Sejak kejadian Bintang mengajak keluar Eleanor ke pasar malam, hubungan mereka menjadi lebih dekat karena sama-sama mau membuka luka di masa lalu yang pernah mereka rasakan. Keduanya sepakat untuk menjalin pertemanan. Apalagi Bunda Bintang juga sering mengirimkan pesan kepadanya untuk bertanya tentang kabar, lalu menyuruhnya mampir ke rumah kalau saja dirinya tidak sibuk.
"Selera musik lo dangdutan banget Mbak?" celetukan itu berasal dari Alika yang duduk di dekat Eleanor untuk membahas perkara ide desain terbaru yang akan mereka keluarkan pada klien terbaik perusahaan.
Dan musik menjadi mood agar ide-ide dalam benak Eleanor dapat dikeluarkan. Musik dapat bekerjasama dalam kelancaran idenya. Nuca tidak pernah sewot dan menolak itu karena Nuca sendiri setuju pada pendapat Eleanor. Tapi saat ini Eleanor sedang ingin memutar lagu dari Denny Caknan. Baik itu berjudul Widodari, Los Dol, atau Kertonyono Medot Janji, lagu-lagu Jawa tersebut diartikan sebagai lagu dangdut. Semua bermula dari orang yang sempat mampir dalam kehidupan Eleanor ketika ia berusaha untuk melupakan perasaannya pada Nuca, orang tersebut menyanyikan sebuah lagu berjudul Widodari untuk Eleanor dan suaranya enak sekali didengar sampai ia ingin mendengar full lagunya. Padahal Eleanor sangat membenci lagu-lagu yang norak seperti itu menurut pandangannya dulu.
"Kadang tanpa sadar, apa yang paling lo benci, apa yang paling nggak lo sukai ada di dalam hidup lo, kelak lo bakal suka hanya karena ada seseorang yang berseberangan sama lo dan suka sama apa yang lo benci. Contohnya soal selera musik, gue akui itu bisa ngubah gue buat suka kalau ternyata emang seenak itu buat didengerin," tutur Eleanor sambil menatap Alika sekilas sebelum ia kembali ke layar laptopnya. Mereka sedang melakukan diskusi di luar kantor, lebih tepatnya di sebuah kafe yang jauh dari keramaian namun tempatnya cukup Instagramable.
"Wih," decak Alika sambil menyambut ucapan Eleanor dengan tepukan tangan pelan. "Keren juga lo," tambahnya lagi. "Tapi tetap aja gue nggak suka lagu-lagu kayak gini sih. Gue lebih suka dengerin lagu k-pop."
"Okay, lo sama gue beda. Karena gue tipe orang yang bisa suka sama genre apa aja sih, asal gue bisa nerima." Eleanor hanya manggut-manggut tanpa melihat ekspresi lawan bicaranya.
"Kalau Bintang, lo udah lama berhubungan dan suka sama dia?" celetukan itu tiba-tiba datang dari mulut Alika, dia baru menemukan kesempatan yang tepat saat ini. Karena sebelumnya ia merasa gagal ketika ingin mengatakan isi pikirannya yang sudah penasaran sejak melihat mereka berdua kala itu.
Terdengar kekehan pelan dari Eleanor setelah ia sempat menghentikan kegiatan fokusnya. "Kenapa lo nanyain dia? Bukannya lo sama dia udah mantan, ya?" sungut Eleanor seraya menatap tajam Alika.
Awalnya, Alika terlihat gugup. Lalu ia membalas tatapan Eleanor dengan berani. "Emang salah kalau gue cuma nanya doang, Mbak?" Alika balik bertanya.
"Ya enggak sih, gue sama dia, nothing special. Kita bestfriend."
Kali ini, Alika yang tertawa.
"Sekarang lo yang ketawa." Eleanor mendengus, ia menutup laptopnya dan menyudahi diskusi hari ini. Desainnya tinggal penyempurnaan saja dan ia bisa memikirkannya di rumah.
"Habisnya lo lucu Mbak, mana ada ceritanya lawan jenis yang berteman?"
"Ya serah lo, ribet amat kalau gue harus ngeyakinin lo soal ini." Eleanor mengibaskan rambutnya, ia memasukkan laptop ke dalam tas, lalu meraih gelas terakhir kopinya yang segera ia habiskan sebelum pada akhirnya, berpamitan kepada Alika untuk pergi lebih dulu ketika gadis itu masih ingin di sini.
