"Tetapi kamu adalah pelanggan kami. Saya harus mengurus hingga lukamu mendapat perawatan medis," kata Corr.
Aku tidak merasa perlu menanggapinya selain membuntutinya.
Kami tiba di klinik dan Corr menjelaskan situasiku kepada petugas medis.
Terjadi serah menyerah pasien, Corr memastikan aku diterima untuk perawatan.
"Semua akan kami urus, kamu tidak perlu mengeluarkan biaya . Sekali lagi kami meminta maaf." Kata Corr.
"Okay." Jawabku.
"Kamu masih punya secangkir kopi, kapan saja kamu mau silakan mampir."
"Terima kasih."
Dia berpamitan dan meninggalkanku.
Perawat membawaku masuk ke ruang tertutup dan memintaku membuka celana panjang.
Luka bekas tersiram air panas itu terlihat merah dan sedikit bengkak. Perawat membersihkan luka dan mengoleskan salep untuk mencegah luka yang lebih parah.
"Sebaiknya Anda mengganti baju, celana panjang akan menggeser lukanya," kata perawat. Kurasakan mulutku menganga. Bagaimana bisa mengganti baju? Aku tidak membawa rok atau pun gaun.
"Apa saran Anda? Saya tidak membawa baju lain di tempat ini," kataku.
Perawat itu menggaruk kepala yang kuperkirakan tidak gatal.
"Apakah bisa minta tolong? Umumkan di bagian informasi agar ibu saya datang ke sini?" kataku sambil meminta kertas dan bolpen untuk menulis nama ibuku.
"Oke. Kita akan teruskan ke bagian informasi. Untuk sementara biarkan lukamu tidak ditutup." Katanya sambil meninggalkanku.
Pahaku terasa perih dan panas. Luka di kening belum sembuh sekarang aku mendapat luka baru. Tadi malam mungkin aku yang kurang hati-hati, sehingga nyaris menjadi korban perampokan oleh orang yang mabuk. Tetapi kali ini, meskipun aku duduk diam di tempat aman, ternyata masih juga mendapat celaka.
Berada di kamar klinik seorang diri membuatku jenuh. Kuambil ponselku untuk membuka email.
Ada email masuk dari Nuggie, Kenny dan email dari Hardtosay. Tentu kubuka email pertama dari Kenny.
"Laura sayang, kuharap kamu dalam keadaan baik dan acaramu lancar. Manfaatkan perjalanan ini untuk mencari peluang bagi penerbitanmu. Jangan lupa aku menunggu kamu pulang. Peluk sayang dariku, untukmu dan salam hormat untuk ibu, dari Kenny-mu."
Aku tersenyum membacanya. "Kenny-mu" rasanya begitu dekat. Sebentar lagi kami akan menikah dan tentu dia akan menjadi Kenny-ku dan aku menjadi miliknya. Kubalas email Kenny dengan kata-kata manis dan pernyataan rindu. Aku tidak menyinggung sama sekali mengenai foto-fotonya di ranjang bersama Marina. Aku tidak menganggapnya penting lantaran masa-masa Kenny bersama Marina sudah lewat.
"Kamu adalah orang yang istimewa bagiku, orang yang sekarang kurindukan. "I love you Ken." Tulisku menutup email balasan untuknya.
Selanjutnya kubuka email dari Nuggie. Dia mengabarkan masalah pekerjaan. Aku juga belum memintanya untuk menyelidiki pemilik akun hardtosay.
"Terima kasih Nug, kamu baik-baik mengurus kantor ya," balasku.
Pada saat akan membuka email terakhir aku menjadi ragu. Terlihat ada beberapa lampiran pada email tersebut. Kuduga pengirimnya melampirkan foto-foto lagi.
Tetapi rasa ingin tahu ternyata lebih besar dibanding kecemasanku, sehingga aku pun membuka email tersebut dengan hati berdebar.
"Hi Laura, jika kamu belum yakin dengan emailku yang pertama, cobalah perhatikan foto-foto ini. Perempuan itu bernama Ketty. Aku mengirim email ini karena menyayangimu. Maksudku adalah untuk mencegahmu salah memilih suami. Pria itu tidak layak menjadi suamimu."
