Chereads / BRYAN ANAK INDIGO / Chapter 12 - Cerita Masa Kecil

Chapter 12 - Cerita Masa Kecil

Setelah terbaring di rumah sakit selama dua hari dua malam, Bryan akhirnya sadar dari pingsan. Ia melihat Amara sudah duduk di sampingnya. Wajahnya sendu dan begitu cemas melihat ke arah Bryan.

"Akhirnya lo sadar juga," ucap Amara yang sangat panik dan cemas dengan kondisi Bryan.

Tangan Bryan telah diperban akibat luka yang dideritanya. Selang infus juga masih menempel di tangan kirinya. Ia juga masih mengenakan selang oksigen di hidungnya karena kemarin ia sempat kehilangan banyak oksigen.

"Berapa lama gue pingsan?" tanya Bryan sambil bangkit dari tempat tidurnya dan melepas semua peralatan rumah sakit.

"Udah dua hari. Eh lo mau kemana? Lo belum boleh balik, masih harus di sini dulu," ucap Amara mencoba mencegah Bryan untuk tidak pergi tanpa izin dari dokter.

Bryan paling tidak suka dengan rumah sakit. Rumah sakit adalah salah satu tempat dimana ia bisa memunculkan kekuatan yang ia miliki. Ia bisa melihat semua kejadian yang menimpa banyak orang di sana. Penderitaan, kejadian aneh dan mengerikan juga sering Bryan alami jika berada di rumah sakit. Maka dari itu ia ingin segera pulang meskipun dokter belum mengizinkannya.

"Gue mau pulang sekarang!" ucap Bryan tetap memaksa.

Akhirnya Amara menuruti kemauan Bryan. Ia pun mengantar Bryan sampai ke rumahnya.

Setibanya mereka di rumah Bryan, Bryan baru ingat soal Bayu.

Pria yang sudah berusaha mencelakai Amara di apartemen itu.

"Oh iya gimana sama cowok itu?" katanya sambil menatap ke arah Amara.

"Bayu sudah dibawa ke psikiater. Katanya dia memiliki kepribadian ganda. Makanya dia bisa bersikap seeperi itu."

Bryan bernafas lega akhirnya ia bisa tenang sekarang setelah mendengar hal itu.

"Oh iya gue masih pemasaran deh kemarin itu apa sih yang sudah lo lakukan ke dia sampai dia berteriak histeris begitu?" tanya Amara dengan wajah yang serius.

Bryan sudah menduga kalau gadis ini pasti akan menanyakan tentang itu. Bryan hanya menghela nafas, mencoba mengingat kejadian yang kemarin terjadi di apartemen itu.

"Nggak ada kok. Gue cuma mencoba mempengaruhi pikirannya aja," kata Bryan dengan tenang.

"Maksudnya? Mempengaruhi pikirannya gimana?" Amara mengerutkan keningnya masih bingung.

"Iya gue cuma bilang aja lewat pikiran, kalau dia itu bukan jodoh lo. Jadi dia nggak bisa memaksakan kehendaknya itu lagi untuk bisa memiliki lo," ucap Bryan dengan wajah yang datar.

"Ih, kok gitu? Kasihan dong dia. Nanti kalau pikirannya jadi down gimana? Memangnya nggak ada cara lain lagi apa yang bisa lo lakukan selain itu?"

"Nggak ada cara lain lagi. Hanya itu yang bisa gue lakukan. Lagipula hidup ini keras, jadi harus dihadapi dengan cara yang keras juga."

Bryan mulai kesal karena Amara terlihat seperti sangat mempedulikan Bayu.

Amara akhirnya berpamit pulang. Ia sangat berterimakasih atas bantuan yang sudah Bryan lakukan tempo hari. Jika tidak ada Bryan mungkin Amara sudah terluka di tangan Bayu.

***

Keesokan harinya

Mereka kembali dipertemukan di sekolah.

Bryan, Dennis, dan Amara duduk di kantin sekolah. Mereka sedang ingin menikmati sarapan di kantin.

Melihat Bryan yang kesulitan memegang sendok akibat tangan kanannya masih diperban, Amara jadi merasa tidak tega. Ia juga berinisiatif untuk membantu Bryan.

"Mau gue bantu? Gue suapin ya," katanya sambil tersenyum.

