Kedua insan yang saat ini masih saling berhadapan itu sama-sama merasa gugup. Amara berulang kali menghela nafas panjang lalu berkata,"Kenapa tiba-tiba tanya begitu?"
"Karena gue suka sama lo, Amara." Bryan mengatakan itu dengan penuh kemantapan. Ucapan Bryan tadi membuat Amara jadi terperangah.
"Lo serius?" Amara seolah masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Iya. Gue serius. Gue juga nggak tahu sejak kapan gue bisa suka sama lo," jawab Bryan tersenyum.
"Kok bisa begitu?"
"Karena gue merasa nyaman ada di dekat lo. Lo adalah satu-satunya orang yang bisa mengerti gue tanpa mempermasalahkan semua yang ada pada diri gue."
Seketika hati Amara jadi bergetar dengan sangat hebat. Ia seakan ingin pingsan mendengar ucapan Bryan tadi. Amara sama sekali tidak peduli dengan kekurangan dan kelebihan yang dimiliki Bryan itu. Mungkin bagi orang lain kelebihan Bryan itu sangat menakutkan. Tapi bagi Amara, semua itu tidak pernah mengurangi rasa nyamannya ketika berada di samping Bryan.
"Sebenarnya... Aku..." kalimat Amara terhenti di sini. Amara menahan malu, wajahnya jadi merah seperti tomat masak.
"Aku juga suka sama kamu," lanjut Amara. Kali ini ia bukan lagi menyebut gue dan lo, melainkan aku dan kamu kepada Bryan.
Bryan tersenyum tersipu malu. Meskipun sebenarnya ia juga sudah tahu dengan jawaban yang akan keluar dari mulut Amara. Tapi tetap saja rasanya bahagia sekali bisa mendengar jawaban itu dari Amara.
Bryan ingin sekali memeluk Amara saking bahagianya. Tapi ia melihat ada banyak sekali orang yang datang di cafe itu. Akan sangat memalukan jika ia harus memeluk Amara di hadapan orang banyak.
"Kita pulang sekarang yuk!" kata Bryan menggandeng tangan Amara.
Amara mengangguk dan menyambut tangan Bryan dengan lembut.
Namun sebelum Bryan mengantar pulang Amara ke rumahnya, Amara ingin mampir ke sebuah minimarket untuk membeli kebutuhan sehari-harinya.
Mereka pun masuk ke dalam sebuah minimarket.
Namun di sana, Bryan bertemu dengan seorang wanita yang sama sekali tidak ingin Bryan temui.
Iya, wanita itu adalah Moa. Ibu dari gadis malang yang tadi ia temui di rumah sakit.
Entah kenapa Bryan selalu merasakan aura negatif jika melihat wanita itu. Bryan sampai tak dapat berkutik lagi bahkan ia lemas tak berdaya. Aura negatifnya benar-benar kuat dan membuat Bryan jadi tidak tahan berlama-lama di dalam sana.
"Hai, kamu Bryan kan? Yang sudah menolong putri saya tadi?" katanya sambil melempar senyuman ke arah Bryan.
Namun Bryan hanya menunduk, bahkan untuk sekedar melihat matanya saja Bryan tidak berani.
Aura pada wanita itu benar-benar negatif. Bryan merasa wanita itu sudah dipengaruhi oleh roh jahat yang menempel di tubuhnya.
"Lain kali kamu main ke rumah saya ya," lanjut wanita itu lagi. Bryan masih diam dan tak berani untuk mengangkat kepalanya. Ia hanya menunduk dan berharap Amara bisa lebih cepat lagi menyelesaikan belanjanya.
Akhirnya Amara pun telah selesai belanja. Dengan cepat Bryan pergi meninggalkan wanita itu tanpa bicara sepatah katapun.
Bryan mengantar Amara pulang. Namun sepanjang perjalanan pulang, Amara merasa ada yang aneh dengan sikap Bryan. Bryan jadi diam dan seperti orang ketakutan. Tangannya sedikit gemetar dan wajahnya juga sedikit pucat.
"Kamu kenapa? Sejak keluar dari minimarket tadi kamu diam aja?" tanya Amara sambil memegang tangan Bryan.
