Menurut Eleanor ini adalah hari yang terkutuk, datang kepernikahan orang yang dicintainya, lalu musik yang terputar sepanjang perjalanan pulang sangat berhubungan dengan suasana hatinya, dan terakhir bertemu dengan Bu Dewi yang bertanya tentang dirinya yang menyedihkan hingga membuat Eleanor merasa benar-benar terkutuk hari ini.
Sekarang harus terjebak sejenak di rumah Bu Dewi. Konon ini seperti arti dari menepi, di meja yang hangat dengan makanan penuh serta kelengkapan keluarga dan keharmonisannya membawa Eleanor sangat merindukan suasana rumah dengan keluarga lengkap.
"Hebat sekali ya Ele bisa datang seperti Supergirl menyelamatkan Bunda," seru suami Dewi yang bernama Ardan Devara. "Yang nggak nyangka itu langsung lemparin sepatunya tepat sasaran pula, wanita yang mau berkorban untuk melindungi ini nih yang harusnya kamu cari Bintang."
Segera saja Bintang tersedak karena ucapan papanya dan buru-buru sang Bunda menyodorkan minuman. "Hati-hati sayang."
Eleanor hanya bisa tersenyum, ia juga memperhatikan Dewi dalam memberikan perhatiannya kepada Bintang. Sungguh sangat menyenangkan bisa memiliki keluarga lengkap seperti ini.
"Kamu kerja atau kuliah Ele?" Ardan melemparkan kembali pertanyaan tanpa memperdulikan anaknya yang masih terkejut karena ucapannya.
"Saya kerja Om, nggak kuliah," jawab Eleanor dengan senyum mengembang.
"Tapi lulus SMA kan ya?" kata Ardan lagi sambil diselingi sebuah candaan.
"Hush! Papa nggak boleh kepo begitu." Dewi yang tidak enak karena kesannya sang suami seperti meragukan pendidikan Eleanor.
Lagi pula keluarga mereka pun tak pernah mempermasalahkan dalam menilai seseorang harus memiliki pendidikan tinggi. Karena keluarga mereka sudah terbentuk menjadi keluarga pengusaha yang hidup sederhana. Walaupun rumah ini ada dua lantai, kata Dewi tidak sebesar rumah orang-orang di komplek ini. Yang terpenting bagi Dewi adalah kenyamanan orang-orang yang tinggal di dalam rumah ini.
Eleanor terkekeh geli melihat interaksi mereka berdua. Sadar bahwa orang di sebelahnya melirik, Eleanor jadi berdeham pelan sebelum ia menjawab pertanyaan Ardan. "Saya lulusan SMK jurusan multimedia Om, cuma kerjanya ini lebih ke desain ngedit-ngedit gitu."
"Oh, bagus dong. Nggak apa-apa lulusan SMA maupun SMK yang penting udah bisa nyari duit sendiri." Ardan mengacungkan jempolnya dan mengapresiasi Eleanor.
"Terima kasih Om," ucap Eleanor dengan senyum cukup lebar.
"Jangan bilang terima kasih, orang nggak dikasih hadiah." Ardan kembali bercanda, membuat suasana di sini tidak terasa canggung dan selalu cair. Kecuali Bintang yang masih saja diam walaupun sesekali ia terkekeh geli. Mungkin Bintang masih malu dengan Eleanor.
"Kali ini nanya lagi, Ele. Kamu umurnya berapaan?"
"Kok nanyanya berapaan sih Pa? Kamu kayak mau beli umurnya Eleanor aja," tukas Dewi seraya memukul lengan suaminya pelan.
"Maaf ya, orang tuaku emang begini. Maklumin aja," bisik Bintang yang mendekat ke samping beberapa sekon sebelum ia kembali menarik tubuhnya ke tempat semula.
Eleanor jadi salah tingkah sendiri, sambil mengangguk singkat dan tersenyum canggung ke arah Bintang yang di mana ekspresi wajahnya sedang menahan senyuman.
"Nggak apa-apa, lucu." Eleanor menjawab sambil mencondongkan tubuhnya ke sisi Bintang sebelum ia juga menarik diri kembali.
"Saya umur dua puluh tiga tahun bulan Agustus besok ini, Om." Eleanor pun memberikan jawabannya. Jadi suami istri itu langsung melempar pandang seperti hendak mengatakan sesuatu kembali kepada Elenor.
"Bintang anak Om ini sama kamu beda empat tahun aja loh ternyata, Ele." Ardan menatap Bintang serta Eleanor secara bergantian.
Tidak peduli anaknya sedang menatap kedua orang tuanya secara bergantian karena memiliki firasat tidak enak, ternyata benar akan ketakutan Bintang terjadi.
