Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 42 - Bertemu Eric

Chapter 42 - Bertemu Eric

Tidak banyak lagi waktu untuk bersama Kenny. Siang ini aku menemaninya ke toko buku, dia membeli beberapa buku dan alat tulis, kemudian singgah ke gallery seni untuk melihat pameran instalasi dengan tema komunikasi. Macam-macam instalasi dipamerkan oleh para seniman, ada yang terlihat serius, namun juga ada yang lucu.

"Cara berkomunikasi paling dasar adalah tatapan mata, aku mengerti isi hatimu dengan menatap matamu," kata Kenny.

"Sungguh?"

"Tentu, sekarang, apakah kamu mengerti apa yang kupikirkan?"

Kenny menatapku, tangannya menyibakkan rambut yang menutup pipi kananku. Mata Kenny yang menatap tajam dan bersinar, selalu mempesonaku. Apa yang dipikirkannya? Ughhh ada cinta di mata itu, aku merasakannya, mata itu menjelaskan kasih sayangnya, juga tatapan yang "menunggu" serta "berharap".

"Kamu mencintaiku." Jawabku.

"Salah!"

"Berharap?"

"Nyaris betul."

"Eh…"

"Aku ingin menciummu. Sungguh ingin." Kenny melepas tawa di akhir kalimat sedangkan aku segera mencubit pinggangnya.

"Kamu tidak ingin?" senyumnya menggoda.

Kucubit lagi dia di tempat yang sama.

"Oke, ini tanda mata darimu." Kenny meraih tanganku dan menggenggamnya untuk menghentikanku mencubiti dirinya.

Apakah dia akan semesra ini jika kami sudah menikah? Aku ingin suami seperti bapakku yang romantis dan menyayangi ibu serta anak-anak perempuannya. Bapak yang tiada henti memperhatikan keperluan kami, bahkan memberi sebelum kami meminta. Bapak tidak pernah malu menggandeng tangan ibu di tempat umum, serta menunjukkan cintanya. Banyak pria yang setelah menikah berubah sikapnya, mereka tidak memperlihatkan kemesraan di depan umum.

Kulihat wajah Ken dari samping. Bentuk kepala, rahang dan tulang pipinya… aku ingin menyentuh dan mengusap pipinya yang cekung. Tanganku langsung terulur dan mencubit pipinya. Kenny melirik dan tersenyum. Komunikasi lewat mata, itu benar!

"Kita lupakan lima tahun yang hilang, I adore you, Laura."

Malam itu kami duduk bertiga dengan ibu berbicara macam-macam sampai larut. Kenny akan terbang pulang keesokan paginya.

Sebelum tidur Kenny menarik tubuhku ke dalam pelukan dan mencium bibirku seperti tiada puasnya.

"La, aku akan merindukanmu," suaranya terdengar serak.

Bibirku terasa tebal dan wajahku hangat. Kenny membangkitkan gairah dan sensasi yang menyenangkan. Kurasa aku pun akan merindukan kesempatan seperti ini. Aku perempuan dewasa, aku mengerti keinginan tubuh kami, namun aku harus mengendalikan diri dan menanti saat yang tepat.

"Kita menikah segera, mari kita urus persiapannya sepulang aku dari Belanda." Kataku.

"Ini adalah kalimat terindah yang kudengar."

Kenny mendekap kepalaku dan menciumnya.

"Laura, cinta kita akan menghapus luka-luka lama, izinkan aku untuk menyembuhkan kita berama-sama."

Kurasakan mataku basah saat kalimat itu dikatakan oleh Ken dengan suaranya yang dalam.

"Lakukan Ken, mari kita menemukan kebahagiaan itu." Kataku dengan suara tersendat.

"Ehm… sekarang beristirahatlah supaya besok bisa bangun pagi." Kenny menciumku lagi .

Aku mengantar Kenny ke bandara dan melepasnya dengan airmata.

"Hey, simpan airmata itu. Aku ingin mengenang wajahmu yang tersenyum." Kata Kenny.

Aku memberinya senyuman sementara jari telunjuknya menghapus airmataku.

"Peluk cium untuk mama," kataku.

Kenny masuk ke bandara, kulihat dia berjalan menjauh dan menengok serta melambai sekali lagi sebelum menghilang di tengah kerumunan para calon penumpang yang lain.

Aku mengembus nafas dan merasa lega karena telah menemukan kembali Kenny yang akan segera menjadi suamiku. Bayangan pernikahan yang semakin dekat membuat aku merasa hidup yang lebih bersemangat.