Aku menahan nafas membacanya. Dalam hati bertanya-tanya, siapa pengirim ini dia banyak tahu tentang kami bahkan bisa mendapat foto-foto intim Kenny dengan seorang perempuan.
Aku membuka lampiran untuk melihat foto-foto Kenny dalam posisi tidur dipeluk perempuan setengah telanjang. Setelah melihat dengan teliti, perempuan itu mirip dengan Marina tetapi bukan Marina. Ini adalah foto baru.
Tubuhku menjadi lemas. Baru saja kuterima email Kenny dan dia masih bersikap manis dengan tutur sapanya. Bagaimana ini bisa terjadi?
Seseorang yang pernah berkhianat mungkin tidak akan pernah jujur. Apakah aku sanggup mempunyai suami yang tidak jujur? Tetapi pada saat bertemu Kenny kembali dan dia memintaku untuk menikah dengannya, aku merasa yakin bahwa Kenny mencintaiku. Cara Kenny memelukku, membuatkanku sarapan, ciuman mesranya dan usapan-usapan tangannya di kepalaku. Kenny sudah membeli rumah di atas bukit… dan dia mengajakku untuk mewujudkan impian memiliki anak-anak bersama. Apakah semua itu tidak nyata?
Tatapa matanya yang tajam, cara dia memainkan musik untukku, seakan aku adalah seorang ratu di hatinya. Tetapi pada foto-foto ini… ahhh… aku tidak mampu membayangkannya.
Perawat masuk bersama ibu membuyarkan lamunanku. Tubuhku gemetar.
"Laura, apa yang terjadi Nak?" ibu memelukku.
Aku membalas pelukan ibu sambil menangis, bukan karena lukaku melainkan karena foto-foto Kenny. Aku tidak bisa menceritakannya kepada ibu.
Suara Jan terdengar di balik pintu bercakap-cakap dengan perawat.
Kuceritakan kepada ibu mengenai kejadian tersiram kopi panas.
"Apakah sangat sakit? Kamu terlihat pucat dan gemetar."
Aku menggeleng.
"Mungkin… um mungkin karena kaget saja." Kataku dengan gugup, ingin menyembunyikan isi hatiku yang sedang kacau.
"Tetapi apakah kamu masih bisa melanjutkan aktivitas di sini?"
Aku menggeleng. Aku hanya ingin berada seorang diri dan menentramkan hati. Kamar hotel adalah tempat yang paling cocok untuk itu.
"Sebaiknya aku istirahat di hotel saja," kataku.
"Kurasa begitu, aku akan minta Jan mengantar kita," kata ibu.
Jan meminjamkan coat yang longgar dan panjang sehingga aku tidak perlu memakai celana panjang dan dia bersama ibu mengantarku sampai ke depan pintu kamar hotel.
"Apakah kamu yakin bisa ditinggal?" tanya ibu dengan tatapa khawatir.
"Ah ibu, aku sudah cukup tua." Kutatap mata ibu dan kami tertawa bersama.
"Okay… okay… bila ada yang kamu perlukan, telepon kami." Kata ibu sambil mencium keningku.
"Laura, kurasa kamu akan baik baik. Sebentar malam Eric akan memeriksa luka-lukamu." Kata Jan.
"Thanks Jan."
Mereka berdua meninggalkanku.
Setelah seorang diri lagi, aku teringat foto-foto tadi.
Kenny… Kenny… apakah Kenny benar melakukannya, atau rekayasa foto? Siapa yang memotet dan mengirimkannya kepadaku.
Selama berpacaran denganku Kenny tidak pernah bertindak lebih jauh selain mencium bibirku, tetapi sekarang aku menerima fotonya berada di atas ranjang dengan perempuan lain. "Namanya Ketty…" siapa dia? Apakah Richard mengetahuinya dan apakah dia mau menceritakannya kepadaku? Jika Kenny punya perempuan lain, lalu mengapa dia mengajakku menikah?
Potongan-potongan fakta ini menjadi puzzle yang tidak mampu kusatukan. Mungkin karena lelah aku menjadi tertidur sangat nyenyak.
Bunyi bel kamar membuatku terbangun dan bingung. Aku perlu beberapa detik untuk menyadari tempatku berada dan apa yang terakhir kualami. Bel berbunyi lagi, aku segera turun dan menuju pintu untuk membukanya.
