POV Bintang
Pulang dari rumah Eleanor sekitar pukul setengah sembilan malam, sampai rumah jam sembilan lebih. Tidak bisa masuk kamar langsung karena Bunda tiba-tiba memanggilku untuk duduk sejenak di ruang keluarga.
"Gimana dengan Lea? Setuju kan sama papanya juga?" tanya Bunda yang tampaknya mengkhawatirkan bahwa Lea akan menolak ajakan Bunda karena pada dasarnya Lea ingin memiliki waktu berdua bersama papanya saja. Tapi kami masuk hendak ikut dan ada hal penting yang sebenarnya telah dipersiapkan Bunda bersama papaku.
"Setuju kok Bun, tenang aja kita akan berangkat besok, kan?" seru Bintang yang dianggukki oleh Bunda. "Kalau gitu Bintang ke atas dulu mau istirahat biar besok bisa lebih seger Bun."
"Ya udah jangan lupa bawa yang perlu aja." Bunda hanya bisa meneriakiku agar mengingat membawa baju ganti. Karena biasanya Bunda yang menyiapkan semua. Aku suka lupa, tapi jika aku akan siap berkeluarga pasti Bunda membiarkan aku hidup lebih mandiri.
Ketika aku masuk kamar, langsung ku siapkan saja beberapa pakaian dan memasukkan ke dalam tasku. Tak perlu banyak-banyak karena kami berniat liburan biasa saja. Bukan liburan panjang sampai beberapa hari atau minggu. Paling tidak tiga hari dua malam kalau Bunda yang pesan tiketnya karena biasanya liburan keluarga kita juga begitu.
Belum sempat aku membersihkan badan, ponselku sudah berbunyi. Ada sebuah telepon dari seseorang. Aku pikir itu Lea, ternyata bukan melainkan bosnya Lea. Aku berdecak kesal karena beliau harus meminta nomerku setelah aku mengizinkan Lea untuk mengambil cuti.
"Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" Aku bertanya padanya usai memberikan sapaan ramah.
"Malam Bintang. Maaf sekali kalau saya mengganggu malam-malam begini. Apakah kamu sibuk dan sudah tidur tadi sehingga saya benar-benar mengganggumu?" Dia bertanya dengan sopan dan melihat dari sisiku bahwa aku tidak benar-benar sibuk agar ia tidak merasa bersalah.
"Tidak apa-apa, tidak mengganggu kok Pak. Saya baru saja pulang dari rumah Lea. Apakah ada yang ingin Bapak tanyakan?" ucapku bertanya padanya dan masih menunggu dengan menarik kursi meja belajarku untuk duduk di sana.
"Oh jadi tadi dari rumah Eleanor toh? Jadi gini Nak Bintang, saya mau nanya apakah proses penandatanganan yang banyak itu sudah dikerjakan sebelum kamu berangkat cuti ke luar kota bersama Eleanor?"
Aku terdiam tidak langsung menjawab dan tidak mungkin aku menutup telepon lalu bertanya pada bunda, lalu menjawab pertanyaan Pak Gunawan karena sangat tidak sopan dan tidak masuk akal.
"Nak Bintang dengar kan?" serunya lagi yang membuatku berjingkat.
"Eh dengar, dengar, Pak. Ini saya lagi ngambil minum sebentar jadi ponselnya ditaruh."
"Oh, ya udah monggo ngambil dulu, Nak Bintang."
"Sudah Pak. Maksud saya semua sudah beres kok dan jangan khawatir. Nanti akan aku kabari saat waktunya tiba dan mengirimkan buku ini ke penerbit lagi dan mulai mengirimkan ke pemesannya kan?" sungutku yang belum tahu pasti apakah sudah selesai Bunda kerjakan atau belum. Karena yang jelas aku tidak mungkin bilang belum. Cari amannya saja.
"Baiklah, terima kasih dan saya hanya ingin memastikan itu saja. Selamat beristirahat Nak Bintang."
Spontan aku mengangguk singkat, padahal ia tak akan melihat respon dari tubuhku. "Iya Pak, selamat istirahat juga." Lantas panggilan pun di akhiri dengan helaan napasku sebelum pergi ke kamar mandi sepertinya aku harus kembali menemui Bunda lagi.
"Bunda!"
Aku buru-buru turun ke bawah sambil teriak-teriak yang membuat Bunda segera mendongak dan menatapku bingung lantaran ia sedang bersantai juga bersama Papa. Sepertinya aku mengganggu momen romantisnya mereka.
"Apa sih Tang teriak-teriak ini udah malam loh," tukas Bunda seraya menyatukan alisnya heran.
"Mau nanya Bunda udah tanda tangan semua buku baru Bunda belum?"