"Nggak perlu. Gue bisa sendiri kok," jawab Bryan tetap kekeh ingin makan sendiri.

"Hm... Bilangnya nggak mau, padahal dalam hatinya sih dia mau banget..." kata Dennis menggoda Bryan. Wajah Amara jadi memerah mendengar ucapan Dennis itu. Sementara Bryan tetap berusaha tenang meskipun ia jadi sedikit gugup.

"Lo jadi ikut audisi itu Bry?" tanya Dennis setelah berhenti menertawakan Bryan tadi.

"Nggak jadi."

"Kenapa?" tanya Dennis dan Amara dengan kompak sambil menatap ke arah Bryan.

"Gue pikir di sini lebih enak. Kalau gue ikut audisi itu dan ternyata gue lolos, maka gue harus pergi ke Korea. Di sana gue harus mulai beradaptasi lagi dengan lingkungan di sekitar. Untuk orang-orang kaya gue, beradaptasi di tempat yang baru itu bukanlah hal yang mudah. Gue nggak mau mengulang lagi masa kecil gue yang suram."

"Memangnya masa kecil lo seperti apa?" tanya Dennis yang penasaran dengan masa kecil Bryan. Selama ini Bryan tidak pernah bercerita soal masa kecilnya pada Dennis.

Amara juga ikut penasaran, ia menunggu jawaban yang keluar dari mulut Bryan.

"Yang jelas masa kecil gue nggak seindah masa kecil kalian."

Bryan jadi membayangkan saat-saat dia masih kecil dan mulai menceritakan kepada kedua temannya itu,

Pada saat usia Bryan sepuluh tahun, ia hidup di sebuah panti asuhan.

Ia sudah ditinggal oleh kedua orang tuanya sejak ia masih bayi. Entah siapa dan dimana kedua orang tuanya sekarang. Panti asuhan itulah yang sudah membesarkan Bryan hingga ia berusia sepuluh tahun.

Ibu panti dan semua teman seusianya sangat baik dan menyayangi Bryan. Namun entah kenapa Bryan tetap merasa ia ingin sekali pergi dari sana.

Bryan ingin keluar dari panti itu karena merasa sudah tidak tahan lagi dengan semua peraturan yang ada di sana. Ia ingin hidup bebas tanpa kekangan dan tekanan lagi. Seperti seekor burung yang terbang bebas di angkasa.

Bryan biasa menghabiskan waktu bersama teman-temannya yang ia temukan di jalanan ketika ia sedang mengamen. Berbekal sebuah ukulele Bryan menjadi pengamen jalanan. Suaranya yang khas dan merdu itu membuat semua orang yang mendengarnya akan terkesima.

Sepulang dari mengamen, biasanya Bryan pergi ke sebuah sungai untuk membersihkan diri. Seperti layaknya anak-anak lain, mereka sangat senang jika sudah berada di sungai. Mereka juga kerap mengadakan sebuah lomba berenang. Siapa yang bisa lebih dulu sampai di dasar sungai, ialah pemenangnya.

Namun sayangnya hari itu, kaki Bryan terpeleset dan ia jatuh. Kepalanya membentur sebuah batu besar di sungai itu. Darah segar mengalir dan ikut terbawa arus sungai.

Kesadaran Bryan mulai menghilang ketika ia sudah merasa kepalanya sangat pusing.

Bryan akhirnya pingsan dan tidak sadarkan diri.

Ketika Bryan sadar, ia sudah mendapati dirinya berada di rumah sakit.

Di sanalah awal mulai Bryan menyadari ada sesuatu yang aneh pada dirinya.

Ia melihat seorang gadis kecil yang menangis histeris di ruangan itu.

Di sisi gadis kecil itu ada dua orang yang diduga sebagai orang tuanya.

Mereka mencoba menenangkan gadis kecil itu. Namun ia terus menangis ketakutan. Bryan yang melihatnya jadi bingung.

Kemudian ia mencoba melupakan tentang gadis kecil itu dan fokus pada kondisinya yang masih lemah.

Namun hal aneh kembali terjadi. Ia justru mendengar dan melihat banyak sekali kejadian aneh di dalam pikirannya. Bryan sendiri bingung kejadian apa yang ada di dalam benaknya itu. Ia belum menyadari kalau dirinya kini telah memiliki kekuatan yang jarang dimiliki oleh orang lain.