"Ah sial…" seruku ketika menyadari aku hanya memakai sweater dan celana dalam, sedangkan bagiab bawah terbuka tanpa busana.
Ber bernunyi lagi.
"Tunggu sebentar." Seruku sambil meraih handuk dan melilitkannya di pinggang.
"Okay." Jawabnya. Eric. Aku kembali panik karena merasa tidak berpakaian dengan pantas.
Kubuka pintu.
"Boleh masuk, aku akan membersihkan luka di keningmu dan kata ayah kamu tersiram kopi panas, mari kuperiksa." Eric mendorong pintu dan menerobos masuk.
Aku masih terbengong-bengong ketika tiba-tiba Eric mengangkat tubuhku dan membawanya ke tempat tidur.
"Eric… apa yang…?" aku merapatkan tangan ke handuk yang hampir terlepas.
"Apa yang kau pikirkan? Aku dokter profesional," kata Eric sambil mengangkat alis dan matanya melebar. Aku menjadi malu.
Eric menyingkap handuk dan melihat luka di pahaku. Tangannya dengan jemari yang panjang-panjang menyentuh pahaku dan memperhatikan lukaku.
Tangannya yang menempel di paha memberi rasa hangat yang membuatku menahan nafas. Aku tidak ingin Eric menyadari bahwa sentuhannya menimbulkan perasaan berbeda. Kugigit bibir bawahku untuk menahan gejolak di tubuhku.
Apa yang kupikirkan… oh… dia adalah dokter yang profesional sedangkan aku pasien yang berpikiran mesum... uh uhhh...
Satu tangannya merogoh saku baju dan mengeluarkan senter kecil. Dia menyoroti lukaku.
"Sudah bagus. Semoga lekas kering. Jangan kena air dan sebaiknya kamu membiarkannya terbuka. Pakai rok atau gaun," kata Eric.
Aku mengembus nafas.
"Kenapa?"
"aku tidak bawa rok atau pun gaun." Kataku.
Eric mengangkat alis lagi.
"Mari kulihat luka di keningmu. Bersandarlah," katanya sambil memberi isyarat kepadaku untuk duduk menyandar di kepala tempat tidur. Eric meletakkan kotak kecil di dekat kakiku dan membukanya. Kotak perlengkapan kerjanya.
Dia melepas perban dan membersihkan lulaku dengan alkohol.
"Good. Lukamu sudah kering. Tidak perlu dibalut lagi. Tapi ini juga jangan kena air satu hari lagi." Katanya sambil menepuk pipiku.
Kutatap matanya.
"Sudah makan? Mari pesan saja, boleh aku makan di kamarmu?" tanya Eric sambil mengarahkan ponselnya untuk memindai QR code dan membaca menu dari restoran di hotel.
Sikapnya dominan. Dia hanya berbasa-basi menawari karena tidak menunggu jawabanku.
"Mau beef steak atau grilled fish?" dia berdiri membelakangiku.
"Apa saja yang panas," jawabku. Baru aku ingat, siang tadi belum tuntas menyantap makan siangku.
Eric mengetik pesanan lalu duduk di sofa. Dia menunjuk dokumen asuransi dan passportku.
"Itu kukembalikan."
"Kenapa sekarang kamu baik kepadaku?" tiba-tiba aku ingin mengetahui jawabannya.
Eric menatapku dan memonyongkan bibirnya.
"Kita makan dulu." Katanya.
Lalu dia berjalan ke pantro untuk menyeduh kopi.
"Kamu mau teh atau kopi?"
"Teh, terima kasih." Aku berdiri dan menuju ke sofa, masih memakai lilitan handuk. Aku tidak mempunyai gaun.
Eric membawa dua mug berisi minuman panas.
"Sambil menunggu makan, kita ngobrol yag menyenangkan saja." Kata Eric.
"Misalnya tentang apa?"
"Bagaimana jika kamu bercerita tentang calon suamimu?"
Aku membelalak mendengar usulnya. Tiba-tiba mataku terasa panas teringat foto-foto Kenny.
"Tidak ada yang bagus untuk diceritakan." Kataku lalu mengatupkan bibir. Dadaku terasa sesak.
***