Aku melihat Eric secara berbeda dan bisa memahami sikap sinisnya sehingga aku tidak perlu menanggapi sikapnya dengan serius. Tiba-tiba aku merasa lega. Dia akan menjadi "kakak" atas dasar pernikahan orang tua kami.
"Apakah saya bisa memakai meja itu untuk membuka email?" tanyaku kepada Jan dengan menunjuk meja kerja yang terletak di samping jendela.
"Kurasa pasti bisa, um … itu meja Eric." Jawab Jan.
Aku memandang Eric dan tersenyum kepadanya. Berharap kali ini dia baik hati dan meminjamkan mejanya.
"Pakai saja." Eric berdiri menuju meja dan mengatur buku-buku yang tersebar di atas meja.
"Terima kasih" kataku sambil berjalan mendekati meja dengan menenteng laptop.
Aku duduk dan membuka laptop tetapi segera sadar bahwa aku memerlukan wifie untuk membuka akses internet.
Belum sempat aku bertanya Eric menyodorkan kertas bertuliskan "twee.gebakken.eieren".
Aku menengok kepadanya.
"My password, pakai wifie EVDijk."
"Oh ya… tentu saja aku perlu internet untuk membuka email. Terima kasih Eric." Kataku.
Dia tidak menjawab tetapi menarik kertas dan menulis sesuatu.
"Ini emailku, aku akan ke atas." Kata Eric sambil meletakkan kertas yang baru ditulis alamat emailnya. Bagaimana bisa kebetulan begini, setelah aku siap menerima kesinisannya, Eric menjadi bersikap lebih baik. Tetapi aku tahu bahwa dia pasti masih akan bersikap sinis.
"Terima kasih sekali lagi." Kataku.
Ibu dan Jan duduk berdua dan bercakap-cakap dengan suara rendah, sedangkan Eric menaiki tangga setengah berlari menuju lantai atas.
Ada beberapa email baru dan kubuka sesuai urutan kepentingan yaitu mendahulukan email pekerjaan kemudian membuka email pribadi. Setelah membalas semua email dinas, aku mulai membuka email pribadi. Farina mengirim pesan meminta dibelikan buku pola rajut untuk pakaian bayi dan topi. Sejak keluar dari tempat kerja, Farina mengisi waktu luang dengan membuat rajutan yang dijual secara online. Dia mempunyai bakat memadukan warna benang sehingga menghasilkan rajutan yang unik dan digemari pelanggannya. Pekerjaannya juga rapi.
"Okay. Akan kucarikan yang terbaik dan melihat-lihat trend baru." Balasku.
Kulihat ada email dari Kenny, tetapi aku sengaja melewatinya untuk kubaca pelan-pelan sebagai email terakhir. Aku membuka email dari akun bernama hardtosay. Nama baru tetapi aku tertarik membuka lantaran pada subyek email tertulis "fakta tentang Kenny Williams".
Pesan pengirim email memintaku untuk mempertimbangkan rencana pernikahan dengan Kenny.
"Perhatikan foto terlampir, orang seperti ini tidak pantas menjadi suamimu." Tulis pengirim berinisial H.
Tanpa berpikir panjang aku membuka foto-foto terlampir dan benar-benar terkejut.
Dalam 10 foto yang dikirim terlihat Kenny bertelanjang dada, berbaring di atas tempat tidur dengan mata terpejam. Bukan itu yang membuatku terkejut, tetapi ada sosok perempuan, Marina, yang hanya mengenakan pakaian dalam, memeluk tubuh Kenny dalam berbagai posisi.
Hatiku terasa tercabik-cabik melihat foto-foto tersebut. Sepertinya itu adalah foto lama, mungkin sebelum mereka menikah aau dalam masa pernikahan mereka. Tanpa kusadari airmataku mengucur deras. Luka lama terkuak kembali. Aku tidak pernah membayangkan melihat kemesraan Kenny dengan perempuan lain, hatiku terasa sakit. Rasanya dia bukan milikku.
Kututup laptopku dan aku menghambur ke halaman samping berjalan mendekati pagar, tidak tahu apa yang harus kulakukan sampai kusadari aku berlutut di bawah rumpun camelia.
- Kenny aku tidak sanggup melihatmu seperti itu… apakah Kenny mencintaiku? Aku menjadi ragu kembali.
Kulihat langit biru dengan awan putih yang bernuansa pink dan kelabu. Kalau itu foto lama, aku harus melupakannya. Kenny pernah menikahi perempuan itu, maka wajar saja apabila mereka berpelukan di atas ranjang dalam keadaan setengah bugil.
Berapa kali pun aku menyeka, airmataku masih mengucur deras dan nafasku sesak. Siapa pengirim email bernama Hardtosay? Mengapa dia mengirimkan foto Kenny kepadaku? Aku mulai mencari segala kemungkinan. Pertama, bisa jadi ada orang yang tidak senang bila kami menikah. Tetapi pikiranku buntu. Aku bahkan belum membuka email dari Kenny dan sekarang aku tidak ingin membuka email lagi.