Saat hendak memasuki mobilnya, Eleanor mendapatkan sebuah panggilan mendadak dari seseorang yang sudah lama tidak merepotkannya lagi.
"Halo," sapa Eleanor begitu ia menempelkan ponsel tersebut di dekat telinganya dan pipinya.
"Lo di mana Mbak? Gue ada kerjaan nih buat lo, bisa mampir nggak?"
"Gue baru aja mau balik rumah. Tapi karena belum terlalu sore, gue samperin deh."
"Mantep, gue tunggu ya Mbak."
Barusan yang menghubunginya adalah klien perusahaan yang biasa Eleanor tangani. Namanya Ilham, umurnya di bawah Eleanor, satu tahun lebih muda. Namun Ilham sudah menjadi pengusaha walaupun usaha tersebut diwarisi oleh orang tuanya. Penjual bakso yang cukup sukses dan telah memiliki beberapa cabang. Dua tahun yang lalu, Ilham memperbarui desain logo baksonya, desain menunya, restorannya dan konsep yang selama ini menjadi lebih baik lagi berkat bantuan Eleanor. Maka dari itu, Ilham dan Eleanor dapat berteman baik.
Walaupun sudah sore, seharusnya tadi ia bisa sekalian saja makan sore terlebih dahulu, namun mood makannya jadi hilang karena Alika menyebalkan. Jadi mungkin Eleanor dapat menikmati makan sorenya di restoran bakso milik Ilham. Sudah lama ia tak berkunjung di sana. Dari tempat kafe ini tidak jauh, ia hanya membutuhkan waktu kurang lebih lima belas menit.
"Ilham, gue sekalian pesen bakso dong kayak biasa, laper belum makan sore," kata Eleanor begitu ia sampai di hadapan Ilham dan melihat pria itu tidak menyadari kedatangannya saking sibuknya mengerjakan sesuatu sambil mengerutkan kening.
"Eh, lo udah dateng Mbak?" Ilham tersenyum sekilas sambil menatap Eleanor sebelum tangannya melambai untuk memanggil salah satu pegawainya agar membuatkan menu bakso special untuk tamunya ini.
Eleanor mengangguk singkat. "Masih aja lo suka ngisi TTS gini," kata Eleanor seraya geleng-geleng kepala heran setelahnya.
"Dapat dari Mustahiq, sayang banget kalau nggak diisi TTS-nya." Ilham nyengir, lalu ia menutup sejenak buku tersebut yang didapatkan karena dia sering menyumbangkan uang rutin ke anak yatim tiap bulannya.
"Ya udah sekarang lo bilang ada kerjaan apa buat gue?" tanya Eleanor seraya mengedikkan bahunya.
Ilham tersenyum miring sebelum mengatakan sesuatu sampai sebuah bakso datang di hadapan mereka, lantas Ilham menyuruh Eleanor sambil makan sejenak sebelum mereka berdiskusi.
"Jadi gini Mbak, gue buka cabang baru dan butuh bantuan desain lo kayak biasanya, gue percaya kalau lo yang ngatur pasti bagus hasilnya. Karena dua tempat gue aja sampai viral gara-gara desain yang lo buat."
Eleanor manggut-manggut. Ini juga berkat kerjasamanya dengan Nuca. "Tapi Nuca lagi cuti, waktu itu kan gue ngerjainnya bareng dia. Gue nggak kerja sendiri, makanya hasilnya keren."
"Yailah, lo aja deh kali ini nggak apa-apa. Nanti fee-nya bisa buat lo sendiri kan lumayan, daripada di bagi sama Nuca." Ilham bernegosiasi karena kalau saja Eleanor menolak dan memilih menunggu Nuca, akan lama proses buka cabangnya.
"Gue pikir-pikir deh, lo kirim dulu aja alamat cabang lo di mana, ntar kalau gue deal bakalan langsung ke sana."
Ilham tersenyum senang, ia harus bisa membuat Eleanor mengambil keputusan yang tepat. "Oke, deal!"
Keduanya pun diam karena Ilham hanya melihat Eleanor menghabiskan baksonya. Lalu tiba-tiba Eleanor berceletuk. "Sebenarnya ada juga yang gantiin posisi Nuca, cuma gue kurang sreg sama dia kalau mau diajak ngerjain projek di luar kantor dari klien. Bos gue masih nyuruh ngajarin dia buat ditaruh di kantor aja sih. Tadi karena gue lagi males kerja di kantor, gue izin buat kerja di luar."
