Mobil bekas yang baru saja didapatkan beberapa hari lalu ini sering menjadi tumpangan laki-laki yang telah berada di pelaminan dengan menggenggam tangan seorang wanita cantik dan tak lain adalah temannya sendiri, Mahalini.
Demi alasan pekerjaan, Eleanor tidak ingin terlalu lama menghadiri acara pernikahan mereka. Karena terlalu sulit untuk tidak mengenangnya lagi. Sialnya, bahkan musik yang terputar secara acak dari Spotify miliknya saja tahu apa yang tepat menggambarkan suasana hati Eleanor saat ini.
"Mencintai dalam sepi dan rasa sabar mana lagi? Yang harus kupendam dalam mengagumi dirimu. Melihatmu genggam tangannya, nyaman di dalam pelukannya. Yang mampu membuatku tersadar dan sedikit menepi."
Mau tak mau bibir Eleanor spontan menirukan suara sang penyanyi, bahkan lirik tersebut lebih cocok dengan curahan hatinya.
"Nucaaaa!" teriak Eleanor dengan nada kesal dan segera mengambil jalan menepi agar ia tidak membuat kesalahan di jalanan. "Kenapa sih gue nggak bisa lebih berani buat bilang suka sama lo?"
Biarkan cukup hari ini saja Eleanor memiliki waktu sendiri untuk mengungkapkan kekesalannya terhadap perasaan yang tumbuh tanpa sengaja dan terluka tanpa sengaja. Air mata itu tidak dapat ia tahan lebih lama. Jadi lebih baik ia menumpahkannya sekarang. Sebelum kembali ke rumah, Eleanor tidak ingin sang Ayah melihatnya sedih.
Di saat Eleanor sibuk menghabiskan beberapa menit dengan mata yang telah sembab. Dari kejauhan ia masih dapat melihat walaupun pandangannya tersapu oleh air mata.
"Brengsek!" Eleanor segera keluar dari dalam mobil. Membiarkan mobilnya terparkir di pinggir jalan, ia berlari cepat menuju seseorang yang tidak dikenalinya sambil mengangkat sepatu boots pendek miliknya dan setelah mengira-ngira sepatu itu dapat melayang mengenai kepala seseorang.
"Mampus lo!" teriak Eleanor dengan wajah puas karena walaupun sepatu tersebut bukan yang ori, boots pendek itu jika mengenai kepala seseorang akan terasa sangat sakit.
"Bu, Ibu nggak apa-apa, kan? Ayo lari Bu, mobil saya di sana!" ajak Eleanor seraya meraih tangan Ibu-ibu yang baru saja ditolongnya sebelum preman tadi menyerang mereka.
Melihat kepanikan Ibu tersebut, nyatanya hanya langkah kaki mereka yang terus berlari sampai keduanya masuk ke dalam mobil dan Eleanor tidak memiliki waktu lagi untuk kembali menangis selain meninggalkan jalanan tersebut dan pergi jauh sebelum preman tadi berbuat macam-macam.
Sang Ibu yang telah aman dan duduk di sisi Eleanor, dapat bernapas lega. Ia sampai mengusap dadanya beberapa kali, keringat dingin di dekat kening sampai membasahi hijab abu-abunya.
"Terima kasih Nak," kata Ibu tersebut sambil tersenyum lembut.
"Sama-sama Bu, kalau boleh tahu kenapa Ibu ada di jalanan itu sendiri dan tidak membawa kendaraan, Bu?" Eleanor pun membuka suaranya setelah dirasa mereka sudah aman dan pergi jauh meninggalkan preman di sana.
Tas dalam pelukannya ia buka, lalu mengambil ponsel di dalamnya. "Saya sedang menunggu anak saya datang, lalu tiba-tiba di tengah jalan saat menjemput saya, dia mengabarkan mobilnya mogok. Ya udah Ibu berniat memesan taksi online, ternyata ada preman tadi datang ingin merampas ponsel sama tas Ibu. Untungnya Ibu cepat sadar sebelum direbut dan dibawa kabur, jadi Ibu melawannya. Hanya saja, jika kamu tidak datang mungkin preman itu sudah melukai tangan Ibu dengan pisau tajamnya. Aduh, tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Ibu, rasanya kamu adalah pahlawan Ibu Nak, terima kasih banyak sekali lagi." Ibu tersebut berkata sambil menatap Eleanor dengan pandangan penuh syukur dan ucapan yang begitu tulus sampai menyentuh hati Eleanor.
"Sama-sama Bu. Saya datang karena Tuhan tidak ingin Ibu terluka," sahut Eleanor dengan senyum mengembang dan sedikit melupakan kegalauannya. "Omong-omong rumah Ibu di mana? Biar saya antarkan saja, tidak usah memesan taksi online. Mumpung Ibu sudah bersama saya, ini sama sekali tidak merepotkan kok." Eleanor kembali menawarkan kebaikannya.
Tatapan lembut khas seorang Ibu membuat Eleanor tersenyum lebih lebar walaupun ia tetap harus membagi fokus terhadap jalanan di hadapannya.
Sudah lama tidak melihat senyum setulus itu, rasanya menenangkan dan hanya almarhum ibunya yang dapat melakukannya. "Sebentar, Ibu harus memberi kabar anak Ibu," kata Ibu tersebut. "Oh ya, namamu siapa anak cantik? Kalau Ibu panggil saja Bu Dewi."
"Eleanor, Bu Dewi."
