Keesokan harinya, Eleanor benar-benar menepati janji untuk datang di cabang baru bakso milik Ilham yang dalam proses penataan. Kalau bentuk warung rumahannya sudah jadi, Ilham bahkan menyodorkan denah dari cabang tersebut yang sudah digambar beserta ukuran luas dan lebarnya. Ilham meminta agar Eleanor segera membuatkan desain interiornya, yang menonjolkan kenyamanan, promo-promo pembukaan, banner, brosur dan juga rencananya akan ada coffee shop kecil di sana. Sungguh cabang kali ini tempatnya lebih besar dari sebelum-belumnya.
"Gimana menurut lo? Udah okey nggak kalau setiap sudut ruangannya, walaupun masih kelihatan kayak rumah karena dindingnya polos, usaha gue ini sangat membutuhkan sentuhan tangan lo, desain dari lo Mbak Elea," tutur Ilham seraya menyandarkan telapak tangan kanannya pada meja di sisinya sambil berdiri di hadapan Eleanor dan menatapnya serius.
"Okay, gue udah lihat keseluruhan. Gue bakalan kerjain ini satu-satu. Lo mau bayar borongan apa harian?" tanya Eleanor sambil menyedekapkan kedua tangannya di atas perut.
"Terserah lo, apa yang menguntungkan buat lo dan gue puas sama hasilnya."
Eleanor terkekeh pelan, ia mengambil tempat duduk yang jelas-jelas ada di sekitar mereka, namun keduanya justru berbicara sambil berdiri.
"Kalau itu mau lo sih, gue bakal narik pembayaran yang paling mahal," tukas Eleanor setelah ia menyelesaikan kekehannya. Kini saatnya ia mengeluarkan laptopnya, ia menyalakan laptop tersebut dan membuka aplikasi Corel Draw serta Photoshop yang sudah sering ia gunakan untuk bekerja.
"No problem, Mbak Lea. Seni itu ada nilainya, kekreatifan lo buat bisnis gue juga ada nilainya. Makanya gue percaya walaupun lo ngerjainnya nggak sama Nuca. Karena gue udah ngasih lo kesempatan," ungkap Ilham yang sesekali memanggil Lea jika ia menginginkan sesuatu. "Gue bakal transfer ke rekening lo, terserah lo mau kerjain di sini, atau di kantor lo atau di mana pun bebas. Nanti kalau lo emang butuh buat ketemu sama gue tinggal bilang aja." Ilham kembali memberikan penjelasan, sebelum dirinya beranjak dari tempat duduknya.
"Sekarang lo mau ke mana emang?" Eleanor bertanya sambil memindahkan sekilas pandangannya dari layar laptop ke arah pria itu.
Menoleh ke belakang dalam beberapa sekon, Ilham menjawab singkat. "Buatin lo kopi, mau nggak?"
"Boleh." Eleanor mengangguk dan tersenyum singkat menanggapi hal itu. Karena ia pikir Ilham mau pergi begitu saja meninggalkan dirinya.
"Lo tahu nggak sih, gue sebenarnya juga dapat job baru semalam. Cuma nggak terlalu berat buat gue, jadi ya udah gue ngerjain punya lo sama punya dia." Eleanor sedikit bercerita, ia menggambar sejenak ukurannya di Corel Draw agar ia tahu akan memberikan gambar-gambar seperti apa.
Ilham yang berada di balik mesin penggiling kopi, tidak jauh dari tempat Eleanor duduk memberikan tanggapan. "Siapa?"
"Apanya? Ya gue lah yang dikasih kerjaan sama Pak Gunawan."
"Bukan, maksud gue itu punya dia yang lo kerjain bareng punya gue job dari Pak Gunawan?" tanya Ilham memperjelas pertanyaannya.
"Oh," gumam Eleanor sambil manggut-manggut, lalu terdiam beberapa sekon. "Bintang."
Hening melanda suasana mereka berdua ketika pandangan keduanya saling bertemu masih dalam posisi tempat yang sama.
"Tapi gue nggak tahu ini Bintang yang gue kenal bukan. Soalnya dia penulis misterius yang cukup terkenal, lo pernah dengar nggak?" tukas Eleanor sebelum Ilham membuka suaranya.
Mengedikkan bahunya, Ilham menjawab santai sambil berjalan ke meja Eleanor untuk duduk di hadapannya dengan meletakkan kopi milik wanita itu juga. "Lo tahu sendiri gue nggak suka menye-menye baca novel gitu. Kalau komik okelah meski nggak suka amat."