"Belum, kenapa emangnya? Kan masih ada waktu jadi Bunda belum kelarin tadi rencana sih habis nonton film ini kelar baru Bunda lanjut."
"Ya Tuhan, yang penting segera Bunda kelarin deh ya. Soalnya aku udah bilang selesai semua pas di telepon sama bosnya Lea."
"Kamu tukeran nomer?"
Aku mengangguk pelan.
"Untung kamu yang muncul bukan Bunda. Kalau Bunda bisa cemburu papamu."
Aku tertawa terbahak-bahak melihat bagaimana ekspresi kedua orang tuaku. Berhubung hanya itu yang mau aku sampaikan pada mereka, jadi aku akan segera kembali ke kamar lagi. Aku akan mandi, menyiapkan untuk kepergian besok dan tidur.
***
Keesokan harinya, mobil sudah disiapkan oleh Papa dan kami akan berangkat menjemput ke rumah Eleanor. Mama dan Papa membawa satu koper mini. Karena kami akan naik pesawat untuk menuju ke Bali, maka Papa membawa sopir agar mobilnya bisa dibawa pulang lagi setelah mengantar kami sampai ke Bandara.
"Kamu cuma bawa tas doang? Isinya berapa pakaian?" tanya Bunda yang duduk di depanku seraya menoleh ke belakang sekilas.
"Iya Bun, kan aku sendiri belum punya istri jadi ya bawa tas aja. Cuma dua pakaian aja cukup kan, Bun?"
"Dua pakaian? Astaga Bintang kamu emang suka nggak kira-kira ya. Ntar kalau kamu mau basah-basahan main di pantai gimana coba?"
"Lepas baju Bun kalau nipis bajunya, hehehe."
Bunda hanya bisa geleng-geleng kepala dengan kelakuanku yang super menyebalkan dan selalu memiliki jawaban untuk mendebatnya. Karena aku dan Bunda sama. Begitu tiba di rumah Eleanor, Bunda segera turun dan aku tentu saja menunggu bagian depan di buka setelah Bunda dan Papa turun.
"Bunda, Papa," sapa Eleanor yang membungkuk untuk mencium punggung tangan kedua orang tuaku, sementara aku yang telah mengulurkan tangan hanya ia lihat saja sebelum menjulurkan lidahnya kemudian berlari masuk ke dalam rumah menyusul kedua orang tuaku yang telah masuk lebih dulu. Benar-benar wanita itu membuatku gemas dan ingin memiting kepalanya saja.
"Silakan duduk dan masuk dulu. Apakah sudah sarapan semua?" tanya Papa Eleanor seraya mempersilakan kami duduk semua.
"Belum Pak, kita nanti akan makan di pesawat saja karena saya sekalian pesan yang sudah free makanan, hehe."
"Wah, sepertinya terlalu merepotkan Ibu dan Bapak. Saya jadi tidak enak karena ini berawal dari liburan saya dan anak saya."
"Haha, tidak apa-apa Pak. Justru kita ingin ikut setelah meminta izin kepada Eleanor karena nanti akan ada hal penting di mana kita butuh waktu untuk berkumpul bersama dan membicarakannya." Papa mulai angkat bicara, sementara Mama bertanya pada Eleanor apakah semua persiapan sudah disiapkan oleh Eleanor dengan papanya, jika sudah Mama ingin segera pergi ke Bandara karena jadwal kami terbang dua jam lagi.
"Ini ada pudding sama cake bisa di bawa kan, Bun? Siapa tahu laper nanti bisa di makan di mobil soalnya kan masih dua jam lagi kita sarapannya otomatis," ucap Eleanor yang membuatku tak sabar ingin mengambil salah satu untuk memakannya.
"Kamu yang buat ini sayang?" tanyaku yang berdiri di dekat Eleanor.
"Bukan, tetangga aku yang."
"Loh serius yang," tukasku dengan memasang wajah serius.
Eleanor menaik turunkan alisnya, ia mendekat ke wajahku dengan mata sedikit melotot dan membuatku mundur sedikit. "Kamu yakin mau seriusin aku?"
"K-kok... kamu tahu?" Aku bertanya lirih sambil menatapnya curiga, padahal tak ada dari kami yang ingin memberitahu apa rencana dari perjalanan ini.
"Ke cium dari sini sayang, muachh!"
Oh, shitt! Dia terlalu pintar memainkan detak jantungku karena tiba-tiba bibir manisnya menempel sekilas, membuatku ingin memakannya tapi dia sudah pergi begitu saja dan membiarkanku nelangsa di sini. Tidak apa-apa, sebentar lagi kamu akan menjadi milikku, Lea. Benar-benar milikku setelah aku melamarmu.