Melihat keterdiaman Bintang cukup lama, Eleanor pun tersenyum tipis sambil mengatakan sesuatu. "Kalau enggak dijawab juga nggak papa, kok."
Bintang segera menyambar dengan suara lirih. "Alika itu masa lalu gue, kabar yang udah lama gue tunggu, ternyata dia masih sama, Alika dan lukanya udah benar-benar sirna dari kehidupan gue," tuturnya yang terakhir sambil meletakkan kedua tangan menutupi wajahnya tepat ketika mereka berhenti di tengah-tengah putaran.
"Tang," panggil Eleanor tetapi sosok di hadapannya ini tak mendengar panggilannya, ia melihat bahu Bintang bergetar.
Apakah dia menangis? Karena Alika? Wow, itu menakjubkan. Perasaannya begitu tulus.
Eleanor hanya bisa mengembuskan napas pelan sambil mengulurkan tangannya untuk mengusap bahu Bintang dan membiarkan pria itu menumpahkan kekesalannya di sini. Mungkin ini sebabnya Bintang tidak bisa berkata-kata di hadapan Alika, luka di dalam hatinya begitu besar, ia pendam sampai pada waktunya akan meledak sendiri. Sama seperti dirinya yang terlalu banyak memendam rasa kepada Nuca.
"Bunda enggak pernah suka sama Alika lagi, padahal gue selalu bangga-banggain dia." Bintang bercerita sambil tersedu-sedu. "Gue laki-laki yang cengeng ya? Gara-gara cewek aja gue sampai nangis begini depan lo," gerutu Bintang lagi.
Eleanor bukan tipe orang yang akan mengatakan 'nggak apa-apa, nangis aja Bintang, manusiawi kok, setelah itu semua bakal baik-baik aja'
Dia tidak bisa mengatakan hal tersebut untuk menenangkan orang lain. Lebih baik Eleanor diam dan menunggunya sampai benar-benar lega, lebih baik juga mendengarkannya ketika dia mengatakan sesuatu untuk melepaskan sendiri kekesalan di dalam hatinya, setelah itu dia akan merasa lega sendiri karena ada seseorang yang menemaninya. Ya, setidaknya orang lain tidak sendiri dikala dia bersedih, begitu juga sebaliknya yang diinginkan Eleanor. Hanya saja Eleanor tidak menemukan seseorang di sisinya ketika dia bersedih.
"Udah ah, gue malu dilihatin lo terus. Apa lo punya tisu? Wajah gue jadi jelek gini, nanti kalau turun di lihat orang nggak ganteng lagi, lo malu jalan di samping gue deh," gumam Bintang yang kali ini terdengar lucu hingga membuat Eleanor tertawa kecil sambil membuka tasnya untuk mengeluarkan sesuatu.
"Nih, nggak ada tisu, tapi gue selalu bawa sapu tangan. Belum dipakai hari ini, lo pakai aja dulu."
Bintang menerima sapu tangan berwarna merah muda milik Eleanor yang terdapat ukiran tulisan namanya kecil, kemudian ia pakai untuk mengusap wajahnya sebelum bianglala ini sampai ke bawah dan satu putaran mereka telah selesai.
"Gue mau naik ini satu putaran lagi, lo mau nggak?" celetuk Eleanor seraya menatap Bintang lekat sambil memiringkan sedikit wajahnya.
"Boleh, lo tunggu sini dulu ya, gue beliin tiketnya lagi," sungut Bintang sambil membuka pintu dibantu oleh petugas wahana ini.
"Ya enggak bisa, gue ikut turun dulu trus kita ngantri lagi." Eleanor tersenyum singkat, ia meraih pergelangan tangan Bintang seperti tengah menggandeng tangan adiknya sendiri. Karena kenyataannya Eleanor lebih tua darinya.
Bintang menyuruh Eleanor untuk mengantri di barisan selagi ia yang membelikan tiketnya. Ia juga menyembunyikan senyuman kala melihat tangan Eleanor sempat menggenggam tangannya. Hangat dan nyaman, batinnya.
Beberapa sekon kemudian, Bintang sudah kembali dan berdiri di sisi Eleanor. Mereka segera naik ke dalam bianglala saat sudah mendapatkan giliran.
"Nanti kalau udah sampai di atas sana, lo mau nggak teriak?" seru Eleanor seraya menatap Bintang dengan mata berbinar.