Terdengar suara derit pintu dibuka di belakangku.
"Hei, kalau kamu kebal silakan terus di luar, tapi jika sakit tidak ada yang merawatmu." Suara Eric menggelegar.
Spontan aku menengok ke arah suara karena terkejut. Aku mengusap air mata yang tidak kunjung berhenti.
Tiba-tiba kudengar suara tawa Eric yang sinis. Dia berdiri membelakangi pintu yang sudah menutup kembali. Eric berkacak pinggang seperti saat pertama kami melihatnya. Aku benci melihat wajahnya yang angkuh.
"Haha kukira kamu lebih dewasa dariku, ternyata anak manja juga." Katanya. Dia menyindir dengan mengembalikan kata-kataku tadi yang menyebutnya sebagai anak manja. Eric masih tertawa sinis dengan bibirnya yang lebar macam bibir kuda.
Aku tidak meladeninya karena kepalaku masih dipenuhi oleh foto foto Kenny di dalam pelukan perempuan lain. Segera aku membalikkan badan pada posisi semula dan melanjutkan menangis. Rasanya dengan menumpahkan air mata aku bisa melampiaskan kesedihanku. Aku akan mencari tahu identitas pengirim email untuk mengetahui tujuannya mengirimkan foto-foto lama itu kepadaku. Aku tidak bisa bertanya kepada Kenny untuk saat ini sampai aku menemukan kejelasan kasus ini.
Tiba-tiba ada tangan besar yang menepuk bahu kananku dengan keras. Tepukan kasar tetapi hangat.
"Ayo masuk, kalau kamu sakit kami semua yang aka repot, atau apakah kamu memang mau membuat aku dan papi repot?" kata Eric sambil menatapku dengan matanya yang berwarna coklat muda.
Eric tergolong bawel untuk seorang laki-laki.
"Percayalah aku tidak akan merepotkanmu. Tinggalkan aku." Kataku. Aku ingin sendirian dan berpikir.
"Tentu saja kami akan repot karena kalian adalah tamu di rumah ini." Kata Eric. Laki-laki ini keras kepala.
"Apakah anak tunggal sepertimu selalu menyebalkan?" tanyaku.
"Hei, hati-hati bicara! Kamu menangis karena urusanmu sendiri, kenapa melampiaskan marah kepadaku." Eric memprotes.
"Aku tidak marah aku hanya kesal kepadamu."
"Hah… kesal kepadaku sampai menangis begini? Pasti kamu kesal karena niat busukmu sudah bisa kucegah."
Rasanya aku ingin menampar mulutnya atau melemparnya dengan batu.
"Anak tunggal selalu mau menang sendiri." Kataku.
"Kalau kamu tidak mau masuk terpaksa aku menggendongmu." Eric membungkuk dan mengangkat tubuhku.
Dia berjalan sambil membopongku di bahunya yang lebar.
"Eric, turunkan aku." Kataku.
"Kamu sudah menggigil kedinginan, kalau dibiarkan kamu bisa flu bahkan kena radang paru-paru." Eric berkata sambil berjalan ke pintu.
"Sok tahu." Kataku.
"Pasti tahu, aku dokter." Katanya.
Aku gagal menahan tawa, dokter kok rambutnya awut awutan, punya tato di lengannya pula.
"Kalau mau sakit jangan saat berada di sini. Aku tidak mau repot." Katanya mengulangi kalimat sebelumnya.
"Siapa yang mau minta tolog kepada pria angkuh sepertimu."
Pada saat itu Eric menurunkan tubuhku di dalam rumah, tapi aku oleng dan nyaris terjerembab jika Eric tidak menangkap tubuhku.
"Papi senang kalian cepat akrab!" seru Jan sambil tertawa lebar. Ibu yang berdiri di sebelahnya juga tersenyum.
Aku gemas dan jengkel sehingga kucubit lengan Eric dengan cubitan kecil memakai kuku.
"Ma'am, anak Anda ini masih manja rupanya. Dia sengaja menarik perhatian dengan pura-pura menangis di luar. Saya menemukannya dalam keadaan menggigil. Atau Laura pandai bersandiwara?"
Kata-kata Eric membuatku melongo. Apakah dia selalu melihat orang lain dengan pikirannya sendiri. Eric juga tidak memberi reaksi atas cubitanku yang tajam bahkan mungkin membuat kulit arinya terkelupas.
"Bu ayo ke hotel, atau aku ke hotel duluan." Kataku sambil meraih tas dan berjalan keluar rumah.
"Sampai jumpa Jan, terima kasih jamuannya." Kataku sambil membuka pintu.
"Laura?!" seru ibu tetapi aku tidak menghiraukannya. Aku bisa berjalan ke stasiun dan kembali ke hotel.
"Kita lihat apa dia berhasil ke hotel sendiri." Kata Eric.
***