Kantor menjadi sepi karena tidak ada dia. Eleanor pun lebih banyak diam dan fokus bekerja karena yang selalu membuatnya menjadi manusia paling berisik, hanyalah Nuca. Laki-laki yang saat ini sedang melakukan cuti nikah, sekaligus honeymoon.
"Elea, gue panggil sampai tiga kali lo nggak nyahut-nyahut sih?"
"Apaan? Lo ganggu biasanya kalau manggil. Nggak lihat apa kerjaan gue banyak?" Eleanor menjawab pertanyaan sahabatnya sekaligus menjadi rekan kerja, siapa lagi kalau bukan Monica.
Sebal karena tidak ditatap dan masih terus terfokus pada komputer, Monica pun menundukkan sedikit tubuhnya dan berbisik di dekat telinga Eleanor. "Kerjaan lo makin banyak karena lo kerja sendiri, kan? Gara-gara dia cuti, ya? Tapi kan bayaran lo jadi lebih banyak."
"Hm," gumam Eleanor seakan ia tidak tertarik dengan obrolan mereka berdua.
"Gue ke sini bukan mau ganggu lo. Tapi gue disuruh sama Pak Bos buat manggil lo ke ruangannya karena ada orang yang mau dikenalin ke lo katanya," tukas Monica sebelum ia kembali menegakkan tubuhnya dan berjalan pergi ke arah kursinya karena hanya itu saja kepentingannya bersama Eleanor.
Tidak banyak berbicara, Eleanor pun meninggalkan sejenak pekerjaannya. Ia berjalan melewati meja kerja Monica dan memberikan senyum tipisnya sebagai ucapan terima kasih sebelum ia masuk ke dalam ruangan bosnya. Monica pasti tahu kenapa Eleanor jadi lebih banyak diam. Karena hanya dia di kantor ini yang mengerti, bahwa perasaan yang dimiliki Eleanor kepada Nuca telah tumbuh dan mekar dari dulu, sebelum pria itu menemukan cinta sejatinya.
"Permisi Pak, apakah benar saya dipanggil?"
Setelah mengetuk pintu, Eleanor membukanya dan berdiri di ambang pintu sebelum diperintahkan masuk ke dalam.
"Eleanor, masuklah." Gunawan berkata sambil mengangguk singkat.
"Ada perlu apa Pak kira-kira?" Eleanor tersenyum ramah, ia sempat melirik seorang wanita yang tampaknya lebih muda darinya.
"Perkenalkan, Elea ini Alika Diningrat. Dia keponakan saya dan karena masih muda, dia disuruh magang di sini untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya sebelum dia mendapatkan kepercayaan untuk melakukan petualangan baru. Jadi saya harap kamu dapat membantunya. Selama Nuca cuti, dia akan belajar bersama kamu dan meringankan pekerjaan sedikit demi sedikit," kata Gunawan yang membuat Eleanor melongo begitu mendengarkannya.
"Kalau Alika, ini Eleanor Rasi namanya. Dia bagian divisi pengembangan ide tapi juga kadang desainnya langsung dikerjain sendiri sama dia setelah dapat izin dari Nuca dan aku. Nah, karena kaptennya Nuca lagi cuti, maka Elea sangat bertanggung jawab sendirian. Sementara kamu baru akan magang hari ini, jadi kamu saya kasih kepercayaan buat gabung sama Elea. Kamu bisa berdiskusi dengan Elea, intinya kamu banyak tanya saja ke dia dan bantu apa yang Elea suruh. Di sini sistem kerjanya kan team work, jadi tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Ada kapten yang memimpin dan ada penguat yang melengkapi," sambung Gunawan seraya menatap Alika dengan senyuman lebar usai menjelaskan juga panjang lebar.
"Baik Om, saya mengerti." Alika mengangguk paham, ia tersenyum begitu menoleh ke arah Eleanor.
"Salam kenal, dan semoga kita bisa menjadi rekan yang baik."
"Ya sudah, sekarang kalian bisa keluar dan bimbing dia Ele." Gunawan tersenyum singkat melihat interaksi keduanya. Ia pun menyuruh Eleanor kembali, sambil menatap Alika bergantian, Eleanor beranjak dari duduknya. Ia mengajak Alika mengikutinya.
'Ternyata ada yang gantiin lo ya Nuca,' batin Eleanor seraya menutup pintu ruangan bosnya.
"Dudukmu di sini. Kita santai aja ya? Pakai gue lo nggak masalah, kan?" tanya Eleanor yang mencoba membangun interaksi dengan orang baik.
