Chereads / Not a Dreaming Marriage / Chapter 15 - Terjebak Dalam Keputusan

Chapter 15 - Terjebak Dalam Keputusan

Aku tidak jadi mengantuk. Pasalnya keluar dari ruangan Pak Gunawan, langsung izin keluar dan pergi mencari tempat aman. Di mana lagi kalau bukan di rooftop gedung ini yang sudah pasti aman dan tidak akan ada karyawan lain selain diriku.

Bunga itu ikut aku bawa, lalu aku merogoh ponsel dan membuka aplikasi WhatsApp. Mencari nama Bunda yang kemarin sudah kuminta secara langsung nomernya. Kuambil foto terbaik sebelum kukirim kepada Bunda.

Eleanor : (Mengirim sebuah foto)

Bunda yang kirim ini? Terima kasih banyak, tapi sungguh membuatku terkejut karena itu juga bosku mengira Bunda adalah seorang pria yang mengajakku kencan.

Lalu aku menutup WhatsApp tersebut dan memasukkan ponsel ke dalam saku. Kuamati bucket tersebut sambil meraih sebuah kartu ucapan yang ternyata di dalam bunganya tersebut menyembunyikan sebuah cokelat. Alisku saling bertautan, namun di dalam kartu ucapan hanya ada pesan, 'semoga kamu suka, Bintang.'

Hanya itu, pantas saja Pak Gunawan menyimpulkan aku bahkan berhasil mendapatkan hati penulis misterius itu. Padahal ini dari mamanya Bintang, tapi tidak mungkin ini dari Bintang, kan?

"Tapi ini bisa jadi dia, karena malam itu dia baru saja mengatakan perasaannya padaku," gumamku sambil meraih tempat duduk yang berada di tengah-tengah rooftop.

Kupandangi bucket bunga dengan cokelat yang kuletakkan di atas meja, sambil menompang dagu kuhembuskan napas beberapa kali. Di sini memang lebih tenang, kebetulan sekali cuaca tidak sedang terik, melainkan sedikit mendung. Angin sepoi-sepoi terasa sangat menyejukkan menyentuh permukaan kulitku.

Kala ponselku bergetar, aku mengeluarkannya lagi. Ada pesan masuk dari Bunda yang membalas pesanku tadi.

Bunda Dewi : Bunda nggak ngirim ini sayang.

"Hah? Jadi benar firasat gue?" celetukku sambil membelalakkan mata lebar setelah membaca balasan dari Bunda Dewi.

Usai kubaca pesannya dan masih syok karena menatapnya cukup lama, pesan masuk lain dari Bunda muncul lagi.

Bunda Dewi : Bintang mungkin, apakah dia tidak mengatakan apa-apa kepadamu?

"Bisa jadi," gumamku pelan sebelum ada seseorang yang tiba-tiba sudah duduk di hadapanku.

"Bisa jadi apaan?"

"Astagfirullah Monica! Lo ngagetin gue aja," pekiku seraya mengelus dada heran dengan kelakuan sahabatku yang satu ini.

Monica hanya mengedikkan bahu acuh, lantas ia menyodorkan kopi yang tadinya memang dibuat untukku tapi justru aku tidak ada dan malah berdiam diri di sini. "Lo udah dibuatin kopi malah nggak ada ngilang. Tahunya di sini lo," gerutu Monica, membuatku tertawa pelan.

"Ya sori."

"Apaan tuh? Bunga dari siapa?" tanya Monica seraya menatap ke arah bungaku dengan penasaran.

"Nggak ada yang ngebuntutin lo sampai ke sini, kan?" Aku memeluk bunganya dan menatap Monica dengan selidik, sebelum memberitahunya, aku harus bertanya tentang hal itu agar tidak ada yang mendengar obrolan kami.

"Nggak ada aman elah." Monica memutar bola matanya kesal.

"Ini bunga dari Bintang. Gue udah cerita ke lo kan soal cowok yang namanya Bintang dan dia adalah mantan si Alika, tapi ada nama penulis yang pakai nama Bintang ini. Karena bunga ini sampai ke Pak Gunawan, beliau kira ini adalah Bintang penulis itu, padahal bukan. Ini dari Bintang yang baru saja mengungkapkan perasaannya padaku kemarin malam, Mon."

"Apa lo bilang? Serius ini gue nggak salah dengar?"

Aku mengangguk, walaupun Monica adalah sahabatku, dia tetap tidak boleh tahu tentang Bunda. Aku benar-benar yakin ini dari Bintang sendiri, jadi bukan salahku juga untuk berbobong padanya. Bunda Dewi saja sudah mengatakan ini bukan dirinya, dan tak ada yang bernama Bintang selain anak Bunda.

"Serius. Kalau gue bohong udah ketawa kayak gini nih, 'hahaha' tapi lo lihat sendiri kan muka gue serius nggak ada bercandaannya?" tukasku sambil menatap Monica dengan muka datar.

"Trus lo jawab apaan pas dia nembak lo, Lea?" tanya Monica seraya menatapku penasaran.

