Eric berdiri di lobi menungguku, di tangannya dia membawa kantong kertas.
"Ini dokumen asuransi kesehatanku," kataku sambil mengulurkan amplop berisi Salinan passport dan foto copy.
Eric memajukan tubuhnya dan mencium pipiku tiga kali, kiri, kanan dan kiri, sedangkan tangan kirinya mengusap kepalaku. Tindakan yang normal bagi pria Belanda ini, tetapi usapannya membuat aku teringat pada kebiasaan Kenny… uh… aku merindukan kekasihku itu. Tetapi setiap teringat Kenny aku juga teringat foto mesranya dengan Marina. Uh… kapan aku bisa mengabaikan perasaan yang mengganjal ini?
"Bisa tidur nyenyak?" suara Eric terdengar ramah, matanya tersenyum meskipun bibirnya tidak.
"Hmmm. Terima kasih untuk obatnya, mungkin itu yang membuatku tidur seperti beruang."
Kami saling memandang, dia tersenyum mendengar kata-kataku.
"Laura, petugas administrasi rumah sakit perlu melihat dokumen yang asli. Apakah kamu akan percaya bila aku membawanya atau kamu ikut ke rumah sakit bersamaku?" tanya Eric.
Permintaan yang masuk akal, tetapi aku bingung, karena pukul 11 aku harus bersiap di anjungan pameran.
" Aku titip kepadamu saja, karena kami harus di tempat pameran. Kasihan bila ibuku sendirian."
"Itu memang lebih praktis, malam nanti aku kembalikan."
"Baiklah, aku ke kamar dulu untuk mengambil passport. Kamu tunggu di sini," kataku sambil membalikkan badan.
"Eh tunggu." Eric menarik lenganku.
"Kurasa kamu perlu ini untuk menutup dahimu." Eric memberikan kantong kertas kepadaku.
"Apa?"
"Topi"
Aku tersenyum kepadanya setelah melihat bucket hat rajutan berwarna coklat. Solusi yang tepat dan memang kubutuhkan.
"Thanks Broer! Kamu baik hati, ternyata…"
"Ternyata??? Aku memang baik, bagaimana kamu menilaiku tidak baik? " Matanya membelalak.
"Kamu kemarin sinis."
Eric berkacak pinggang sambil menggelengkan kepala.
Aku membalikkan badan menuju elevator tanpa menengok lagi.
Eric semakin ramah dan ini membuatku senang, karena pernikahan orang tua kami pasti akan terjadi dan suka atau tidak, kami pasti akan sering berinteraksi.
Setelah menyiapkan dokumen asli, aku memakai topi rajut dan mematut diri di depan cermin. Topi yang hangat sekaligus bisa menutup dahiku agar tidak mengundang perhatian orang karena perban putih menyolok yang menutup lukaku.
Ketika tiba kembali di lobi aku melihat ibu dan Eric bercakap-cakap sambil berdiri. Mereka juga terlihat lebih akrab.
Saat kembali ke lobi Eric bercakap-cakap dengan ibu. Kurasa sikapnya yang sinis kemarin sudah lenyap. Sebenarnya aku bertanya-tanya, mengapa secepat itu dia berubah. Aku memberikan dokumen asuransi dan passport, lalu kami berpisah.
Aku dan ibu menuju ke lokasi pameran.
Kami bagaikan dua kucing kecil berjalan di ruang pameran yang mahaluas, stand-buku dibangun dalam baris-baris dengan blok memanjang berbelok mirip labirin. Peserta pameran terlihat sibuk menata tempat masing-masing, memajang buku, merapikan dekorasi, membagikan brosur dan orang-orang terlihat bergegas-gegas.
"Gila! ini membuatku optimis bahwa bisnis kita akan baik," kataku. Ibu mengangguk.
"pertama-tama, Ayo kita cari lokasi pembukaan dulu," kata ibu.
Kami menuju meja informasi untuk meminta peta pameran dan petunjuk teknis lainnya.
Di bagian panggung utama Jan berdiri menunggu kami dengan gelisah. Dia tertawa lebar saat kami mendekat.
"Selamat pagi perempuan-perempuan cantik." Jan mencium pipi kami sebagai salam.
"Kamu tampak segar dan bersemangat," kata ibu ketika mereka berpelukan.
"Tentu aku bersemangat menunggu kalian," kata Jan.
Dia membawa kami ke meja pendaftaran untuk mengambil ID card dan jadwal kegiatan.
Kemesraan Jan dan ibu terlihat nyata membuatku merasa gembira karena wajah ibu yang berseri-seri. Pipinya merona merah ketika Jan menggandengnya. Aku hanya merasa sedikit terganggu ketika teringat bapak dan cintanya kepada ibu serta cinta ibu kepadanya. Bapak sudah lama meninggal dunia, kini ketika ibu menemukan cintanya yang lain, dia mempunyai hak untuk mendapatkannya dan berbahagia bersama pria lain. Mungkin sikap sinis Eric kemarin juga terjadi karena dia belum rela ayahnya menemukan perempuan lain, apalagi orang-tuanya berpisah lantaran perceraian.
Jan menyarankan kami menunggu di sekitar panggung utama, mengingat upacara pembukaan akan segera dimulai.
"Buku-buku kalian sudah diletakkan di ruang sidang untuk acara diskusi besok. Kurasa kita bisa mengaturnya nanti malam setelah diskusi di ruang tersebut selesai." Kata Jan.
Aku dan ibu mengangguk setuju. Apalagi yang bisa kami lakukan, Jan sudah mengatur semuanya dengan rapi.
