Suara tawaku tidak terlalu keras, hanya saja ada yang lebih mendominasi kebahagiaanku hari ini. Dia yang saat ini sedang memboncengku. Dia yang saat ini menatapku dari kaca spion motornya.
Kami sudah melakukan beberapa hal konyol, terutama bosku yang tahu bahwa Bintang ini adalah penulis buku misterius itu. Sampai-sampai aku disuruh pulang lebih awal, beruntung bosku bisa menepati janjinya untuk tidak menyebut Bintang di tempat umum.
Sekarang kami sedang menuju perjalanan pulang ke rumahku. Tapi tunggu sebentar, aku mau mampir dulu untuk membelikan Papa makanan.
"Kamu udah makan sayang?" Aku bertanya pada Bintang, dia bergegas menggelengkan kepala.
"Belum sih yang, kenapa? Mau mampir dulu nggak makan bareng yuk. Kamu belum makan juga, kan?" tanya Bintang seraya menatapku sekilas sebelum ia kembali fokus menyetir.
Aku mengangguk cepat. "Tapi dibungkus aja sekalian sama papaku. Dia belum makan juga pasti karena nunggu aku, karena aku nggak ada izin ke dia makan duluan di luar kan. Jadi nggak apa-apa kan kalau kita makan bertiga di rumahku dulu, yang?" tanyaku lebih dulu dan tidak ingin memutuskan langsung karena aku sama sekali belum pernah mengajak Bintang makan bersama papaku bareng di rumah kami. Aku yang justru sering ke rumah Bintang dan makan bersama keluarganya.
Bintang tersenyum sebelum mengatakan sesuatu kepadaku. "Ah, kamu sering makan sama keluarga aku. Tentu saja aku mau kalau kamu ngajak aku makan bareng sama papamu sayang," ucapnya dengan begitu lembut yang membuat perasaanku lebih lega sebelum kami menemukan sebuah restoran sederhana yang menjual masakan rumahan dan bisa kami bawa pulang.
Aku memesan fuyunghai, capjay, dan mie goreng jawanya tempat makan favorit papaku. Karena di rumah sudah masak nasi, jadi hanya perlu membeli lauknya saja.
"Papa! Lea pulang!" teriakku yang baru saja masuk ke dalam rumah, sehingga membuat Papa keluar dari kamarnya. Dia menatapku sambil geleng-geleng kepala, lalu aku mencium punggung tangannya disusul oleh kehadiran Bintang yang juga mengikutiku.
"Tumben pulang tepat waktu ini?" seru Papa seraya duduk di sofa dan melihatku yang mengembuskan napas panjang.
"Lea bawa makanan banyak. Kita bakalan makan bareng bertiga ya, Pa. Sama Bintang juga. Ayo duduk semua dulu, Lea mau nyiapin makanannya ya, sabar yang lagi lapar karena Lea juga lapar hehehe," kataku seraya bergegas menuju ke meja pantry setelah meletakkan tasku dan melepaskan blazerku terlebih dahulu.
"Sayang, aku ikut bantuin ya," kata Bintang seraya berjalan mengikutiku dari belakang.
Aku tidak melarangnya, kubiarkan saja ia berjalan ke arahku dan mengambil mangkuk sambil menuangkan sayur capjay tersebut. Sementara aku juga menyiapkan minuman dingin untuk kami bertiga.
"Nanti aku mau sekalian ngomongin soal cuti ke Papa," ucapku seraya menatap Bintang yang baru saja selesai menata beberapa menu ke atas meja. Lalu ia mengambil piring-piring serta sendok.
"Sudah siap semua Bin, bentar aku panggil papaku dulu ya," kataku sebelum meninggalkan Bintang di ruangan itu.
"Sekalian ganti baju dulu, jangan pakai kemeja ntar kotor. Ganti baju bebas ya yang," kata Bintang sambil meneriakiku, membuatku menganggukkan kepala cepat dan melangkah ke ruang tengah.
Usai memberitahu Papa bahwa makanan sudah siap, aku menuruti perkataan Bintang agar berganti baju bebas terlebih dahulu. Walaupun belum mandi sore, tidak apa-apa yang penting makan dulu karena aku sendiri tidak mungkin tega membiarkan mereka menungguku lama hanya karena harus mandi terlebih dahulu.