Dewi mengangguk singkat, sambungan teleponnya telah dijawab oleh sang anak. "Bunda sudah perjalanan pulang dengan Nak Ele. Lebih baik kamu cepat pulang setelah mobilmu dijemput orang bengkel. Nanti akan Bunda ceritakan dan Bunda kenalkan dengan orang yang sudah menyelamatkan Bunda dari preman," kata Dewi yang tampaknya sedang berbicara bersama anak kandungnya sebelum ia menutup teleponnya tersebut. Kemudian, tak lupa menunjukkan alamat rumahnya kepada Eleanor.
"Maaf ya Eleanor, saya jadi merepotkanmu."
Eleanor hanya mengangguk singkat. "Tidak apa-apa, jika orang lain pun akan melakukan hal yang sama ketika seorang wanita disakiti."
"Kamu juga wanita, kalau ada yang menyakitimu juga, katakan kepada saya, ya? Siapa tahu saya juga bisa menyelamatkanmu dari luka itu," tutur Dewi seraya tersenyum lebar hingga membuat Eleanor tertawa pelan.
Dalam hati Eleanor mengatakan sesuatu. 'Masalahnya luka itu enggak bisa kamu selamatkan, Bu. Dia akan mengering dengan sendirinya dan melebur di dalam diriku.'
"Bisa aja Bu, jadi keingat sama obrolan Dilan yang mirip-mirip maknanya waktu ngobrol sama Milea." Eleanor jadi menceritakan tentang film kesukaannya tersebut.
"Wah, kamu suka nonton film ya? Bagus itu Dilan, saya juga suka. Berasa kembali muda kalau nonton film itu apalagi sama suami," sungut Dewi yang membuat Eleanor hanya bisa mengangguk setuju.
"Saya nonton itu di bioskop sendirian dari yang pertama sampai Milea suara dari Dilan, katanya sih sebentar lagi bakal ada lanjutannya yang Ancika gitu, Bu. Masa lalunya Dilan, tapi saya enggak pernah baca novelnya, langsung nonton filmnya aja meski saya juga suka baca novel."
"Sendirian?" tanya Dewi seakan heran.
Eleanor mengangguk, ia menatap sekilas wanita di sampingnya yang lebih tua. "Kenapa Bu? Pasti terdengar konyol dan menyedihkan karena hari gini masih sendirian aja, ya?"
"Enggak, siapa yang mau ngejudge kamu seperti itu," tukas Dewi sambil terkekeh pelan. "Jangan salah paham dulu dengan pertanyaan saya. Tapi sebelumnya maaf, sepatu kamu tadi jadi ketinggalan. Trus kamu tadi juga nyeker ya waktu turun dari mobil? Sepatu yang satunya di mana karena saya hanya melihat kamu membawa satu sepatu saja," kata Dewi lagi seraya memperhatikan ke bawah untuk melihat kaki putih Eleanor yang tidak memakai alas apa pun.
Yang ditanya jadi salah tingkah dan menggaruk kepalanya bingung. "Santai aja Bu, sepatu cuma enam puluh ribuan kok, bukan sepatu ori jadi nanti bisa dicari lagi." Eleanor pun memberikan jawaban seadanya yang kebetulan lewat dalam benaknya. 'Lagi pula yang satunya ketinggalan juga nih di pesta pernikahan Nuca, jadi kayak Cinderella yang kabur dari istana dan ninggalin salah satu sepatunya aja. Tapi gue kan bukan Cinderella. Jadi enggak akan dicariin.'
"Kalau gitu kamu harus mampir rumah saya untuk ambil salah satu sepatu saya biar bisa kamu pakai sebagai alas kaki, nanti kita akan ketemu lagi dan saya akan menggantikan dengan yang baru kalau kamu mau, Nak."
Eleanor mengerjapkan matanya. "Nggak usah Bu, nggak apa-apa nggak usah diganti. Lagi pula saya enggak mau pergi ke mana-mana setelah ini mau langsung pulang."
"Ya, setidaknya kamu mampir bentar ke rumah saya untuk minum dan makan malam dulu, Nak. Anggap sebagai bentuk ucapan terima kasih saya kepada kamu, Nak." Dewi memaksa, ia ingin sekali mengenalkan Eleanor kepada Bintang anaknya dan juga suaminya karena Eleanor adalah pahlawannya di malam hari.
"Baik Bu," sahut Eleanor yang tidak ada pilihan lagi karena merasa tidak enak juga jika ia menolak sikap baik Bu Dewi.
"Bagus." Dewi tersenyum lebar. "Kalau boleh tahu kamu habis dari mana, Nak? Pasti habis kencan karena baunya wangi, dan kamu sangat cantik."
Eleanor hanya bisa tersenyum tipis. "Saya baru menghadiri pernikahan teman saya, Bu. Bukan kencan sih, mana ada kencan kalau saya masih sendiri? Hehehe."
"Astaga, maaf ya nggak maksud." Dewi jadi tak enak, padahal yang sebenarnya ia sedang memancing Eleanor dari sebuah pertanyaan tersebut. "Tapi kalau Ibu perhatikan mata kamu sembab, apakah kamu habis menangis, Nak?" Dewi menghadap ke arah Eleanor, dia sudah memperhatikan dari tadi dan kali ini dia menatapnya secara intens.
Segera saja Eleanor memalingkan wajah, ia terus menatap lurus ke depan dan fokus.
"Nggak apa-apa kalau nangis mah wajar, pasti kamu habis menghadiri pernikahan seseorang yang kamu cintai, ya?"
Eleanor langsung berhenti hingga membuat Dewi menahan dirinya agar tidak membenturkan kepala ke depan.
"Ya ampun, maaf Bu, rem mendadak karena tujuan kita udah sampai."