"Ngapain teriak-teriak?" Bintang bertaya dengan alis saling bertautan heran.
"Biar lega aja, semua beban masalah lo emang nggak bakal bisa selesai detik itu juga, tapi setidaknya lo bisa keluarin perasaan lo cuma dengan teriak sekencang-kencangnya," tukas Eleanor sambil menatap Bintang dengan damai.
Tawa kecil terdengar dari mulut Bintang. "Kalau yang lain dengar gimana dan ngerasa keganggu?"
Eleanor segera mengedikkan bahunya acuh. "Masa bodoh, lagian kita ada di atas sendiri, suara kita bakalan terbang. Ayolah, coba saja."
"Okay." Bintang pun menganguk setuju pada akhirnya. Ia mencoba untuk menghirup udara di sekitarnya sambil memejamkan mata, tepat ketika sudah berada di paling atas sendiri dan kincir raksasa mereka berhenti. Detik itu Bintang membuka mata dan mulai berteriak.
"AKKKKHHHH, GUE SAYANG BANGET SAMA BUNDA!"
Eleanor tersenyum mendengarnya. Kini gilirannya. "GUE MAU MOVE ON DARI LO NUCAAAA!"
"Hah? Apa? Nuca?" Bintang bertanya setelah mendengar teriakan Eleanor.
Eleanor merasa lebih lega setelah berteriak. Ternyata kalau ada temannya jauh lebih baik. "Nuca orang yang gue suka." Eleanor menjawab pertanyaan Bintang dengan senyum miris.
"Mantan?" Bintang bertanya lagi, kali ini ia menompang dagunya sambil menatap Eleanor lurus-lurus.
"Bukan, lebih tepatnya nggak pernah ada yang di mulai di antara kita." Eleanor tertawa setelah mengatakan hal tersebut. Tawa yang diselimuti luka.
"Jatuh cinta diam-diam?" sahut Bintang tepat sasaran.
"Ya begitulah, sekarang dia udah nikah sama temen gue sendiri. Karena gue tahu dia akan bahagia sama orang lain, jadi gue enggak pernah mau ngomong. Gue biarin waktu yang lama ini buat nyembuhin luka yang gue buat sendiri atas ekspektasi gue yang terlalu tinggi. Makanya waktu gue ada di ketinggian ini, gue ngerasa bakal benar-benar jatuh, gue ngerasa terjun sendiri ternyata nggak enak. Mending gue ada di tengah-tengah, enggak mau muluk-muluk berekspektasi tinggi lagi, dan enggak mau ada di bawah karena gue rapuh, jadi orang yang enggak berguna hanya karena perasaan nggak jelas itu."
Mendengar penjelasan Eleanor, membuat Bintang terenyuh. Ia menegakkan tubunya kembali, menatap wanita di hadapannya dengan penuh keyakinan. "Lo nggak terjun sendiri kok. Sekarang lo terjun bareng gue. Ada di atas bareng gue. Anggap aja satu putaran yang pertama tadi gue ngebuang luka gue. Sekarang satu putaran kedua ini lo ngebuang luka lo, setelah itu kita bisa jalan barengan karena udah ngebiarin luka kita bebas." Bintang tersenyum lembut, ia meraih kedua telapak tangan Eleanor dan menggenggamnya di sisa waktu yang ada sebelum keduanya dipersilakan turun, ternyata mereka sudah berada di bawah lagi.
Eleanor jalan di depan Bintang lebih dulu sambil memperhatikan langkahnya dan menggerutu dalam hati. 'Jalan barengan? Maksud dia apa, ya? Mungkin maksudnya karena kita emang lagi jalan bareng, jadi perumpamaan kata-katanya kayak gitu.'
Hanya itu kesimpulan yang dia dapatkan. Seperti katanya, dia tidak ingin mengambil kesimpulan terlalu dalam. Dan dia tidak ingin mengulang ekspektasinya terlalu tinggi. Baginya, orang yang sama-sama terluka, akan berakhir saling menyembuhkan. Tapi bukan berarti mereka akan bersama selamanya seperti dalam kisah novel roman yang biasa ia baca.
"Lo laper nggak?" Bintang tiba-tiba sudah menyamai langkahnya. Ia menatap sekeliling dan menarik tangan Eleanor menuju ke salah satu penjual makanan.
"Gue suka beli sate cumi di sini. Tapi ada yang lain juga, lo pesen ya. Apa aja biar gue yang bayar."