Suasana yang hening karena aku masih diam, tanpa tergesa mengatakan jawabannya. Membuat Pak Gunawan tidak sabar dan benar-benar penasaran.
"Nggak bisa Pak," sahutku pada akhirnya.
"Nggak bisa kenapa Elea? Saya tambahkan deh bayaran kamu," seloroh Pak Gunawan dengan nada mendesak dan memaksa.
Aku tidak bisa seenaknya menuruti kemauan bosku. Dengan menarik napas perlahan, aku meraih tas dan rangkaian bunga. Aku juga sudah mengambil kunci mobil, bersiap akan pulang. "Bapak Gunawan yang terhormat," aku memberi jeda dan tersenyum hangat. "Saya tidak bermaksud menolak keinginan anda dan saya juga tidak bermaksud menolak penawaran anda, tetapi saya rasa ini bukan ranah saya jika seorang penulis ini sangat menginginkan privacy mereka. Anda paham privacy bagi seseorang sangat penting kecuali mereka yang memang mau terbuka dengan kita, sebelum privacy kita digangguin sama orang juga, maka kita harus saling menghargai privacy orang lain juga. Saya tidak bisa, maaf sekali lagi dan permisi."
Aku segera mengambil jalan kosong untuk melewati Pak Gunawan yang tampak melongo. Mungkin dia terkejut karena aku dapat berbicara seperti itu. Aku tidak takut jika beliau memecatku, kalau bisa dia akan melakukan tapi aku paham dia pasti masih membutuhkanku. Maka dengan sikap yang bijak aku dapat berkata seperti itu padanya.
"Elea, haishh Eleaa," gerutu Pak Gunawan yang masih dapat kudengar saat berjalan menjauhinya tanpa menoleh lagi ke belakang.
Sampai di dalam mobil, aku baru bisa bernapas lega, aku menatap pantulan wajahku di kaca spion sebelum menyalakan mesinnya dan meletakkan bunga ke kursi kosong di sampingku.
"Bisa gila gue kalau didesak kayak gitu terus," gerutuku sambil geleng-geleng kepala heran.
"Siapa yang desak kamu?"
"Allahuakbar!" Aku terkejut bukan main sampai memegang dadaku sendiri saking kagetnya kala mendengar celetukan seseorang dan sebuah wajah langsung muncul di belakang jok mobilku.
"Maaf, aku ngagetin kamu, ya?" Bintang nyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Kenapa bisa ada di dalam mobilku, sih? Dan sejak kapan kamu di sini?" Aku bertanya sambil menatapnya tajam, perasaan aku mengunci mobil ini dan seharusnya dia tidak bisa masuk ke dalam secara sembarangan. Tapi bagaimana dia bisa masuk dan tidur di dalam?
"Mobilmu nggak di kunci."
"Ah, masa? Aku udah ngunci padahal." Aku memutar bola mata, berusaha mengingatnya.
"Jangan pakai perasaan, kadang banyak lupanya," sahut Bintang sebelum pria itu keluar dari mobil dan berpindah duduk di jok sampingku dengan memangku bunga yang tadi kuletakkan di sana. "Ayo jalan, jangan bengong mulu." Bintang segera menyadarkan aku, sehingga aku segera melajukan mobil ini agar segera keluar dari area parkiran kantor.
"Sumpah, dari kapan kamu ada di mobilku?" tanyaku saat kami sudah memasuki jalan raya.
"Bunda nyuruh aku jemput kamu. Tapi enggak boleh pakai kendaraan di rumah. Jadi aku disuruh jalan, naik angkot, taksi atau ojek online. Emang nyusahin diri sendiri aja, ya? Padahal kan enak satset pakai kendaraan sendiri. Tapi kata Bunda biar aku semobil sama kamu," tutur Bintang yang membuatku geleng-geleng kepala heran dan tidak habis pikir Bunda memiliki ide seperti itu.
"Kamu kirim aku bunga? Jujur deh," kataku seraya melirik ke arah Bintang sekilas sebelum fokus ke depan lagi.
"Elea, mending kamu tepiin dulu deh mobilnya."
"Mau ngapain?" Aku tidak langsung melakukan perintahnya.
"Aku yang nyetir."
Aku terkekeh pelan, bukan tidak mempercayai dia. Tapi apa bedanya jika aku yang menyetir? Apakah dia merasa nggak enak kalau aku yang mengemudikan mobil ini?
"Apa bedanya sama aku? Males berhenti-berhenti," ucapku santai seraya mencari saluran musik yang bagus.
"Nggak ada bedanya sayang, tapi lebih baik aku yang bawa mobilnya yuk. Nanti kalau bunda lihat, kita sampai rumah, aku dimarahin sayang karena membiarkan kamu menyetirnya." Bintang tersenyum, merayuku dengan panggilan manisnya.
"Perayu." Aku memutar bola mata malas, tetapi pada akhirnya aku menepikan mobil dan keluar dari mobil untuk bertukar posisi duduk.
Ketika sudah berada di dalam mobil lagi, Bintang masih mempertahankan senyuman terbaiknya. "Aku bukan perayu, tapi aku memang menyayangimu. Jadi saat bersamaku, aku yang akan memastikan kamu aman, bukan sebaliknya, okay?" katanya seraya mengulurkan tangan untuk mengusap puncak kepalaku dengan lembut.