"Pa, Bin, selamat makan yuk makan." Aku datang dan duduk di hadapan Papa, di samping Bintang dengan menebarkan senyum memesona, aku juga membantu mengambilkan makan terlebih dahulu. Seperti untuk Papa, serta untuk Bintang.
"Kamu juga ambil yang banyak, nih nambah capjay juga." Bintang menuangkan capjay ke piringku.
"Makasih sayang." Aku tersenyum senang. Lantas kami makan dengan tenang.
"Kerjaan aman Lea?" Papa tiba-tiba menanyaiku. Dia menatapku dengan penuh perhatian.
"Alhamdulillah aman, Pa. Bahkan ngomong-ngomong Lea udah bisa dapat izin cuti Pa, berkat Bintang jadi pacar Lea akses apa-apa sama Pak Bos dipermudah, Pa." Aku bercerita pada Papa seraya menatap ke arah Bintang sesekali.
Ekspresi bahagia langsung terpampang di wajah Papa. "Serius? Jadi kita akan liburan bersama nih? Mau ke mana?" ujar Papa yang tampak tidak menyangka seperti baru pertama kali bisa merasakan liburan bersama anaknya, seperti sudah lama kami tidak liburan bersama. Namun, kenyataannya memang seperti itu. Papa merindukan kebersamaan denganku dalam momen yang santai.
"Iya Pa, nanti kalau liburannya bareng sama Bintang dan keluarganya ikut juga boleh kan, Pa? Nggak masalah kan, Pa? Rencananya sih mau ngajak ke Bali Pa, lihat pemandangan pantai," tuturku seraya menatap Papa yang berada lurus di depanku.
"Nggak masalah, atur saja terserah kamu Nak. Yang penting kita jadi liburan bareng. Papa juga senang kalau emang mau ramai-ramai," sahut Papa cepat yang membuatku sangat lega saat mendengarnya.
"Aku akan memesankan pesawat untuk keberangkatan kita. Sementara Mama sudah mencari hotel yang dekat dengan pantai-pantai," seru Bintang yang membuatku senang saat mendengar kabarnya.
"Nanti aku patungan berapa bilang aja ya sayang, biar aku transfer ke rekening kamu."
Bintang menggeleng cepat sambil menatapku serius. "Nggak usah sayang, kamu simpan saja karena dibayarin sama papaku kok." Bintang menolakku dengan lembut, dan ia juga mengusap puncak kepalaku.
"Terima kasih banyak sayang." Aku berkata dengan tulus, begitu juga Papa benar-benar akan mengucapkan hal yang sama sepertiku.
"Sama-sama." Bintang berkata dengan senyuman lebar.
"Habis makan nanti taruh aja ya Nak di wastafel, biar Papa yang bereskan. Kamu mungkin mau santai dulu sama Nak Bintang, atau mau ke rumah Nak Bintang?" tanya Papa yang membuatku hampir tersedak karena beliau berkata aku akan ke rumah Bintang, untuk apa lagi?
"Astagfirullah sayang, pelan-pelan ayo minum dulu." Bintang membantuku dengan minum air putih. Dia ikut nyengir dan geleng-geleng kepala heran ketika kedua mata kami saling bertukar pandang seolah dapat berkomunikasi.
"Makasih Bin," ucapku sebelum menghadap ke arah Papa lagi.
"Hati-hati kalau makan, Nak."
"Papa ngagetin aku," sahutku seraya terkekeh pelan.
Sebelah alis Papa terangkat heran. "Ngagetin gimana?" tanyanya bingung dan belum sadar dengan apa yang membuatku tersedak.
"Ini kan sudah malam Pa, buat apa aku harus ke rumah Bintang? Nanti sama aja bolak balik Bintang bakalan nganterin aku lagi jadi ribet banget Pa, makanya aku ketawa Pa."
Sontak Papa juga ikut tertawa, ia bilang sudah terlalu tua sampai tidak bisa berpikir apakah ucapannya sudah benar atau tidak tadi. Alhasil, aku benar-benar tidak boleh membantu membereskan cucian piring makanan kami. Aku bersama Bintang disuruh menunggu di ruang tengah, setelah Papa bilang aku sudah capek bekerja di luar, maka di rumah aku tidak boleh bekerja selagi Papa masih mampu membereskannya sendiri.