Masakan yang dihidangkan untuk makan siang sangat khas Belanda sandwich berisi ham yang disajikan dingin!
Melihatnya saja membuat selera makanku hilang. Dalam suhu udara sekitar 15 derajat celsius, dan angin bertiup kencang, aku mengharapkan makanan panas yang bisa menghangatkan tubuh. Tetapi yang tersaji adalah sandwich dingin. Apa boleh buat. Aku tetap mensyukurinya.
Mataku menatap potongan keju yang diatur di piring. Ada berbagai macam keju, ada yang berwarna pucat, kuning tua, juga ada yang bercampur herbal. Macam-macam pokoknya. Ini pun khas Belanda. Hatiku terhibur sedikit karena keju-keju ini. Hidangan di atas meja membuatku terkenang saat aku tinggal di Belanda selama dua tahun pada masa-masa sulit dalam hidupku, setelah aku putus dari Kenny.
Hampir setiap siang makananku seperti ini, sehingga membuatku menyukai keju karena terbiasa. Untuk sarapan dulu aku memilih sereal atau roti bertabur meisis dan untuk makan siang yang mudah ditemukan adalah sandwich dingin dengan aneka keju. Baru pada saat makan malam aku sering memasak sendiri makanan panas sesuai selera. Kebanyakan aku memakai bumbu instan.
"Jan, kenapa orang Belanda suka sandwich dingin meskipun dalam cuaca sedingin ini?" aku bertanya.
Jujur saja aku membayangkan kuah bakso atau soto yang panas. Pasti nikmat!
Jan berhenti mengunyah dan menatapku sambil tersenyum.
"Mungkin karena kami terbiasa saja… ya… makanan dingin yang praktis untuk disiapkan. Kami membuat makanan yag sama untuk sarapan dan makan siang." Kata Jan. Dia melanjutkan makan, menggigit sandwichnya.
"Memangnya kamu mengharapkan makan steak? Atau hotpot?" tanya Eric. Lagi-lagi dengan nada sinis. Kurasa aku menjadi terbiasa dengan sikapnya.
Aku menggeleng dan tersenyum.
" Bukan begitu, kami biasa makan masakan panas terutama ketika udara sedingin ini, pasti enak makan sup yang panas." Kataku sejujurnya.
Eric mendengus sinis.
"Umm steak adalah makanan mewah untuk kami, belum tentu satu bulan sekali kami menyantapnya," kataku sengaja membuatnya merasa menang.
Eric tentu menduga kami adalah perempuan-perempuan miskin yang mengharap keuntungan dari pernikahan dengan orang asing. Aku menjadi iseng ingin meladeninya.
"Gagasan yang bagus untuk menikmati masakan yang panas. Apakah mau membuat sup? Mungkin di kulkas ada bahan-bahan yang bisa dipakai." Jan menyarankan. Dia bangkit dari kursinya.
"Oh tidak perlu sekarang, Laura hanya bertanya tentang kebiasaan makan orang Belanda," kata ibu meluruskan. Biasa, laki-laki selalu melihat sesuatu sebagai persoalan yang harus dicarikan solusinya.
Aku pun mengisyaratkan menolak saran Jan.
"Ya saya mengerti." Jan tersenyum ramah kemudian duduk kembali.
Aku tidak berkomentar lagi melainkan menggigit keju yang bertabur mustard dan menikmati rasanya yang unik.
"Apakah kamu pandai memasak?" tanya Jan kepadaku.
Aku langsung menggelengkan kepala. Pandai memasak bagi perempuan Indonesia artinya bisa membuat rendang dengan racikan sendiri, atau memasak sayur lodeh, soto tanpa bantuan bumbu instan. Aku hanya bisa menanak nasi, membuat sayur sup dan menggoreng bahan-bahan dengan bumbu bawang putih, kunyit dan ketumbar.
"Ibu yang pandai. Tapi kalau sekedar nasi goreng dan menumis sayur saya bisa." Kataku sambil tersenyum menyeringai.
"Kamu harus belajar lebih banyak masakan agar kelak bisa memanjakan suami," Jan menggodaku.
Aku tertawa mendengarnya dan teringat pada Kenny yang pandai memasak, juga telur dadarnya yang istimewa untukku.
"Hmm saya beruntung karena calon suami saya yang pandai memasak dan memanjakan saya dengan masakannya." Kataku dengan bangga.
Ibu dan Jan tersenyum sedangkan Eric yang semula menunduk, kini mengangkat matanya memandangku.
"Kalau begitu kamu memang beruntung." Kata Jan.
"Tentu saja." Oh Kenny, I proud of you.
Aku merasa rindu kepadanya.
Selesai makan siang kami duduk mendengar musik yang diputar oleh Jan sambil dia menceritakan tentang rumah mereka dan lingkungannya. Para tetangga yang akrab dan sering bertamu untuk makan malam bersama.
"Sepertinya kamu bukan pertama kali ke Belanda ya?" tanya Jan kepadaku.
"Umm saya pernah dua tahun tinggal di Hilversum." Jawabku.
"Tempat yang indah. Apa yang kamu lakukan saat itu?"
dari sudut mata aku melihat Eric memandangku. Dia juga ingin mendengar jawabanku.
"Belajar editing dan penulisan buku, juga tentang e-book." Jawabku.
Jan mengangguk senang.
"Tentu pengetahuan yang berguna untuk bisnis kalian." Katanya.
Matanya menatap mesra pada ibu.
Aku mebangguk membenarkannya.
"Namun saya jadi bimbang Laura mau meneruskan bisnis ini. Setelah menikah Laura akan ikut tinggal dengan suaminya, di pulau terpencil," kata ibu dengan wajah muram.
