POV Eleanor
Sejak pulang ke rumah dan merenung di kamar, aku sudah mulai sibuk bekerja dengan persiapan launching naskah baru Bunda Dewi. Sebenarnya, aku lupa menanyakan sesuatu padanya. Kenapa dia memakai vector pria sedangkan jenis kelamin penulisnya sendiri adalah perempuan. Apalagi beberapa hal mengganggu pikiranku. Stress banget rasanya sampai aku harus bolak-balik keluar kamar cuma karena aku butuh kopi.
"Kenapa belum tidur? Lagi banyak kerjaan?" Papa tiba-tiba muncul di belakangku, sedikit kaget, tapi setelah itu aku hanya dapat membuang napas pendek.
"Lembur Pa, banyak yang harus dikerjain dan dikumpulin dalam waktu dekat ini."
"Tapi kamu juga harus jaga kesehatan. Konsumsi jus wortel biar matanya sehat."
Aku hanya mangguk-mangguk mendengarkan nasihat Papa. Kemudian terjadi keheningan karena kupikir Papa sudah kembali ke kamar dan meninggalkanku seorang diri di dapur. Begitu aku berbalik sambil membawa air putih dingin untuk dibawa ke kamar, aku masih melihat Papa berdiri sambil menatap ke arahku dengan ekspresi tak terbaca.
"Kenapa Pa?" Aku langsung mengajukan pertanyaan sambil menaikkan setengah alisku heran.
"Kapan-kapan kalau ada waktu kita jalan bareng luar kotaan."
Hah? Kenapa Papa tiba-tiba mau ngajak jalan-jalan? Biasanya kalau ngajak keluar gini Papa lagi stress. Tapi apa yang membuatnya stress belakangan ini? Aku lupa memperhatikannya. Aku mungkin terlalu sibuk dengan pekerjaan dan urusan hati, sampai aku tidak bisa bertanya hal-hal tentang Papa, dan apakah hari-harinya berjalan dengan menyenangkan.
"Baik, Pa. Nanti Elea kasih tahu jadwal kosongnya ke Papa, ya?" seruku seraya tersenyum lebar sebelum kami sama-sama kembali ke kamar.
Di saat aku lagi mikirin laki-laki lain yang baru aja nembak aku dengan entengnya, trus senyum dan pergi gitu aja, sekarang datang lagi pengacau hati yang lain.
Notifikasi dari Nuca, ngapain dia malam-malam ngirim pesan ke aku? Apakah tidak dimarahin sama bininya? Menarik kursi kerjaku, duduk di sana sambil membuka chat Nuca.
Nuca : Gimana kerjaan? Aman?
"Kenapa sih dia di mana-mana selalu nanya kerjaan aman? Aman? Aman nggak? Lo nggak tahu kalau kerjaan gue sekarang lebih aman kalau nggak ada lo kayaknya," gerutuku sambil mengomel-ngomel sendiri ketika membaca chat dari Nuca.
Sebal, menggerutu dan mengerucutkan bibir, pada akhirnya aku membalas pesan tersebut dengan malas-malasan.
Eleanor : Aman. Lo masih lama kan honeymoon-nya?
Nuca : Kenapa kalau masih lama? Lo butuh gue?
"Butuh lo matamu, ya?!" Aku jadi banyak dosa kalau chat lama-lama dengan Nuca, karena kebanyakan memaki.
Eleanor : Kalau masih lama bagus, gaji gue banyak.
Nuca : Ya udah kalau masih bisa handle sendiri gue lama-lamain deh.
"Bodoh amat anjir! Lebih baik gitu, gue lagi menata hati nih," umpatku seraya meletakkan ponsel setelah membaca pesan terakhir Nuca tanpa berniat membalasnya.
Akhirnya aku dapat menyelesaikan layout dan cover setelah pukul empat subuh berlalu. Aku benar-benar lembur. Entah pemicu apa yang membuatku ingin lekas menyelesaikannya, mungkin karena aku ingin mengambil cuti setelah Nuca kembali. Aku membutuhkannya, seperti apa yang dikatakan oleh Papa tadi. Kami butuh waktu bersama.
"Ini cover tinggal di voting sama tim pembaca Bunda dulu, baru bisa reales dan masuk ke proses pembuatan ISBN sebelum pencetakan," gumamku seraya menatap dua sampai tiga pilihan desain cover yang kubuat sebelum menutup laptop, kemudian bergerak lesu ke arah kasur dan mulai merebahkan tubuhku di sana.
"Sepertinya aku harus memasang alarm jam setengah tujuh pagi agar tidak terlambat ke kantor. Tiga jam cukup sebentar untuk menutup mata," gumamku yang setengah sadar sambil mengeset alarm.