Kami tidak membuka stand, melainkan akan memamerkan buku-buku yang kami bawa di ruang diskusi. Selebihnya waktu akan kami pergunakan untuk keliling melihat-lihat.
Jan adalah sosok periang dan ramah, sedangkan Eric tidak mudah menerima orang baru. Kepribadian mereka seperti bertolak belakang. Tetapi mereka adalah ayah dan anak.
Upacara pembukaan berlangsung efisien, ditandai dengan laporan dan pidato singkat serta peluncuran buku oleh sepuluh penerbit secara serentak. Para penerbit itu meluncurkan buku terbaru untuk dibawa ke pameran. Ada enam penerbit dari Belanda, satu penerbit dari Jerman, India, China dan Jepang.
"Laura, usahakan tahun depan kamu meluncurkan buku di sini. Nanti kuberi akses ke pantia untuk mendaftarkan judul bukumu," kata Jan kepadaku.
"Hmmm…" aku memutar mata dan berpikir, topik buku yang dalam waktu dekat kami terbitkan. Untuk diluncurkan di Belanda kupikir harus mencari topik yang bisa diterima secara global.
"Belum mendapat topik yang tepat." Kataku.
"Indonesia sangat kaya, kamu bisa mencari topik apa saja," katanya.
"Akan kupikirkan," jawabku.
Duh… kulihat ibu dan Jan bergenggam tangan. Kemseraan ini membuatku teringat pada Kenny.
Kurasa aku harus menghubungi Kenny dan mencari waktu yang tepat karena perbedaan zona waktu di antara kami adalah delapan jam.
Aku melirik arloji, saat ini masih pukul satu dini hari di tempat Kenny.
"Aku akan mencari buku handycraft," kataku berpamitan pada Jan dan Ibu.
"Lakukan sepuasmu, apakah kita akan makan siang bersama?" tanya ibu. Aku menggelengkan kepala.
"Kita bertemu di sini pukul tiga sore?" aku mengusulkan.
"Baiklah. Selamat menjelajah." Kata ibu.
"Hati-hati Laura," seru Jan.
Kurasa aku mesti memberi waktu bagi ibu dan Jan untuk berdua saja.
Hari ini aku hanya akan melihat-lihat dulu dan mencatat buku yang kuinginkan. Aku belum berniat belanja. Waktuku cukup banyak, lima jam untuk menyusuri arena pameran. Kupuaskan diriku untuk melihat ke anjungan-anjungan yang menarik minatku serta mempelajari cara mereka memamerkan buku, membuat acara untuk menarik pengunjung mendatangi stand mereka.
Tengah hari ketika waktu makan tiba, aku duduk di cafetaria untuk memesan minuman hangat dan menyantap sandwich dingin. Aku tertawa sendiri mengingat kata-kata sinis Eric kemarin ketika dia menanggapi pertanyaanku tentang makanan dingin.
Aku akan menjadi saudari baginya bila orang tua kami menikah. Sikap Eric yang berubah menjadi ramah dalam waktu yang singkat agak mengherankan bagiku.
Cafetaria lumayan penuh karena pada jam makan hampir semua orang mencari makanan. Aku sudah duduk di sebuah kursi sambil menikmati cappuccino dan melihat beberapa brosur yang tadi kukumpulkan. Aku memenandang brosur dengan tatapan kosong. Wajah Kenny yang kurindukan seakan terlihat di segala arah. Senyumnya, suaranya yang lembut, bentuk kepalanya dan tulang pipinya yang menonjol. "Laura, mari mewujudkan mimpi kita…" suaranya seakan dekat sekali.
Tiba-tiba seorang waitress yang berjalan di dekatku dengan membawa nampan berisi minuman panas, terantuk kaki kursi dan jatuh terjerembab. Gelas minumannya terguling dan sebagian kopi panasnya menyiram ke pahaku.
"Aduh… panas!" teriakku.
Perempuan itu bangkit berdiri dengan pertolongan orang lain, lalu duduk di depanku.
"Maaf aku tidak sengaja." Katanya.
Aku tidak bisa marah kepadanya. Dia juga tersiram air panas. Orang-orang berbicara dalam bahasa yang tidak kumengerti. Seorang pria menghampiriku dengan membawa satu mangkuk berisi es batu dan selembar kain lap.
"Bungkus esnya dan tempelkan di tempat yang tersiram." Katanya meletakkan mangkuk es dan lap di atas meja.
Aku mengikuti sarannya. Gadis itu berjalan pergi bersama pria tadi dan seseorang lain datang untuk membersihkan lantai yang kotor.
"Apakah sakit?" laki-laki muda itu bertanya.
Aku mengangguk. Bukan hanya sakit, pakaianku juga ternoda kopi.
Pemuda itu dengan cekatan menuang es batu ke atas lap yang dibentangkan di atas meja, lalu membungkusnya dan menempelkannya di pahaku.
"Tahan begini sampai rasa panasnya hilang agar kulitmu tidak melepuh," katanya.
Dia lalu mengepel lantai.
Manager dari cafetaria mendatangiku dan menawarkan untuk membawaku ke klinik kesehatan di arena pameran.
"Petugas medis bisa memberimu salep untuk mengobati lukamu, mari saya antar," katanya.
Aku mengemasi bawaan dan meninggalkan es batu dalam lap di atas meja, mengikuti manager yang di dadanya tertempel namanya, Corr.
"Kuharap lukamu tidak terlalu parah, sekali lagi kami minta maaf atas keteledoran anak itu." Katanya.
" Tetapi gadis itu tidak sengaja, aku mengerti, mungkin aku yang sedang sial," kataku.
Dia menatapku dan mengatakan bahwa pihaknya bersalah, sehingga dia akan mengatur pengobatan untuk lukaku.
***