Kening Eric berkerut dan matanya menatap tajam.
"Biasanya perempuan suka menceritakan tentang kekasihnya dan melihat semua serba baik. Kamu yakin mau menikah dengan orang yang tidak bagus untuk diceritakan?" tanya Eric dengan kalimat yang panjang.
Pertanyaan Eric membuatku teringat pada isi email Hardtosay yang mengatakan bahwa Kenny tidak layak menjadi suamiku. Ada rasa nyeri dan tersinggung mendengar orang lain bicara buruk tentang Kenny, aku ingin memberikan gambaran baik tentang Kenny kepada Eric.
Aku telah mencintai Kenny sejak lama dan tidak pernah memikirkan pria lain untuk kucintai. Meskipun Ken telah berkhianat dengan menikahi Marina, nyatanya aku bisa memaafkannya dan menerima dia kembali. Kami bahkan telah membahas rencana pernikahan.
"Umm maksudku … aku… dia… aku mencintainya, meski pun mungkin dia tidak bagus." Kataku sambil menunduk. Kuteguk habis minumanku. Dadaku terasa hangat dan sedikit rileks setelah menghabiskan teh buatan Eric.
"Apa maksudmu dengan tidak bagus?" Eric mengangkat alis kiri dan kepalanya sedikit menunduk sementara matanya menatap lurus. Dia menunggu jawaban dariku.
Aku memalingkan wajah dan menghindari tatapan matanya.
"Tunggu sebentar!" kataku sambil berdiri menuju lemari pakaian. Aku ingat membawa pakaian tidur yang cukup longgar. Kurasa akan lebih nyaman memakai baju tidur daripada memakai handuk. Aku mengganti baju di kamar mandi sambil memikirkan Kenny. Bagaimana aku bisa menggambarkan Kenny? Menurutku dia adalah calon suami yang ideal. Bekerja dengan tekun sebagai guru, disegani oleh orang di sekitarnya dan dia sayang padaku. Ummm kalau dia sayang, mengapa dia dulu meninggalkanku? Siapa pula perempuan bernama Ketty ini? Apakah aku di mata Kenny?
Terbayang kembali impian bersama kami, rumah putih di atas bukit dan… dan foto-fotonya saat bermesraan dengan perempuan lain. Dadaku terasa sesak dan nyeri.
Pada saat keluar dari kamar mandi aku mencium aroma masakan.
"Nah, ayo makan!" kata Eric. Dia tertegun dan menatapku dengan menganga.
"Ummm maaf aku pakai gaun tidur…" kataku menjadi salah tingkah karena dia melihatku seperti ini.
"No problem… aku hanya kaget melihat kamu seperti ini, semakin cantik." Kata Eric membuatku tersipu.
"Eric, kamu melecehkanku atau menggoda?" aku berdiri di depannya menantang. Uhh.. dia menjulang tinggi di depanku.
"Kamu akan jadi adik perempuanku." Katanya sambil membalikkan badan menuju kursi dan duduk menghadap makanan. Dua set beef steak dan sayuran kukus serta kentang tumbuk tersedia di atas meja.
"Makanlah sebelum dingin, kamu tidak suka makanan dingin." Kata Eric.
Kami menikmati makanan sambil sesekali bercakap-cakap.
"Kalau kamu tidak bisa menceritakan tentang calon suamimu, bagaimana jika bercerita tentang dirimu sendiri?"
Eric berbicara sambil makan, sama sekali tidak mengangkat kepalanya untuk memandangku.
"Oh… seperti yang kamu mungkin sudah tahu, aku anak pertama, punya adik perempuan. Aku bekerja di perusahaan keluarga sebagai editor. Tidak ada hal yang menarik juga tentang aku."
"Dan kamu akan menikah. Apa rencanamu setelah menikah?"
"Tentu saja aku akan ikut Kenny suamiku, berharap segera mempunyai anak-anak, aku harus mengejar waktu… kami ingin punya tiga atau empat anak... aku tidak muda lagi. Hmmm dia sudah membeli rumah untuk kami, sebuah rumah di atas bukit dan dari sana kami bisa memandang laut. Aku sangat menyukainya." Kataku.
Eric melambatkan kunyahannya, dia terlihat berpikir.
"Dimana itu? dia bekerja apa?"
"Guru. Di Pulau Bunga, tempat tinggal Ken."
"Kalau begitu apa yang tidak bagus? Kelihatannya semua baik." Kata Eric. Baru kusadari bahwa Eric bertanya berputar sehingga tanpa ditanya ulang aku sudah bercerita tentang Ken.
Aku menatapnya, kami saling menatap. Kurasakan Eric yang terlihat dewasa dan percaya diri juga sosok yang berpikir rasional.
"Ada yang ingin kamu katakana kepadaku Laura?"
Aku menggelengkan kepala.
"Kadang, akan lebih mudah menceritakan rahasia kepada orang yang baru kamu kenal." Kata Eric lagi.