***
Tubuhku bergerak dengan tegak, namun mataku terlihat sayu. Beberapa orang yang berpapasan denganku di kantor saling menyapa, aku hanya bisa berkata 'ah, ya.' Atau 'oh, hai.'
Mereka pasti tahu kekusutan wajahku ini terjadi karena aku bekerja terlalu keras. Monica sudah duduk di kursinya lebih awal. Aku sengaja datang mendekati jam masuk kerja karena masih membutuhkan istirahat.
"Habis banyak job lo?" tanya Monica seraya menghampiri mejaku sambil memberikan tatapan heran.
Aku mengembuskan napas panjang, lalu membuat tanganku sebagai tempat untuk menompang kepalaku sejenak. "Bentar ya, mau merem bentar aja." Aku berkata pada Monica dengan tampang memohon, sempat melirik ke arah Alika yang baru saja datang.
"Gue buatin kopi," ucap Monica singkat sebelum ia beranjak pergi ke arah dapur untuk membuat kopi sendiri.
Aku tidak bisa benar-benar tidur, kubiarkan saja Monica pergi walaupun sebenarnya aku mengalami gejolak aneh dengan perutku akibat terlalu banyak meminum kopi malam itu hanya demi menyelesaikan naskah Bunda.
"Mbak, lo dipanggil ke ruangan," kata Alika yang berbicara denganku.
Aku masih bisa mendengarnya, tetapi aku tidak bisa membuka mata dengan baik seakan-akan sudah ada perekat agar aku tetap setia memejamkan mata.
"Ruangan siapa?" Suaraku terdengar lirih.
"Ruangan Pak Gunawan lah Mbak, siapa lagi?" celetuk Alika seraya memutar bola matanya. "Oh ya, hari ini gue terakhir berada di divisi ini. Gue pindah divisi dan mau belajar yang lain juga. Tapi gue dapat tugas, lo bisa nggak bantuin gue Mbak? Plis, Mbak ayo dong melek." Alika menggoyangkan lengan tanganku. Hal ini membuatku terusik dan bergerak membuka mata.
"Bentar, gue ke ruangan Pak Gunawan dulu." Aku pun akhirnya beranjak dari dudukku dengan terpaksa, mengabaikan Alika sejenak. Sempat kutangkap ia mengerucutkan bibirnya, tapi dia tidak merengek lagi dan menahanku untuk mendapatkan jawaban setuju dariku.
Aku membuka pintu ruangan Pak Gunawan. Pasti ia memanggilku untuk bertanya tentang proges naskah Bintang. Tentu saja aku sudah melakukannya dengan baik, menyelesaikan lebih cepat dari jadwal deadline.
"Eleanor, duduklah." Pak Gunawan tersenyum sambil memutar kursinya menyambut kedatanganku setelah ia mendengar suara pintu terbuka.
Aku hanya mengangguk sebelum mengatakan sesuatu. "Ada sesuatu Pak?" tanyaku seraya berusaha untuk menyembunyikan rasa kantuk.
Awalnya wajah Pak Gunawan terlihat membingungkan. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi sampai ia memanggilku ke sini. Lalu senyumannya mengembang dan dia meraih tanganku untuk diajak berjabat tangan.
"Selamat! Congratulations, Eleanor!" Dia berkata dengan penuh kegembiraan.
Apa maksudnya?
"Kenapa Pak? Aku enggak lagi menang lomba loh," kataku masih dengan ekspresi bingung.
"Emang enggak Elea, ini yang membuatku senang dengan pekerjaanmu." Dia begitu heboh, lalu berdiri dari duduknya sambil meraih sesuatu seperti sebuah bucket bunga.
"Nih," kata Pak Gunawan seraya menyodorkan bucket bunga tersebut ke hadapanku. "Dari Bintang, kamu hebat. Apakah kalian bertemu dan saling menyukai sampai penulis Bintang ini memberikanmu bunga, Elea?"
Syok, mataku langsung terbelalak. Awalnya aku terheran-heran karena kupikir Pak Gunawan sedang tidak baik-baik saja karena memberiku bunga. Oh, ternyata ini Bunda. Tapi untuk apa?
Aku masih bengong dan menatap bergantian antara bucket bunga dan juga ekspresi senang Pak Gunawan.
"Kamu berfoto juga tidak bersama dia waktu bertemu? Apakah dia tampan? Aku ingin melihatnya Elea!" Pak Gunawan mengguncang bahuku, menyadarkanku dari keterbengongan.
"Nggak Pak. Dia tidak suka berfoto. Dia misterius. Tapi dia tampan."
Menjaga identitas Bunda sepertinya lebih baik dari pada mengatakannya.