"Okay, gue nggak masalah kok." Alika mengangguk setuju, mereka sama-sama melempar senyuman. Setelah Alika duduk, Eleanor kembali ke mejanya. Ia mengambil sesuatu dari tumpukkan kertas.
"Nih, sedikit yang harus lo pelajari. Kalau lo udah paham ini, tulis alamat email lo sama nomer WhatsApp lo biar gue bisa kirim apa yang pertama-tama harus lo kerjain," tutur Eleanor yang mendapatkan anggukkan pelan dari Alika.
***
Jam istirahat, Eleanor selalu membawa bekal. Dia memakannya di kantin bersama Monica. Gadis itu sudah memesan lontong Kupang saja karena katanya lagi kepengen.
"Alika keponakan Pak Bos cantik juga, ya?" gumam Monica. "Kira-kira dia udah lo kasih kerjaan apa aja?" kata Monica menambahkan pertanyaan.
"Masih nyari tahu dia bisanya apa. Gue bakal ngelakuin cara apa yang dilakuin sama Nuca dulu ke gue sampai gue paham."
Monica tertawa pelan, lantas ia menggelengkan kepala heran. "Lo harus beneran move on kali ini. Karena udah pasti lo nggak bisa dapatin dia, Eleanor."
"Gue tahu."
"Harusnya kemarin lo nggak langsung pergi gitu aja." Monica ingat apa yang terjadi setelah kepergian Eleanor di dalam acara pesta pernikahan malam itu.
"Buat apa? Nongkrong sama anak-anak? Lo tahu sendiri gue nggak terlalu suka nongkrong lama-lama." Eleanor memutar bola matanya malas, ia jadi tak berselera makan.
"Nuca nyariin lo. Bukan nongkrong, lo bilang ke gue katanya lo udah pamit ke mereka. Ternyata lo cuma pamit ke Mahalini, kan? Dikira Nuca lo marah," tutur Monica yang membuat Eleanor tertawa kecil.
"Harusnya dia nggak nyariin gue dan mikirin kalau gue marah, karena dia udah nikah statusnya. Bukan lajang lagi. Ya gue tahu, dia orangnya peduli dan baik banget. Tapi apakah dia nggak nyadar kalau selama ini gue juga punya perasaan yang wajar?"
***
Bintang turun dari lantai dua dengan pakaian yang sudah rapi dan wangi tubuhnya sampai tercium di sekeliling rumah ini. Bunda yang sedang menonton televisi mendongakkan kepala sambil menatap Bintang dengan senyuman hangat.
"Mau ke mana anak Bunda udah cakep banget?" tanya Dewi seraya menggoda Bintang yang harus menghentikan langkahnya sejenak sambil menghampiri bundanya.
"Bun, aku pamit dulu mau ngajak jalan Eleanor," kata Bintang seraya membungkuk dan meraih telepak tangan bundanya untuk dikecup singkat.
Terlihat kegembiraan di wajah Bunda. "Jadi kamu benar-benar memakai saran Bunda? Itu bagus sekali, Bunda senang mendengarnya Bintang. Semoga lancar ya, Bunda doain kamu bisa move on dan dia juga bisa menerima kamu."
Bintang mengangguk setuju, walaupun dalam hati ia masih ragu untuk melupakan mantan kekasihnya itu. Bunda tidak suka dengan Alika, tapi Bintang memiliki perasaan yang begitu besar padanya meski kesalahan Alika membuatnya kecewa dan sakit hati. Bunda menyukai orang asing yang baru saja masuk ke dalam kehidupan mereka. Eleanor, gadis itu telah mencuri hati kedua orang tuanya. Tapi bagaimana jika ia gagal mencintai Eleanor?
"Amin Bun, Bintang pergi ya. Mungkin baliknya sekitar jam sembilan malam."
"Iya, lama juga enggak apa-apa. Tapi kalau bisa kamu anterin Eleanor sampai ke rumahnya dan bertemulah dengan orang tuanya agar kamu memiliki kesan dan dikenal terlebih dahulu."
"Baik Bunda, makasih sekali lagi sarannya." Bintang pun memberikan hormat kecil sebelum ia berbalik badan dan melangkah pergi.
Sebelum Bintang keluar dari rumah dan menjauh, suara Bunda masih bisa ia dengar dengan jelas. "Jangan berpikiran Bunda punya harapan besar terhadap kamu dengan Eleanor sehingga membebankan pikiranmu. Bunda ngerti dia orang asing, tapi firasat Bunda mengatakan dia lebih baik untuk kamu. Tapi balik lagi ke hati kamu ya Bintang, karena kamu yang ngejalanin hubungan."