu sebagian besar kamu habiskan untuk membayar obat-obatan. Lalu bagaimana kamu akan membayarnya jika aku memberhentikan kamu dari pekerjaan ini?" lanjutku lagi.
Aku terpaksa mengancamnya, agar dia tak bungkam terus-terusan. Aku butuh penjelasan darinya, karena aku yakin dia tahu banyak tentang skandal suamiku dengan perempuan muda berambut pendek itu.
"Ibu, aku mohon jangan pecat aku!" ucapnya pelan, sambil menatapku.
"Baik, katakan semuanya yang kamu tahu sekarang juga, Hana!" gertakku.
"Perempuan itu, sebenarnya anak dari Bapak yang meninggal karena Pak Helmi tak sengaja menabraknya enam bulan yang lalu, Bu." Hana menjelaskan dengan pelan.
'Tabrakan?'
Seketika aku teringat kejadian enam bulan yang lalu, Mas Helmi pulang dengan mobil yang penyok bagian depannya.
"Kamu kenapa, Mas?" tanyaku panik.
"Mobilku menabrak tiang listrik, Din. Aku ngantuk, jadi tak konsentrasi mengemudi," jawabnya lagi.
"Buat apa bayar sopir kalau kamu lebih senang pergi sendiri? Jadinya seperti ini, kan!" gerutuku, tanganku dengan lihai mengompres kening suamiku yang lebam sedikit.
"Besok minta Dahlan untuk menjual mobil ini, ya Din! Aku nggak mau memakainya lagi." Ia memijit keningnya, seperti gelisah.
"Loh, kok, langsung dijual? Kan, masih bisa di perbaiki dulu." Aku mengernyitkan kening. Aneh saja, Mas Helmi langsung memutuskan untuk menjual mobilnya, padahal ini salah satu mobil kesayangannya.
"Dinda, pernah dengar nggak cerita tentang mobil yang pernah kecelakaan, selanjutnya akan terus kecelakaan, bahkan memakan korban. Aku nggak mau kamu, atau anak-anak kita mengalami itu." Mas Helmi menjelaskan dengan terburu-buru.
"Mitos itu, Mas! Yang pernah kudengar kalau kendaraan yang habis kecelakaan sampai ada korban jiwa , baru di sebut mobil bayangan dan di percaya akan kecelakaan terus," sahutku.
"Sekarang juga kecelakaan, aku nabrak tiang listrik. Apa harus aku mati dulu baru kamu akan setuju untuk menjual mobil ini?" ujarnya dengan nada tinggi.
"Loh, kok, malah ngomongnya kemana-mana sih cuma gara-gara mitos doang. Terserah kamu, kalau mau jual mobilnya silakan saja!" timpalku, malas memperpanjang perdebatan kami waktu itu.
****
'Apa itu ada hubungannya dengan penjelasan dari Hana?"
"Bu, Bu Dinda," panggil Hana.
Aku berusaha mengingat kejadian-kejadian janggal sekitar enam bulan yang lalu.
"Bu, apa Ibu baik-baik saja?" tanya Hana, wajahnya tampak khawatir.
"Ya, aku baik-baik saja. Apa kamu tahu hubungan mereka sejauh apa? Apa mereka sudah menikah, Hana?" tanyaku mulai kehilangan sabarku.
"Kalau masalah itu aku tidak tahu," jawab Hana.
"Ya sudah, kamu kembali bekerja saja!" titahku pada Hana.
Tadinya, hari pertama aku datang ke toko, aku ingin mengecek laporan keuangan. Namun, ketika mendengar penjelasan Hana, niat itu tiba-tiba memudar.
Jika memang, Mas Helmi menabrak Bapak dari perempuan muda itu, apa perempuan itu tahu tentang kecelakaan bapaknya yang di sebabkan oleh Mas Helmi? Rasanya mustahil.
Aku harus bergerak cepat, jangan sampai Mas Helmi kadung curiga dengan apa yang sedang kuselidiki saat ini.
Aku memutuskan untuk pulang saja. Namun ketika hendak beranjak, tiba-tiba aku merasakan ingin buang air kecil dan segera bergegas ke toilet.
Ketika di dalam toilet, aku mendengar sayup-sayup suara seseorang sedang berbicara lewat sambungan telepon.
"Bapak tenang saja, aku yakin Bu Dinda pasti percaya."
Namaku dengan jelas di sebutnya.
"Ok, jangan lupa transferannya, ya, Pak!"
Degh.
Aku yakin sekali itu Hana. Hana sedang menelepon seseorang dan ia memanggilnya Bapak! Apa Itu Mas Helmi?
Aku perlahan membuka pintu toilet, namun tak ada siapapun di sana. Bahkan, semua pintu toilet dalam keadaan terbuka. Aku gegas keluar mencoba menyusul Hana barangkali dia ke toilet hanya sekadar untuk menelepon saja.
Dari kejauhan, aku melihat Hana berjalan menuju toko, aku yakin sekali perempuan yang tadi menelepon di toilet itu Hana. Dia, berani main-main denganku dan bersekongkol dengan Mas Helmi.
Aku bergegas meninggalkan toko dan menuju parkiran, tak apa aku belum punya bukti tentang Hana yang telah bersekongkol dengan suamiku, tapi aku sudah tahu dia selicik apa?
Brug!
Seseorang sengaja menubrukku, lalu di segera bangun dan mengambil tasku lalu kembali lari menjauh dariku. Aku yang seperti terhipnotis saat lelaki itu menubrukku, lalu aku berteriak meminta pertolongan dan berusaha mengejar orang itu.
"Maling! Maling! Tolong, tasku di ambil orang itu!" Aku berteriak-teriak, namun lelaki itu telah menghilang dari pandanganku.
Aku menghela napas, kesialan menimpaku bertubi-tubi. Ketika rumah tanggaku sedang ada masalah, dan satu-satunya bukti yang akan memberatkan Mas Helmi untuk membuatnya akan kehilangan semuanya raib seketika.
________________