**

Ibu dan aku memulai perjalanan panjang ke Eropa yang kami tempuh selama 16 jam terbang. Ketika tiba di Schiphol hari masih pagi dan udara dingin menusuk.

Jan menjemput kami.

Pada saat bertemu, aku menyukai calon suami ibuku ini. Dia ramah dan penuh perhatian. Jan membawa dua selendang wool serta sarung tangan untuk kami.

"Beberapa hari ini udara menjadi dingin, musim gugur hampir berakhir, mungkin kalian memerlukannya. Jangan khawatir, selendangnya baru tetapi sudah di-dry clean." Katanya.

Matanya yang coklat menunjukkan keramah tamahannya. Jan memberi ciuman pipi tiga kali, khas Belanda.

"Kamu pasti Laura? Gadis manis kesayangan Silvia." Katanya saat menjabat erat tanganku.

"Terima kasih Pak Jan. Nice to meet you." kataku.

"Panggil Jan saja."

"Oh. Okay Jan." kataku.

Selendang dan sarung tangannya menghangatkan kami, juga sapaannya dan senyumnya.

Dia mengantar kami ke hotel.

"Kalian mau sekamar berdua atau masing-masing? Saya sudah memesan satu kamar, bisa ditambahkan jika ingin."

Ibu memandangku dan kubalas dengan mengangkat bahu.

"Saya mengerti, mari pesan satu kamar lagi." Jan menuju resepsionis dan kami mengikutinya.

Aku tidak keberatan satu kamar bersama ibu, tetapi sejak kecil aku terbiasa tidur di kamar terpisah dari ibu sehingga agak canggung bila harus bersama-sama, kecuali sesekali saat aku sangat ingin tidur dengan memeluk ibu.

Kami menyimpan barang di kamar, lalu mengikuti Jan untuk makan pagi .

"Sebaiknya kalian harus aktif dan jangan tidur siang meskipun mengantuk, sampai nanti sore agar tidak 'jet lag', " kata Jan. kegiatan pameran dibuka besok sehingga kami punya cukup waktu untuk beristirahat.

Jan mengatakan akan mengajak kami melihat-lihat kota lalu ke tempat tinggalnya, untuk makan siang.

Rumah Jan terlihat cantik, kebun yang asri dengan pohon willow di sebelah kanan halaman, pohon camelia dengan kuncup-kuncup bunga yang kata Jan akan mekar minggu depan.

"Rumah yang terlalu besar untuk seorang diri," kataku.

"Benar. Ada lima kamar tidur. Kalian akan menginap di sini setelah book fair nanti. Eric sesekali datang menginap," kata Jan menyebut anak laki-lakinya, sambil kami berjalan menuju pintu.

Tiba-tiba pintu rumahnya terbuka dari dalam, seorang pria muda keluar dan berkacak pinggang.

"Hey Eric, kebetulan kamu datang. Kenalkan ini Silvia dan Laura." Kata Jan kepada pemuda itu. Dia bertubuh jangkung, kurus, rambut pirang awut-awutan. Matanya coklat dan dalam dengan tulang dahi yang menonjol.

"Hi" katanya dingin, tanpa tersenyum. Kurasa aku dan ibu menjadi canggung. Sikap pemuda ini jauh berbeda dengan ayahnya.

Kami tiba di depan pintu, Eric menepi untuk memberi jalan. Matanya menatap tajam kepada ibu dan aku berganti-ganti.

"Eric, kita akan makan siang bersama." Kata Jan.

"Rumah yang sangat nyaman…" kata ibu ketika menginjakkan kaki ke dalam rumah. Dinding rumah berwarna kuning pucat, perabot kayu sederhana dan beberapa tanaman indoor. Dekorasinya sangat maskulin. Tidak ada bunga dan pernak-pernik. Hanya ada banyak buku yang agak berserakan dan patung pria romawi setinggi manusia di sudut ruang dekat lampu baca yang gagangnya melengkung dan kursi sofa berwarna jingga di bawahnya.

"Tentu saja nyaman, apalagi bila langsung tinggal." Kata Eric.

Aku merasa ada nada sinis dalam kalimatnya, tetapi ibu dan aku mengabaikannya.

"Nak, mereka baru tiba hari ini dan masih lelah, mari kita duduk dan berbincang yang ringan-ringan," kata Jan kepada anak laki-lakinya.

"Apa kalian akan menginap?" Eric bertanya.

"Tidak." Kataku dengan tegas. Kurasa aku akan meminta ibu untuk tidak menginap di rumah ini. Eric menunjukkan permusuhan melalui tatapan matanya. Komunikasi melalui mata. Aku mulai menyadari kekuatannya.