"Ya, terserah kamu." Pada akhirnya aku memutuskan untuk mengunci bibirku. Sambil berganti memangku bunganya karena aku yang duduk di tempat ini.
"Suka?"
"Apa?" Lagi-lagi Bintang membuatku bingung karena hanya bertanya dengan satu kata yang memiliki banyak makna.
"Aku." Ada jeda sejenak sebelum ia terkekeh pelan dan mencairkan suasana. "Enggak-enggak, maksud aku kamu suka sama bunganya nggak?" tanyanya lagi lebih lengkap.
"Kamu tuh bikin geger orang sekantor tahu nggak?! Sampai bosku segala bikin pusing," celetukku seraya menatapnya kesal. Walaupun ini salah, harusnya aku tidak mengomelinya dan melepaskan kekesalanku pada bosku kepadanya.
Beberapa sekon suasana hening, aku makin merasa bersalah sudah mengatakan yang sebaliknya.
"Maaf ya, Lea. Aku cuma berusaha romantis aja." Bintang masih bisa menatapku dan tersenyum.
Aduh, makin bersalah.
"Tadi nggak maksud kayak gitu." Aku langsung menjelaskan sambil menunduk dan meremas jemariku sendiri kalau sudah merasa bersalah seperti ini. "Aku minta maaf sudah terkesan menyentakmu. Aku hanya kesal karena bosku tadi memaksa dan ingin tahu siapa di balik penulis bernama Bintang itu. Apalagi saat dia mengira Bintang ini memberiku bunga serta terkesan menyukaiku, dia bertambah ingin tahu dengan memanfaatkan aku."
Bintang masih diam mendengar curahanku terlebih dahulu. Dia terlihat tenang dan itu membuatku lebih nyaman karena dia tidak balik marah.
"Jadi tadi waktu di mobil ngomel gara-gara bos kamu itu?" Bintang bertanya dan menebak.
Aku menganggukkan kepala. "Dia sangat menyebalkan, mendesakku dan sampai menawarkan tawaran gaji gede loh. Nyebelin banget di kira aku mata duitan kali, ya?" gerutuku lagi.
Mendengar kekehan Bintang, aku yang mendadak langsung diam dan mengunci mulutku. Aku memperhatikan Bintang dari samping dengan ekor mataku.
"Nanti bilang ke Bunda soal ini ya, kalau seandainya ide Bunda sama denganku, berarti kamu bisa melakukannya."
"Ide apa?" tanyaku penasaran dan bingung dengan yang ia maksud.
Tetapi Bintang hanya memancarkan senyum sekilasnya. Tidak memberitahuku lagi, mobil ini bergerak lebih cepat hingga tak terasa sudah sampai saja di rumah Bintang.
"Bentar, ada telepon dari Papa. Kamu duluan aja deh keluarnya."
"Jangan, angkat saja dulu dan aku dengarkan." Bintang menggeleng, ia menunggu aku menerima panggilan dari Papa.
Alhasil, aku segera mengangkat telepon Papa yang mungkin saja urgent.
"Halo Pa, ada apa?"
"Kamu pulang jam berapa hari ini sayang?" suara Papa bertanya dengan lembut.
Aku berpikir sejenak, lalu memberikan perkiraan saja. "Mungkin agak malaman Pa. Kenapa Pa? Butuh Eleanor? Apa mau Eleanor pulang sekarang? Atau mau titip sesuatu sehingga nanti pulangnya bisa Eleanor belikan."
"Oh, nggak apa-apa. Papa cuma nanya saja. Kamu sekarang sama Bintang betul?"
"Ya, Pa, betul."
"Mana dia? Papa mau ngomong bentar."
Aku mengernyit heran, tumben sekali Papa meneleponku dan ingin berbicara dengan Bintang. Kutatap Bintang di sampingku yang tersenyum dan menaikkan setengah alisnya sambil menatapku dalam, menungguku dengan sabar menyelesaikan telepon.
"Bin, Papa mau ngomong sama kamu nih." Kuserahkan benda pipih itu kepada Bintang, dia menerimanya dan segera menempelkan ke sisi telinga.
"Iya Om, adakah yang bisa Bintang bantu."
"Titip anak Om, ya. Karena akhir-akhir ini kamu yang sering sama dia jadi saya harap kamu dapat dipercaya dan Om titip."
"Ah, siap Om. Terima kasih banyak, saya selalu menjaganya karena Bunda saya juga memerintahkan saya untuk menjaga Eleanor."
"Bagus. Terima kasih banyak Bintang."
"Sama-sama, Om...."
'Tutt... Tutt... Tuttt....'
"Loh, udah mati aja?"
Aku langsung mengambil ponselku dari Bintang saat ia baru menyelesaikan teleponnya dengan Papa. Tidak biasanya Papa menelepon aku dan sampai berbicara dengan Bintang.
"Papa bilang apa saja tadi?" Aku menatap Bintang penasaran.
"Dia bilang suruh jagain kamu. Sama aja kayak perintah Bunda."
Hah? Aneh.