Aku bergumam pelan, lalu menggelengkan kepala samar.

"Wah parah lo ngegantung!" Monica menarik tubuhnya menjauh dan bersandar pada kursi, ia menatapku tak percaya seakan aku sudah membuat kesalahan dengan melepaskan sebuah emas yang hilang. "Nuca udah nggak ada harapan lagi, Lea, jadi ini kesempatan lo buat coba buka hati."

"Kalau gue nggak cinta sama dia, berarti gue tetep harus jawab iya gitu?" Aku bertanya padanya.

"Setidaknya cinta itu bakalan tumbuh pas kalian bareng. Kalau emang lo rasa tetap nggak bisa ada, lo bisa bilang baik-baik ke dia, lo bisa mundur dari pada nanti nyakitin dia."

"Kalau misalnya gue yang takut disakitin sama dia nantinya gimana?" Aku menaikkan setengah alisku, membalikkan sebuah fakta untuk meminta pendapat Monica.

Monica terdiam, ia menatapku lekat-lekat. "Ini risikonya Elea, dalam setiap hubungan pasti akan ada yang namanya kecewa, tergantung situasinya nanti gimana. Gue cuma bisa ngedoain lo dan ngedukung yang terbaik buat lo. Terserah kalau emang lo masih mau mikir-mikir, asal lo harus tanya kata hati lo, jangan dengerin ucapan orang lain selama lo nggak sreg."

Aku menganggukkan kepala dan tersenyum senang. Lalu meraih kopi yang telah dibuatkan oleh Monica untuk segera di minum.

"Jangan sampai ada yang tahu soal ini. Biarin mereka tahu seperti apa yang udah diketahui bos kita."

***

Seharian ini pekerjaanku disibukkan oleh Alika. Seharusnya aku pergi lagi ke tempat usaha Ilham. Namun karena Alika merengek minta diajarkan, dan Ilham juga menyuruhku agar fokus kepada Alika sejenak, mau tak mau aku berada di kantor ini. Apalagi hari ini juga pemilihan untuk voting cover buku nama pena Bintang. Bosku selalu memantau hasil vote cover terbanyak.

Dia sepertinya yang paling senang dengan proses penerbitan buku Bunda Dewi karena akhirnya mau mengajak kerja sama perusahaan ini.

"Udah Mbak, capek gue. Ini udah paham ntar gue lanjut di rumah aja deh, bisa dikumpulin besok kok." Alika merentangkan kedua tangannya sambil berputar ke kanan kiri untuk merilekskan tubuhnya yang pegal-pegal.

"Yakin udah paham? Kalau udah di rumah gue males ngeladenin kerjaan loh." Aku berkata dengan sedikit jutek, menatapnya tajam.

"Iya Mbak, mending sekarang kita pulang nyari makan, gue mau nraktir lo karena lo udah baik sama gue." Alika tersenyum lebar sambil menatap ke arahku.

Mendapatkan traktiran gratis sebenarnya aku senang-senang saja. Tapi Bunda Dewi tadi mengirimkan pesan agar sepulang kerja ini aku dapat mampir ke rumahnya. Pasti tujuannya juga diajakin makan malam.

"Nggak deh, lain kali aja kalau mau traktir ya. Gue ada urusan soalnya."

"Yhaa, sayang banget. Ya udah serah lo deh Mbak. Intinya makasih untuk ilmunya dan gue pamit karena besok juga udah nggak di bagian ini." Alika mengulurkan senyumnya sebelum ia beranjak mengambil tas dan pergi meninggalkan ruang divisi ini usai berpamita bersama yang lain juga.

Sepeninggalan Alika, Pak Gunawan yang belum juga pulang, menghampiriku dengan wajah sumringahnya.

"Eleanor!"

Bahkan sampai namaku diserukan dengan sangat lantang.

"Ya Pak, bisa saya bantu?" Aku masih berdiri di posisi yang sama sambil memberikan senyum ramah kepada Pak Gunawan.

"Covernya sudah ditentukan dan saya punya ide tapi ini membutuhkan bantuan kamu!" Pak Gunawan terlihat lebih semangat dan menggebu-gebu saat mengatakannya.

"Maksudnya ide buat apa yang butuh bantuan saya, Pak?" Aku sudah tahu perihal cover, tetapi aku sedikit aneh dengan melihat kedua mata Pak Gunawan yang kira-kira ingin mengide sesuatu.

"Bagaimana kalau kamu ajak Bintang ini bertemu dan saya akan menguntitmu tanpa sepengetahuan Bintang supaya saya bisa tahu bagaimana wujud penulis misterius ini. Kumohon bantu bosmu ini memecahkan misterinya, Elea. Maka aku akan menaikkan gajimu dua kali lipat dan berlaku selama dua bulan, bagaimana?"

Kedua bola mataku terbuka lebar dengan bibir tertarik ke bawah. Aku tidak menyangka akan diperintahkan seperti itu.

"Elea, jangan bengong. Jadi bagaimana?"