Langit berwarna merah, beberapa awan tampak ada yang kekuningan akibat terkena sinar matahari yang berada di ufuk barat, ada pula yang tidak terkena sinar itu hingga membuatnya tampak gelap. Suasana hutan yang tadinya tenang, sekarang dipenuhi suara khas dari masing-masing monster yang hidup di sana. Mereka sedang saling memberi sinyal kepada kelompok dan keluarganya, menyuruh mereka yang tidak tahu waktu untuk segera kembali ke sarang, beristirahat, menunggu hari berganti. Atau ada pula yang sebaliknya, suara itu merupakan pertanda monster yang baru bangun dari tidurnya.
Terlepas dari arti suara itu, intinya suara-suara itu saling menimpali, membentuk sebuah alunan melodi yang sangat menenangkan di telinga. Sayangnya, alunan itu tidak bisa dinikmati Rendy yang saat ini sedang berada di dalam helikopter.
Ya, tidak ada yang salah dengan kata barusan, helikopter. Di tengah hutan ada helikopter, tapi tidak ada pabrik untuk membuatnya, bagaimana mungkin? Tidak ada yang tidak mungkin, kekuatan yang dimiliki Rendy dapat mengatasi semua itu. Menggunakan bahan sisa-sisa equipment yang tak terpakai dalam pembuatan armor dan weapon, serta ditambah sedikit campuran kayu dari Pohon Iron, sudah dipastikan hasilnya akan memiliki daya tahan yang sangat bagus. Rendy cukup yakin helikopter itu dapat membawa mereka mengarungi hutan yang penuh bahaya ini dengan aman, bahkan mungkin dapat membawa mereka sampai ke tempat tujuan, yaitu perkotaan.
Tentunya, sebelum berangkat ke kota, mereka terlebih dulu menyelesaikan segala urusan yang ada di tempat ini, seperti membersihkan Shadowwolf yang sekarat untuk menaikkan level. Lalu membuat sepasang cincin dan weapon lagi sebagai cadangan seumpama ada pertempuran hebat di jalan, yang mengakibatkan kerusakan pada equipment. Kemudian menyiapkan perbekalan, dan membawa barang yang dikira perlu untuk dibawa.
Untuk yang terakhir, setelah melakukan begitu banyak aktivitas yang menyebabkan keringat bercucuran, sudah semestinya diakhiri dengan mandi air dingin. Itulah yang sedang dilakukan Sabrina, sedangkan Rendy seperti yang terlihat sekarang di dalam kokpit. Bersandar pada kursi, melipat kedua tangannya di dada, menaikkan kaki ke atas dasbor helikopter, menatap bosan pada pemandangan yang ada di sebelah kanannya, semua hal itu diakibatkan terlalu lama menunggu Sabrina.
Dalam kebosanannya itu, Rendy merasa menyesal membiarkan Sabrina mandi sendiri. Kalau tahu akan lama, Rendy tak akan mandi lebih awal, dan akan memilih menemani Sabrina mandi seperti biasa agar kejadian seperti itu tak terjadi. Namun, nasi sudah menjadi bubur, yang bisa dilakukan Rendy hanya menerimanya sambil mengukir di dalam pikirannya untuk tidak membiarkan Sabrina mandi sendiri bila akan menghadiri acara apapun.
Di tengah penantian yang lama, akhirnya terdengar suara pintu helikopter yang terbuka. Suara itu otomatis menarik minat Rendy untuk mengalihkan wajah bosannya ke arah datangnya suara, dan saat mendapati apa yang ada di sana, Rendy diam membeku dengan mulut terbuka.
Dalam balutan armor tadi siang, Sabrina sedang naik ke helikopter. Gerakannya memang biasa sebagaimana orang-orang yang akan naik ke helikopter, tapi entah mengapa perpaduan antara warna rambut perak, pupil mata emas, dan desain armor yang tak jauh-jauh dari kedua warna tersebut, mengubah gerakan yang biasa itu menjadi gerakan yang sangat anggun bak seorang dewi. Apalagi senyum manis dari bibir merah muda yang Sabrina perlihatkan, itu seakan mensugesti siapa saja yang melihatnya untuk datang memilikinya.
Sungguh godaan tiada tara, hanya melihat senyumnya saja sudah bisa membutakan jiwa. Apa jadinya bila melihat anggota tubuhnya yang lain, bisa-bisa akan dibuat bertekuk lutut di bawah kakinya, memohon untuk menjadi budaknya.
Setidaknya, itulah yang mungkin terjadi kepada orang lain berdasarkan tebakan Rendy. Sementara untuk Rendy, tentu saja tidak akan selebay itu. Ditanya apakah tergoda? Jelas tergoda, dia kan seorang pria normal. Hanya saja, godaan itu masih dalam taraf dapat dikendalikan Rendy. Sehingga dengan sangat mudah Rendy mengembalikan ekspresinya seperti semula, bahkan sebelum Sabrina sempat menutup pintu helikopter.
[Bregkkk] Suara pintu tertutup yang disusul suara [Ceklek] Tanda pintu terkunci.
Dari sana, Sabrina mengalihkan pandangannya ke Rendy, wajahnya tampak menampilkan ekspresi penyesalan. "Maaf, Sayang! Ibu membuatmu menunggu lama!" Disusul pertanyaan yang tidak ingin ditanyakan Sabrina, namun Sabrina tetap memberanikan diri menanyakannya. "Ap-Apakah Sayangku marah kepada ibu?!" Nada bicara Sabrina terdengar ada sedikit rasa takut, takut Rendy menjawab 'iya' gara-gara kesalahan yang dibuat Sabrina dengan sengaja.