"Ah ibu, sekarang ini kita bisa bekerja jarak jauh, bekerja dari rumah dengan memakai internet." Kataku.
"Betul." Jan menggerakkan tangannya, membenarkan kata-kataku.
" Saya ada rencana untuk bertemu dengan teman-teman di Hilversum setelah pembukaan pameran. Mungkin lusa." Kataku kembali pada Hilversum, kota kecil dekat Amsterdam.
Aku ingin menginap di Hilversum dan bertemu dengan beberapa orang yang kukenal. Aku kurang suka Amsterdam yang terlalu berisik dan banyak orang serta penuh sesak dengan gedung tinggi.
"Bagus. Eric bisa mengantarmu." Kata Jan.
"Tidak perlu repot, saya bisa naik kereta." Kataku panik. Aku menatap Jan dan Eric. Aku tidak ingin melibatkan pemuda itu dalam kehidupanku. Kalau bukan karena Jan dan ibu, aku pasti tidak ingin berbasa-basi dengan laki-laki angkuh ini.
Eric diam dan tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Bagaimana seorang ayah yang ramah dan murah senyum mempunyai anak yang dingin dan kaku seperti ini. Eric juga cenderung sinis serta curiga kepada orang lain.
Aku mencoba tidak memikirkannya. Menurut pengalamanku, kebanyakan orang Belanda yang kukenal semua ramah. Bisa jadi Eric mewarisi karakter ibunya. Aku jadi penasaran ingin tahu mengapa Jan bercerai dari istrinya. Setidaknya ibu juga harus tahu.
Pernikahan bisa langgeng bila masing-masing pasangan bisa menerima kekurangan pasangannya, tetapi jika perbedaan dan kekurangan di antara pasangan melampaui batas toleransi, maka seringkali pernikahan tersebut berakhir dengan perceraian.
Pikiranku tertuju pada rencana pernikahanku sendiri.
Aku sempat ingin membalas dendam kepada Kenny atas pengkhianatannya meninggalkanku dan menikah dengan Marina. Namun setelah bertemu kembali dengan Kenny, keinginan membalas dendam menjadi sirna. Aku sangat mencintainya dan tidak ingin menyakitinya. Kenny juga menunjukkan kesungguhannya untuk mengajakku menikah. Aku bahkan menolak dr. Hardy karena selain aku sudah memutuskan untuk hidup bersama Kenny, aku juga tidak cocok dengan dokter Hardy. Pernikahan menurutku memerlukan keinginan yang sama dari pria dan wanita untuk saling menyayangi dan memberi perhatian, saling mendukung dan menghargai. Aku telah siap untuk memberi Kenny semua itu dan berharap Kenny juga bisa memberikan kasih sayang, perhatian dan dukungan kepadaku. Sebaliknya aku sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk menyenangkan Hardy dan pria-pria lain.
Kenny telah mengatakan akan bersama-sama menyembuhkan luka-luka di hatiku yang disebabkan oleh pengkhianatannya. Ketika Kenny menelepon dan memintaku untuk menjenguk mamanya yang sakit, aku sempat berpikir untuk membalas sakit hatiku kepadanya. Saat itu hatiku masih dipenuhi oleh rasa marah kepadanya.
"Siapa pria beruntung yang akan menikahimu Laura, ceritakan tentang dia kepadaku." Tiba-tiba Jan Van Dijk, calon suami ibuku, berkata seperti itu.
Aku masih berpikir untuk menceritakan tentang Kenny. Bagaimana aku menggambarkan pria idamanku kepada orang lain?
"Dia seorang guru, berasal dan tinggal di pulau kecil di bagian timur negeri. Laki-laki yang sederhana dan kuharap bisa membuatku hidup tenang." Jawabku.
"Ayolah, kamu orang muda dari kota, mana mungkin kamu bisa hidup bertapa seperti itu? Apa ada sesuatu yang tidak kamu katakan? Misalnya, dia orang lokal kaya raya yang akan mewarisi tanah luas?" tiba-tiba Eric menyela. Kesempatan bagiku untuk mengikuti egonya.
"Haha… kamu sungguh cerdas Eric. Sepertinya begitu, dia anak laki-laki sulung, di kampung halamannya dia punya kebun luas, dia juga sudah membelikanku rumah di atas bukit, menghadap laut. Sungguh romantis. Itu semua membuatku semakin mencintainya, meski pun dia seorang duda." Ada kegetiran dalam akhir kalimatku.
Jan yang sedang minum menjadi tersedak.
"Laura, kuharap kamu menikah karena kamu menyayangi laki-laki itu." Kata Jan. Dia terdengar khawatir.
"Duda? Haha… tidak aneh jika melihat karaktermu." Kata Eric.
Aku ingin sekali menyiram wajah Eric dengan air minumku. Ibu menganga melihat calon anak tirinya. Dia pasti tidak suka anak perempuannya dicaci dan direndahkan seperti ini.
"Eric, kamu baru beberapa jam bertemu Laura, kalian belum saling mengenal, jangan menghakimi," kata Jan yang terlihat gelisah melihat ketegangan di antara kami.
"Saya sama sekali tidak keberatan. Memang tidak masuk akal seorang gadis seperti saya bersedia menikah dengan seorang duda." Kataku. Kubayangkan wajah Kenny.
Aku ingin berada di dalam pelukannya dan mendengar suaranya. Di dalam pelukan Kenny aku tidak perlu memikirkan omongan Eric yang pedas. Tetapi aku belum mengganti nomor telepon sehingga belum bisa saling menelepon dengannya.
"You see?" kata Eric.
Otakku berputar mencari cara untuk membuka mata Eric dan membuatnya menghargai orang lain. Tetapi tiba-tiba aku merasa kasihan kepadanya. Dia pasti kecewa karena ayahnya akan menikahi ibuku. ***