"Nggak apa-apa. Lo aja yang kerjain, gue percaya kerjaan lo juga keren," tukas Ilham. "Waktu itu gue dateng ke pernikahan Nuca. Tapi gue enggak lihat lo sama sekali Mbak. Lo nggak dateng, ya? Pasti nggak kuat lihat orang yang lo cintai bakalan nikah sama temen lo sendiri," tutur Ilham yang menyela sebelum Eleanor mengatakan sesuatu.
"Gue dateng kok. Cuma bentar doang, mungkin pas gue pamit pulang lo baru dateng jadi kita enggak ketemu," kata Eleanor.
"Bentar doang? Beneran lo sakit hati nih, nggak rela ngelihat dia sama orang lain, kan?"
Eleanor tertawa pelan, ia menunduk sejenak untuk menghindari tatapan menyelidik Ilham. Selain sahabatnya Monica yang tahu tentang perasaan Eleanor kepada Nuca, Ilham juga salah satunya. Semua bermula ketika mereka bekerjasama dan sering bertemu bertiga. Ilham sebagai laki-laki yang sangat peka, langsung menembak Eleanor dengan kata-katanya ketika Nuca pergi membeli sesuatu. Eleanor masih ingat betul kata-katanya.
'Lo suka sama Nuca ya, Mbak?' Ilham mengatakannya sambil mendekati telinga Eleanor.
'Lo ngomong apaan sih? Gila lo ya kalau ngomong nggak pakai ngotak.'
'Kelihatan Mbak, mata lo waktu mandang dia. Lo mungkin pinter nyembunyiin dari dia, tapi gue laki yang peka. Beda kayak dia yang udah anggap lo kayak adiknya.'
'Ssstt... Ilham plis, mending lo diem deh. Gue bakal cerita tapi lo diem okay?'
'Kalau gitu lo save nomer gue sama follback Instagram gue dulu dong, Mbak.'
Eleanor mendengus kesal mengingat hal itu. Kenapa bisa dia bertemu Ilham dan perasaan yang ia simpan sendiri kini harus diketahui oleh lawan jenisnya setelah diketahui oleh Monica.
Seketika Eleanor memiliki ide. "Gue udah ikhlas kok. Kata siapa gue nggak rela? Gue balik karena gue mau PDKT sama anaknya Bu Dewi."
"Hah? Bu Dewi? Siapa lagi tuh?"
Tersenyum puas karena berhasil membuat Ilham penasaran, ia menjulurkan lidahnya. "Kepo!"
"Dih, ya udah kalau nggak mau ngasih tahu." Ilham hanya mengedikkan bahunya acuh. "Gue sebenarnya mau nanya juga sama lo soal cewek gue, Mbak."
Eleanor menaikkan setengah alisnya heran, mereka sudah seperti adik kakak yang saling berbagi cerita tentang perasaan mereka dengan lawan jenisnya. "Kenapa lagi dia? Posesifnya makin nyebelin? Apa ada yang di unfoll lagi temen Instagram lo? Atau ada yang lebih parah lagi dari cemburuannya itu?" tebak Eleanor yang sudah hafal curhatan Ilham.
"Bukan soal itu semua," sahut Ilham sambil menggeleng cepat. "Tapi dia kerja di tempat lo katanya. Dia baru bilang ke gue, pantes aja dia jarang ngerecokin gue. Awalnya gue yang panik sih, gue pikir dia udah bosen sama gue kok jarang bawel lagi gitu. Ternyata dia kerja disuruh bokapnya biar mandiri."
"Ya bagus dong, itu positif namanya."
"Tapi lo kenal nggak sih, Mbak?"
Eleanor terkekeh, ia menggeleng samar. "Mana gue tahu, kalian kan nggak pernah saling publish hubungan di sosmed. Lo nggak pernah ngasih tahu nama cewek lo apalagi wajahnya ke gue. Jadi gue enggak kenal dong, Adek."
"Ish, lo Mbak. Dia katanya bagian pengembangan ide juga sama desain gitu. Gue pikir sama lo, namanya Alika."
Seketika mata Eleanor melebar dan mulutnya ternganga sebelum suaranya keluar. "APA LO BILANG? ALIKA?" pekik Eleanor yang benar-benar terkejut.
"Iya, Mbak. Alika Diningrat."