Sungguh rasa khawatir yang berlebih, padahal itu cuma kesalahan sepele, membuat Rendy menunggu lama gara-gara mandi yang dilakukan Sabrina untuk menghilangkan kotoran di tubuh setelah sibuk seharian melakukan persiapan pergi ke kota. Namun bagi Sabrina yang ingin selalu tampil perfek di depan Rendy, itu merupakan kesalahan yang amat besar, menurutnya kesalahan sekecil apapun dapat mengurangi rasa cinta yang dimiliki Rendy, dan Sabrina tidak ingin cinta itu berkurang sedikitpun.
Rendy tidak tahu kekhawatiran yang dimiliki Sabrina, yang Rendy tahu hanya pertanyaan itu terdengar sedikit konyol. Akibat terasa konyol, Rendy menjawabnya dengan wajah tersenyum. "Ada-ada aja, itu hanya masalah sepele, buat apa marah!" Di depan, Sabrina tampak menghela napas lega waktu mendengar jawaban dari Rendy. Sementara itu, Rendy masih melanjutkan omongannya. "Yang lebih penting, tidak ada barang bawaan yang tertinggal kan, Bu?!" Berbarengan saat mengatakan kalimat itu, tangan Rendy berusaha mengambil sesuatu dari bawah kursi kokpit.
"Tidak ada! Semua barang berharga yang ada di rumah sudah ibu masukan ke dalam sini!" Di akhir kalimat, Sabrina mengangkat ketiga Tas Penyimpanan untuk menunjukkan kepada Rendy, di mana dia menyimpan barang-barang itu.
"Bagus!" Selesai berbicara, Rendy berhasil menemukan barang yang dicari, itu sebuah remote control yang biasa digunakan untuk mengendalikan mainan pesawat, dan saat Rendy menekan tombol 'On' di remote control tersebut, baling-baling helikopter mulai berputar. "Ibu Siap?! Kita akan berangkat!" Sabrina menganggukan kepala. Melihat itu, Rendy menerbangkan helikopter ke atas, sangat tinggi, sebelum akhirnya terbang ke depan, menuju ke arah tenggelamnya matahari.
Malam berlalu.
Matahari bersinar tepat di atas kepala, menyinari hutan yang tampak sedikit misterius. Misterius di sini karena ada kabut meski ada beberapa hal yang tidak memungkinkan hal itu terjadi. Contohnya seperti pepohonan yang sangat jarang ada di sana, area lebih di dominasi padang rumput, dan yang membuatnya semakin mustahil ada kabut adalah hutan itu berada di dataran rendah. Misterius memang, dan itu sesuai dengan sebutan hutan itu sendiri, Moohu si hutan pembuat orang kesasar.
Biasanya, orang-orang akan menghindari Hutan Moohu, mencari aman dengan memutarinya. Anehnya, ada dua orang yang out of the box, begitu percaya diri melenggang bebas di atas langit-langit hutan itu. Siapa lagi kedua orang itu kalau bukan helikopter yang berisi Rendy dan Sabrina.
Mereka berdua terbang kesana-kemari tanpa arah yang jelas, bahkan beberapa kali terlihat memutari tempat yang sama. Salah satunya, sebuah danau berair jernih yang luasnya sekitar sebuah stadium sepak bola, dan Sabrina adalah orang pertama yang menyadari hal itu. "Bukankah itu danau yang baru saja tadi kita lewati?!" Di depan wajah Sabrina adalah kaca jendela sebelah kiri, tangan kanannya berada di samping wajah untuk menghalangi sinar matahari yang menyilaukan saat sedang memandangi pemandangan yang ada di balik kaca jendela.
Rendy menghentikan helikopternya untuk memeriksa danau yang dimaksud Sabrina. Setelah mengamati danau yang ada di bawah helikopter mereka, Rendy memiliki perasaan bahwa omongan Sabrina ada benarnya juga, sudah berapa kali mereka melewati danau. Hanya saja, Rendy tak yakin semua danau yang mereka lewati itu sama lantaran dia tidak terlalu memperhatikannya.
"Mungkin ya, mungkin saja tidak!" Jawaban Rendy yang masih kurang yakin atas pertanyaan Sabrina. Daripada mengurusi danau itu, Rendy lebih tertarik dengan keadaan di bawah sana, dan Rendy mengungkapkan keadaan yang dimaksud kepada Sabrina. "Kabut di bawah lebih tipis, mungkin kita dapat keluar dari hutan ini lebih cepat kalau lewat darat! Bagaimana menurut ibu?!" Rendy mengalihkan pandangannya dari danau ke Sabrina.
Disusul Sabrina yang juga membalikkan badannya untuk balik menatap Rendy. "Ibu sih setuju-setuju saja! Hanya saja, kata Sayangku kemarin kan helikopter tidak bisa di darat! Lalu apa yang akan kita gunakan untuk melanjutkan perjalanan?!"
"Itu masalah gampang, aku punya solusinya! Kalau begitu sudah diputuskan, kita akan melanjutkan lewat jalur darat!" Helikopter bergerak lagi, diarahkan Rendy menuju daratan, mencari tempat yang menurutnya aman untuk melakukan persiapan perjalanan lewat jalur darat.