"Lo mah sukanya ngisi TTS mulu," sahut Eleanor sambil memutar bola matanya malas dan dibalas kekehan pelan oleh Ilham.
"Alika nggak tahu kan kalau lo lagi sama gue di sini, Mbak?" tanya Ilham untuk memastikan saja.
"Enggak, aman. Dia bakalan sibuk kerja, karena bos gue suka nyiksa anak orang," sahut Eleanor sambil tertawa kecil.
"Ngaco lo." Ilham hanya geleng-geleng kepala heran. Padahal Eleanor berbicara sesuai fakta.
Hendak mengatakan sesuatu, ponsel Eleanor baru saja berdering. Dari ekor matanya, Eleanor membaca sederet nama yang muncul sebelum setengah alisnya terangkat sambil meraih ponsel tersebut.
"Bentar ya," katanya meminta izin kepada Ilham sambil beranjak dari posisi duduk untuk menerima panggilan dari Bintang.
"Halo Tang, kenapa?" Eleanor langsung memberikan pertanyaan dengan sapaan kepada Bintang.
"Gue ganggu lo? Lagi kerja apa libur?" Bintang bertanya di seberang sana.
Sejenak Eleanor menoleh ke arah Ilham yang sedang memperhatikannya. "Lagi kerja sih, ada yang mau diomongin?" tanya Eleanor untuk memastikan bahwa saat ini Bintang akan segera mengabarkan perihal naskahnya. Ia harap begitu.
"Nggak ada sih, gue cuma mau mastiin aja kalau hari lo sekarang lagi menyenangkan, kan?"
Ternyata Eleanor salah, Bintang tidak membahas hal itu. Sebuah senyuman tipis terbit di sudut bibir Eleanor. "Oh, kalau itu cukup menyenangkan. Gue juga beharap, hari lo menyenangkan karena udah dengerin suara gue, hahaha." Eleanor jadi menggaruk kepalanya sendiri yang tidak gatal akibat tawa garingnya yang terdengar menyebalkan. Pasalnya ia tahu Ilham sedang memperhatikannya, Eleanor merasa aneh saja dan tidak nyaman.
"Ya, gue rasa begitu. Nanti mau gue jemput? Bunda mau ketemu katanya."
"Bunda apa lo yang mau ketemu?" goda Eleanor yang masih mencoba sabar menunggu obrolan ini segera berakhir.
"Bunda, tapi gue juga kangen." Bintang berkata dengan jujur dengan kelembutan suaranya.
"Baiklah, kabarin aja kalau jadi," sahut Eleanor.
"Siap, selamat bekerja, ya."
Eleanor mengembuskan napas panjang setelah sesi panggilan itu diakhiri. Ia kembali berjalan mendekati meja di mana Ilham masih menunggunya.
"Kenapa lo lihatin gue gitu banget?!" ketus Eleanor setelah ia mengempaskan diri di hadapan Ilham, kembali fokus pada pekerjaannya.
"Nggak, ge'er banget lo Mbak."
"Ya udah sih, gue mau kerja ini! Nggak usah ngelihatin gue kayak gitu." Eleanor jadi salah tingkah sendiri, namun pada dasarnya ia memang tidak nyaman, kerap diperhatikan dengan lawan jenisnya apalagi tatapan Ilham selalu dalam dan seakan menghipnotisnya. Bukan karena ia takut jatuh hati kepada Ilham, tentu saja Eleanor sadar karena ia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti menjatuhkan hatinya kepada Nuca.
Ilham berdeham pelan, biasanya kalau ia brengsek dan akan menanggapi balik, itu adalah kesalahan besar karena menurutnya wanita pasti akan lebih mudah jatuh hati kepadanya. Walaupun ia tahu Eleanor tidak akan seperti wanita yang ia tuduhkan dalam benaknya ini, Ilham tidak ingin menjadi orang jahat dalam kisah orang lain.
"Karena baksonya di sini belum ada, gue mau keluar dulu nyari makan. Lo mau gue beliin apa, Mbak buat makan siang?"
"Apa aja deh, asal enak di makan." Eleanor mengedikkan bahunya, ia masih membayangkan desain apa yang cocok untuk setiap sudut ruangan ini sambil melihat sekeliling, kemudian tangannya mulai menggambar di sebuah tab yang ia ambil dari dalam ransel dengan pen tablet miliknya.
