"Kok lama sekali masuk ke dalamnya? Bunda udah dengar dari tadi mobil Eleanor masuk ke halaman rumah."
Aku segera menghampiri Bunda dan meraih punggung tangannya untuk kucium sebelum duduk di sisinya. "Tadi Papa telepon Bun, trus juga sempat ngobrol sama Bintang," kataku yang diangguki oleh Bintang ketika anak itu baru melakukan seperti yang kulakukan sebagai seorang tamu.
"Oh, kalau gitu ya sudah. Kalian mau minum apa? Biar Bunda suruh bikinin Bibi. Sambil nunggu Papa pulang kerja dulu baru bisa makan malam bareng, ya." Bunda tersenyum seraya menatap ke arahku dan Bintang secara bergantian.
"Lea aja Bun, Bintang mau mandi dulu."
"Nggak nanya kamu! Kamu bisa ambil sendiri."
Aku menahan tawa saat Bunda dan Bintang saling adu mulut. Kalau yang ini Bintang enggak salah, tapi karena Bunda nggak pernah salah di rumah ini, apalagi dia adalah satu-satunya wanita, jadi pasti sudah biasa jika Bintang serta papanya akan mengalah demi kebahagiaan bundanya.
"Tadi Bunda bilang kalian, berarti Elea sama Bintang dong, Ndaa." Bintang menyahut sambil berlari kecil menuju ke kamarnya, sementara Bunda hanya dapat mengelus dada sebelum ia kembali fokus ke arahku.
Bibi muncul setelah itu, aku mengatakan minuman apa saja yang ada yang segar. Agar aku dan Bunda bisa berdiskusi banyak hal hari ini sebelum hari semakin larut.
"Bunda benar-benar makasih dengan kerja keras kamu yang tidak bisa dibayangkan lebih cepat dari progres sebelumnya Bunda pakai jasa lain."
Aku tersenyum lembut, kalau tidak lembur sampai semalaman tentu aku tidak semudah itu menyelesaikannya. Ini juga berkat campur tangan Alika walaupun pada saat itu dia dalam masa magang juga dalam masa percobaan, tetap sudah membantuku di awal dan aku tinggal menyelesaikan finishing saja dengan covernya.
"Alhamdulillah Bun, Lea jadi senang. Tapi Bunda suka kan dengan hasilnya?"
"Suka banget sayang, sampai bingung mau pilih yang mana. Hahaha." Tawa Bunda terlihat benar-benar lepas, terpancar kebahagiaan di wajah Bunda.
"Jadi tadi itu bunga Bun dari Bintang beneran." Aku pun mengalihkan pada topik bunga, dari sini aku bisa menceritakan tentang bosku juga.
"Sudah Bunda duga sayang, hahaha. Anak itu sok romantis bener udah kayak bapaknya dulu."
Aku mengangguk pelan, lantas ingin berbicara lagi ternyata ada Bibi datang membawakan dua minuman dingin untukku dan Bunda serta beberapa camilan kering.
"Ah, terima kasih Bi." Aku berkata ramah dan tersenyum sebelum Bibi itu kembali ke dapur untuk bekerja.
"Lalu kelanjutannya bagaimana sayang? Apakah kamu dan Bintang sudah menjalin hubungan?" Bunda jadi bertanya ke mana-mana yang membuatku sulit menjawabnya karena memang aku belum memberikan jawaban kepada Bintang tentang bagaimana perasaanku padanya.
Membaca raut wajahku, tangan Bunda terulur untuk menepuk bahuku. Dia seolah tahu aku belum memberikan jawaban apa pun.
"Ingat ya sayang, ikuti kata hatimu." Bunda memberikan semangatnya. Aku mengangguk dan balas tersenyum.
"Sebenarnya Bun, tadi setelah dapat kiriman bunga dari atas nama Bintang, bosku mengira itu adalah penulis pena Bintang." Kubuka suara dengan menceritakannya pada Bunda.
"Trus kenapa sayang?" tanya Bunda heran sekaligus penasaran.
"Nah masalahnya ini, bosku penasaran dengan Bunda. Dia pikir penulis bernama pena ini benar-benar laki-laki seperti yang Bunda kasih di buku sebelumnya kan profilnya ada vector wajah seorang laki-laki. Itu memperkuat dugaan para netizen kalau pemilik aslinya memang laki-laki, Bun." Aku menceritakan secara singkat kepada Bunda.