"Nggak. Nggak apa-apa kok," jawab Bryan terpaksa berbohong. Padahal ia masih terus memikirkan wanita itu.
Aura negatif yang ada pada tubuh wanita itu benar-benar sangat kuat. Wanita itu sudah dalam pengaruh roh jahat.
Bryan tidak ingin lagi berurusan dengan wanita itu ataupun dengan keluarganya. Karena ia tidak mau sesuatu buruk terjadi padanya nanti.
Setibanya di rumah Amara, Amara segera mengambil alih barang belanjaan yang tadi dibawa oleh Bryan.
Dengan wajah yang sedikit khawatir Amara berkata,"Kalau ada apa-apa kamu cerita aja sama aku ya. Aku nggak mau kamu diam dan melamun seperti tadi."
"Iya. Aku pasti cerita kok sama kamu," ucap Bryan sambil mengelus rambut Amara dengan lembut. Amara tersenyum dan segera masuk ke dalam rumahnya.
Bryan sengaja tidak mau mengatakan hal ini kepada Amara karena ia tahu Amara akan sangat mengkhawatirkan Bryan jika tahu masalah ini.
Bryan pun kembali pulang ke rumahnya setelah ia mengantar Amara pulang.
Sesampainya Bryan di rumah, ia disambut oleh Bella yang sudah berdiri di ruang tamu.
Wajah Bella tampak sedih dan gelisah.
"Akhirnya kamu pulang juga. Kenapa tadi teman kamu mengambil baju kamu?" tanya Bella dengan suara yang lembut.
"Nggak apa-apa. Itu memang gue yang nyuruh kok," jawab Bryan dengan nada suara yang dingin. Kemudian Bryan melangkah meninggalkan Bella yang masih berdiri di sana.
"Tunggu!" teriak Bella menghentikan langkah kaki Bryan.
"Bisakah kamu berhenti bersikap dingin seperti ini kepadaku? Apakah kamu tidak pernah tahu apa yang aku rasakan? Aku mencintai kamu..." kata Bella membuat Bryan sedikit terkejut. Meskipun ia sendiri sudah tahu dengan perasaan Bella kepadanya.
"Maaf, kalau gue selalu bersikap dingin sama lo. Gue hanya nggak mau lo berharap lebih sama lo. Gue tahu perasaan lo, tapi sekali lagi gue minta maaf karena gue nggak bisa membalas perasaan lo itu," jawab Bryan dengan wajah yang penuh rasa bersalah.
Wajah Bella terlihat semakin sedih. Ia kecewa dengan jawaban yang keluar dari mulut Bryan. Nakuns setidaknya ia juga sudah merasa lega karena ia sudah berani mengatakan apa yang selama ini ia rasakan.
"Nggak papa. Tapi setidaknya bersikap baiklah sedikit kepadaku!" ucap Bella pelan.
"Gue akan coba itu," sahut Bryan sambil melanjutkan langkahnya ke dalam kamar.
Bella memang sakit hati karena perasaannya tak mendapat balasan dari Bryan. Namun Bella sadar kalau ia memang tidak pantas bersanding dengan manusia seperti Bryan. Ia hanyalah arwah yang tak dapat terlihat oleh orang lain kecuali Bryan.
Bryan masuk ke dalam kamarnya. Ia berbaring di atas tempat tidurnya sambil tersenyum membayangkan kejadian yang akan sangat berkesan dalam hidupnya. Kejadian di cafe bersama dengan Amara tadi.
Bella yang melihat itu jadi semakin terluka karena tahu Bryan telah mencintai gadis lain. Namun lagi-lagi ia menyadari bagaimana posisinya yang memang tak pantas untuk Bryan.
Bryan menatap langit kamarnya, membayangkan wajah Amara yahh begitu cantik. Senyumannya yang manis bahkan tak bisa terlupakan dari benak pikiran Bryan. Ia juga sangat bahagia sekarang karena telah mengungkapkan perasaan kepada Amara, dan perasaan itu mendapat balasan yang sama dari Amara.
Baru kali ini Bryan merasakan bahagia yang teramat sangat. Ia sampai tidak bisa tidur memikirkan hal itu. Membayangkan wajah Amara yang sulit untuk dilupakan.