"Terima kasih untuk undangan makan siang ini, kami sangat menghargainya." Aku mencoba tidak terpengaruh oleh sikap Eric. Tiba-tiba aku menguap, tidak mampu menahan rasa mengantuk.

Pada saat kami semua duduk, Jan memulai percakapan dengan memperkenalkan kami lebih detil.

"Eric, dalam waktu dekat kita akan menjadi keluarga. Silvia setuju untuk menikah dengan papi," kata Jan kepada anaknya.

Eric hanya menatap kami tanpa berkomentar.

"Laura dan kakaknya bernama Farina, akan menjadi saudarimu juga. Laura, anggap Eric sebagai kakakmu."

Aku mengangguk dan tersenyum, tetapi kulihat Eric mengernyitkan dahinya.

"Kalau Papi menikah dengan Silvia, silakan saja, saya tidak bisa melarang, tetapi…" Eric tidak menyelesaikan kalimatnya.

Namun aku memahami maksudnya.

"Jan, mungkin terlalu cepat…" kata ibu.

"Haha… Eric memang sulit, tidak apa-apa, dia akan mengerti."

" Apa ada perjanjian pra-nikah? Papi, saya satu-satunya anakmu." Kata Eric.

Jan terlihat gugup untuk menjawab pertanyaan Eric.

"Saya rasa Eric benar Bu, buatlah perjanjian pranikah, pisah harta." Kataku. Aku juga tidak ingin berbagi harta dengan pemuda sombong ini.

Ibu mengangguk.

"Belum pernah terpikir, tetapi mari kita lakukan yang terbaik untuk semua." Jawab ibu.

"Eric, mari bicara lain." Jan terlihat merasa tidak nyaman akan sikap anak laki-lakinya.

Aku kembali menguap.

"Tahan kantukmu, nona." kata Jan.

Baru saja kami duduk tetapi aku meminta izin ke toilet. Aku ingin membasuh wajahku dengan air. Jan meminta Eric menunjukkan letak toilet.

"Di bawah tangga, ada pintu kecil," kata Jan.

"Saya bisa menemukannya." Kataku langsung berdiri, tidak ingin diantar oleh Eric.

Aku berjalan ke tangga dan tepat di kolongnya menemukan pintu kayu bercat merah. Aku menarik pintu dan masuk ke toilet mungil tersebut. Jan pasti seorang yang periang, melihat warna-warni di rumahnya.

Pada saat aku keluar, Eric berdiri di depan pintu, membuatku terkejut.

"Nona, asal tahu, kalian tidak akan mendapat apa-apa meski ayahku menikahi ibumu."kata Eric dengan kasar. Dia sudah mendekati 30 tahun tetapi sikapnya kekanak-kanakan.

"Ketika pertama mendengar ibuku akan menikah lagi, aku juga bereaksi keras. Aku tidak rela ibuku menikah kembali. Namun aku melihat cinta di mata ibuku dan kurasakan mereka berdua berhak untuk berbahagia. Aku tidak mencampuri rencana mereka. Eric, aku juga tidak mengharapkan apa-apa dari pernikahan mereka kecuali kebahagiaan ibuku. Jangan terlalu sombong dengan apa yang ada pada dirimu." Kataku.

"Hah… kamu pikir kamu siapa?'

"Seseorang yang lebih matang darimu, anak manja!" Kutatap mata coklatnya dengan marah.

Aku meninggalkannya dan kembali ke tempat makan.

Jan dan ibu sedang mengeluarkan makanan dari dapur, mereka terlihat riang gembira. Aku bersyukur untuk itu dan kembali tersenyum melihat mereka.

Dari sudut mata aku melihat Eric memperhatikan orang tua kami. Dia mengusap wajahnya.

Jan dan ibu saling membantu dengan senyum lebar, saat mereka mengatur makanan di atas meja dan mengundang kami untuk duduk mendekat.

"Mari kita berdoa sebelum makan, siapa yang mau memimpin, Eric?" tanya ibuku.

Eric bergeming, bibirnya terkatup dan matanya menatap Jan.

"Boleh saya yang pimpin?" aku mengajukan diri dan Jan mempersilakanku.

Aku memimpin doa syukur untuk berkat dan makanan yang akan kami santap dan seperti biasa doaku agak panjang karena mendoakan banyak orang dan mensyukuri rezeki kami.

"Luar biasa Laura, terima kasih untuk doa yang indah. Sekarang mari kita makan," kata Jan.

"Selamat makan." kataku.

***