"Bintang save atuh nomer telepon Ele, siapa tahu kalian bisa saling membutuhkan dan kirim nomer Ele ke Bunda kalau udah dikasih Ele." Dewi mengedipkan sebelah matanya, menyuruh Bintang dengan sedikit memaksa jika seperti itu.
"Kenapa jadi Bintang, Bun? Kan, Bunda bisa minta sendiri ke anaknya." Bintang berkata sambil melirik Eleanor yang sedang menunduk sambil menghabiskan makanannya. Ia pura-pura tidak mendengarkan saja.
Ditatap tajam oleh Bunda, Bintang jadi menghela napas panjang. "Elea, kasih nomer kamu ke sini," kata Bintang pada akhirnya hingga membuat Bunda tersenyum lebar.
Eleanor mendongak, ia mendapati tatapan Dewi melembut sambil mengangguk pelan, lalu ekor matanya melirik Bintang serta ponsel yang saat ini disodorkan ke arahnya. Tangan kanan meletakkan sendok, Eleanor meraih ponsel merk Sony Xperia yang setahu Eleanor ponsel ini sudah tidak diproduksi oleh Indonesia.
"Ini sudah," kata Eleanor setelah ia mengetikkan nomer WhatsApp-nya dan menyerahkan ponsel tersebut kepada Bintang.
"Oke, thanks." Bintang sempat bertemu tatap dengan Eleanor, ia juga memberikan senyuman lebarnya dengan tulus.
'Tampan dan menawan, senyumannya mirip bundanya,' batin Eleanor yang sedikit tersihir sebelum ia mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Uhm, habis ini Eleanor mau pamit pulang ya, Bu. Terima kasih Banyak Bu, Pak, sudah mengizinkan Eleanor bergabung di makan malam ini," ucap Eleanor setelah beberapa sekon ia terdiam.
"Ibu yang terima kasih dengan kamu Ele, kapan-kapan main lagi ya. Trus ikut saya dulu sini, masa kamu cantik-cantik gini mau nyeker." Dewi segera beranjak dari kursinya karena kebetulan makanannya juga sudah habis.
Mau tak mau Eleanor mengekor pada wanita itu. Mereka pergi ke rak sepatu dan sandal, Dewi memilih salah satu sepatu sandal yang berwarna cokelat. "Ini dipakai ya, buat kamu saja, sama saya kekecilan dan baru dipakai sekali doang kaki saya udah lecet."
"Di kaki saya pas, Bu. Makasih ya, Bu." Eleanor tersenyum senang, ia tidak menolak pemberian Dewi, sehingga membuat wanita itu senang.
"Syukurlah, kamu diantarkan sama anak saya, ya?" tutur Dewi lagi sambil menyuruh Bintang datang kepada mereka.
"Tapi saya bawa mobil, Bu. Nggak usah kayaknya Bu, saya nggak mau ngerepotin anak Ibu," sahut Eleanor cepat, namun sayangnya Bintang sudah berdiri di sisinya sambil menatap bundanya.
"Ada apa Bun?" Bintang bertanya.
"Bintang biar ngebuntutin kamu sampai rumah dengan motornya. Gara-gara hampir celaka tadi, saya nggak akan ngebiarin kamu pulang malam sendiri. Jadi tolong Bintang bantuin Bunda, ya?" Dewi berkata sambil menatap bergantian pada keduanya.
"Tapi saya udah biasa pul-"
"Baik Bunda, ayo aku antarkan kamu pulang."
Eleanor mengatupkan bibirnya ketika Bintang memotong ucapannya, lalu pria itu pergi begitu saja. Entah ke mana, tiba-tiba sudah kembali sambil mengenakan hoodie abu-abu dengan kunci motor di tangannya. Tandanya, Eleanor harus segera berpamitan kepada orang tua Bintang terlebih dahulu.
"Bu, Pak, saya mau pamit pulang dulu, terima kasih sekali lagi dan selamat malam." Eleanor begitu sopan dan lembut, ia menyalami punggung tangan kedua orang tua Bintang sebelum mereka ikut mengantar Eleanor sampai ke depan.
"Elea... Saya mau ngomong sebentar sama kamu sini," kata Dewi setelah mereka tiba di depan.
Eleanor mengangguk, ia mendekati Dewi yang ingin membisikkan sesuatu padanya. Memasang telinganya dengan baik, Eleanor mendengarkan apa yang dikatakan oleh Dewi selanjutnya.
"Bintang ini masih single, kalau kamu masih single juga, saya mau punya mantu kayak kamu."