"Hahaha, dari dulu dia memang sangat penasaran. Makanya pas Bunda tahu kamu di sana, Bunda mau nyoba tapi dia masih penasaran juga."
"Bunda bisa menutupi identitas Bunda sejauh ini sampai mengelabui mereka dengan jenis kelamin laki-laki. Dan mereka percaya. Bintang adalah laki-laki yang sempurna, yang bersinar di langit, bersinar di hati para pembaca Bunda juga," ungkapku seraya memberikan gambaran kasih sayang mereka kepada Bunda.
"Iya sayang, Bunda nggak maksud seperti itu. Nggak maksud membohongi mereka. Tapi kalau Bunda berkarya dengan cara misterius ini, mereka akan lebih penasaran dengan karya Bunda saja, bukan dengan kehidupan pribadi Bunda, begitu maksudnya."
Aku mengerti, sangat mengerti soal ini. Itulah mengapa aku menolak tawaran Pak Gunawan. Aku tidak mungkin mematahkan kepercayaan Bunda padaku. Aku harus menjaganya, seperti menjaga identitas Bunda di balik nama pena Bintang itu.
"Maka dari itu, aku nggak mau Pak Gunawan tahu walaupun dia sangat memaksa dengan ide gilanya itu."
"Apa itu ide gilanya sayang?" tanya Bunda lagi seraya menatapku penasaran.
"Aku disuruh menemui nama pena Bintang itu di tempat umum dan dia menguntitku. Lalu setelah tahu mungkin suatu saat Bunda akan ditawari sesuatu yang bekerja sama dengan Pak Gunawan dan tentu saja berbau uang. Tapi aku menolak. Dia sampai memberikan aku penawaran juga bahwa aku bisa mendapatkan gaji dua kali lipat, uhm itu sepertinya terlalu memaksa dalam menaikkan gajiku," tuturku panjang lebar agar tidak ada kesalahpahaman antara diriku serta Bunda hanya karena tuntutan dari bosku.
"Ya Tuhan, kau benar-benar baik sekali sayang. Kau lebih memilih Bunda dari pada menerima gaji besar dari bosmu." Bunda tampak terharu, lalu tiba-tiba berhamburan memelukku.
Aku yang syok hanya dapat menerima pelukan dari Bunda. "Tentu Eleanor sangat sayang Bunda."
Usai berpelukan dan mengucap syukur, Bunda mengurai pelukan kami dan Bunda menyuruhku meminum sirup bikinan Bibi, juga mencicipi kue-kue yang di buat Bunda bersama Bibi.
"Bunda punya rencana bagus," bisik Bunda tiba-tiba seraya menatapku dengan senyuman sumringahnya.
"Apa itu Bunda?" Aku yang benar-benar tidak tahu, bertanya dengan ekspresi wajah polos.
Bunda berdeham pelan sebelum mengatakannya. Bunda juga tidak melunturkan senyuman di kedua sudut bibirnya. "Bunda mau sosok Bintang terpublikasi seperti dugaan mereka."
"Maksud Bunda?" Aku bertanya lagi, kali ini aku harus mendengarkan dengan jelas apa yang ingin Bunda Dewi katakan karena sejujurnya Bunda membuatku bingung akan maksud yang hendak ia sampaikan.
"Bintang adalah penulisnya."
"Bintang Bun?" Aku syok, menangkap maksud Bunda, tapi aku takut salah dalam menangkap maksudnya. Jadi kutanyakan dengan ekspresi terkejut yang masih belum bisa kukendalikan jika ini tentang dirinya.
"Iya, Bintang kan anak Tante dan namanya memang Bintang. Dia bisa menjadi penulis dari nama pena yang kubuat seperti namanya. Bukankah itu keren?" sungut bunda Dewi dengan ekspresi yang tampak membuatku tidak yakin.
"Bunda sedang tidak bercanda, kan?" tanyaku lagi dengan tatapan memastikan.
"Apa yang sedang dibecandain?" celetukan dari arah lain tiba-tiba datang, dan menyahut di tengah obrolan aku bersama bundanya.
"Hei Bintang, sini Nak duduk. Bunda mau ngomong sama kamu. Ini ide Bunda, jadi kalau kalian setuju, Bunda akan sangat merestuinya untuk kalian melakukannya."