***
"Halo Alika, gue udah cek yang lo email barusan."
"Iya Mbak, gimana? Udah benar kerjaan gue?" tanya Alika di seberang sana.
"Agak kurang rapi dikit, tapi layout lo keseluruhan udah oke. Nanti buat laporan magang lo gue tambahin poin ini."
"Asyik! Gue bakalan jadi karyawan nih, bukan magang lagi. Tapi by the way, kok nama penulisnya Bintang, Mbak? Itu cowok lo?"
"Maksud lo mantan lo, kan?"
"Ish, gue serius nanya. Lo di mana deh? Gue ada kerjaan juga ini dari Pak Gunawan, ada yang nggak gue mengerti. Mau nanya ke Mbak Monica, dia galak. Ogah gue," oceh Alika di seberang sana yang mulai mengeluh.
"Bukan Bintang mantan lo dan bukan Bintang yang gue kenal. Gue nggak tahu dia siapa tapi katanya dia penulis misterius, bukan penulis baru. Makanya Pak Gunawan benar-benar nyuruh gue buat kerjain ini langsung atas request orangnya karena katanya sih udah kenal gue dari lama." Eleanor menjelaskan secara singkat. "Lo kerjain aja sebisanya. Nanya baik-baik ke Monica, dia baik kok. Kalau dia galak, berarti lo yang kurang baik nanyanya."
Setelah itu, Eleanor memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak. Sebenarnya ia memang sengaja akan melepaskan Alika dalam beberapa hari untuk bekerja di kantor. Tiga hari ini ia akan di tempat ini untuk mencari ide, setelah ia sudah menemukan konsep yang tepat, baru ia akan kembali mengerjakan semua pekerjaan yang ia handle ini. Pak Gunawan sendiri berpesan kepada Eleanor untuk tidak membantu Alika setelah beberapa hari lalu mengajari gadis itu standar pekerjaan yang harus dilakukan, baginya sudah cukup dan ada tugas yang harus dikerjakan sebelum Alika dialihkan ke divisi lain karena masa cuti Nuca akan habis dan dia akan kembali bekerja lagi bersama Alika. Begitu juga dengan masa magang Alika, setelah ia lolos beberapa tugas dari Pak Gunawan dan setiap divisi dalam waktu kurang lebih enam bulan, maka ia akan diangkat sebagai karyawan tetap dengan diletakkan pada kemampuan yang ia miliki berdasarkan pekerjaan yang sudah ia kerjakan semasa magang.
"Mbak, gue udah beliin makan buat lo tuh. Oh iya, gue bakalan tinggal lo di sini nggak apa-apa?"
Eleanor menoleh ke belakang dan mendapati Ilham baru saja tiba setelah ia pamit mencari makan. Ternyata hanya ada satu kotak makanan yang ia bawa dari luar. Setengah alisnya terangkat heran. "Mau ke mana lo?"
"Alika ngajakin gue makan siang bareng. Kalau enggak diturutin, ngambek. Ini kunci duplikatnya. Lo bawa aja, sori ya Mbak nggak bisa nemenin sampai lo selesai. Ntar kalau lo belum balik dan gue udah kelar urusannya sama Alika, gue samperin deh." Ilham berjalan mendekati Eleanor, dengan ekspresi wajahnya yang tidak enakan karena harus meninggalkan Eleanor demi memenuhi keinginan kekasihnya.
"Nggak masalah. Dua hari gue bakalan ke sini juga sih. Ntar gue langsung balik ke rumah, nggak ke kantor. Mau ada janji juga," sahut Eleanor dengan santainya.
"Okay, Mbak. Thank you, kalau nggak aman, ada yang gangguin lo kabarin gue."
"Bawel lo, udah sana pergi. Siapa juga yang gangguin gue orang nggak ada orang gini." Eleanor langsung mendorong punggung Ilham agar segera pergi dari sini.
Sebelum Ilham benar-benar meninggalkannya, pria itu sempat membuat ekspresi seram sambil berkata, "Setan yang gangguin lo. Nggak takut, kan? Tempatnya ini belum tumpengan soalnya."
"Lo setannya kampret!" teriak Eleanor sambil melotot ke arah Ilham yang kini sudah kabur ke depan.
Begitulah Ilham, karakternya menyenangkan dan suka sekali membuat lelucon yang terkadang menyebalkan dan mengundang emosi. Tapi ia termasuk orang yang friendly. Jadi agak kaget saja kalau Ilham ternyata kekasihnya Alika.