Dia benar. Dulu ketika Kenny memutus pertunangannya, aku sengaja pergi ke Belanda dan mengambil short course di bidang penerbitan. Di tempat baru aku ingin menjadi sosok baru dan tanpa beban aku bercerita pada teman yang baru kukenal, bahwa aku baru dilukai oleh orang yang kucintai. Setelah bercerita, aku menjadi lega.
Aku tidak tahu apakah sekarang aku memerlukan Eric untuk mendengar ceritaku. Eric memang baru kukenal, tetapi orang tua kami akan segera menikah. Mengingat sikap Eric yang sinis kemarin maka aku belum bisa percaya kepadanya.
"Sekarang giliranmu menceritakan dirimu, broer." Kataku. Eric tersenyum.
"Anak tunggal, dokter, lajang. Itu saja!"
Dia tersenyum. Sederhana sekali.
"Apakah kamu memang ingin terus melajang? Apa pendapatmu mengenai pernikahan? Yang kudengar banyak orang muda di Eropa yang tidak suka menikah." kataku sambil menyuap seiris daging dan mengunyahnya pelan-pelan.
Eric tidak segera menjawab pertanyaanku.
"Memang bertanya lebih mudah daripada menjawab." Kataku.
Eric memotong daging di piringnya lalu memindahkannya ke piringku.
"Hei…"
Aku memprotes.
"Kamu harus makan lebih banyak."
"Haha Eric… kamu sangat cerdas untuk mengelak pertanyaanku."
"Laura, aku tidak percaya pada Lembaga pernikahan. Ibuku meninggalkan rumah. Aku tidak ingin menciptakan keluarga dengan anak-anak yang tidak bahagia." Kata Eric.
Aku menggelengkan kepala menatapnya.
"Seharusnya kamu cukup cerdas untuk melihat kasus demi kasus dan tidak menarik semua peristiwa menjadi satu kesimpulan."
Eric menggaruk kepalanya, meneguk sebotol air mineral.
"Kamu terlalu naif." Kata Eric.
"Kamu terlalu keras kepala."
Kami tertawa bersama dan melanjutkan makan.
"Baiklah. Aku selesai makan. Aku akan pulang setelah kamu selesai makan." Eric membereskan piring-mangkuk bekas makannya.
"Tidak apa-apa kalau mau pulang, aku lama makannya." Kataku sambil mengambil serbet untuk mengelap bibirku. Aku baru makan setengah porsi, apalagi Eric memindahkan sebagian steak punya dia ke piringku.
" Oke. Jangan lupa passportmu, simpan baik-baik. Jangan mandi, maksudnya jangan basahkan luka-lukamu." Eric berdiri kemudian memakai jaket dan mendekatiku. Dia memelukku serta mencium kepalaku. Tubuhnya yang tinggi besar membuat aku merasa mungil di dalam pelukannya.
"Terima kasih." Kataku.
Kurasakan tangan Eric yang menekan kepalaku ke dadanya yang lebar dan kuat. Kudengar degub jantung Eric dan tubuhnya yang hangat. Oh… mengapa aku merasakan sensasi ini? Bau tubuhnya dengan aroma lavender dan mint terasa maskulin, membangkitkan kewanitaanku. Kudorong dadanya dengan kedua tanganku agar tubuh kami saling menjauh. Aku tidak sanggup berada di dalam pelukannya. Dia tersenyum dan mengedipkan matanya.
Mungkinkah Eric memang sengaja menggodaku karena dia ingin menjebakku untuk membuktikan dugaannya bahwa ibu dan aku adalah perempuan yang mengejar harta dengan memanfaatkan keperempuan kami.
"Apa yang kamu pikirkan?" suara Eric dalam dan menggoda.
"Tadi kamu bilang akan menceritakan alasanmu menjadi baik dan tidak sinis lagi kepadaku?" Aku mendongak menatapnya. Dia adalah pria yang praktis dan rasional. Aku ingin Eric mengetahui bahwa kami juga bukan sembarang perempuan. Eric terlihat murung dan menggelengkan kepala.
"Saatnya belum tepat. Tapi sekarang aku tahu kamu ternyata juga baik." Tawa Eric terdengar sumbang.
"Jangan terbiasa melakukan judgment. Kita belum saling mengenal." Kataku.
"Ya. Selamat malam." Eric membuka pintu dan berjalan keluar tanpa menengok kembali. Aku mengawasi tubuhnya yang menjauh.
"Tutup pintunya Laura, segera tidur!" seru Eric tanpa menengok.
Aku menutup pintu dan berjalan ke meja untuk menghabiskan makanan.
Hatiku menjadi kacau, kurasa aku tertarik pada Eric dan sedang meragukan Kenny. Ini tidak boleh terjadi! Aku memutuskan untuk menjaga jarak dari Eric dan menjaga hubunganku dengan Kenny.
Tapi malam itu wajah Eric terbayang terus, juga suaranya dan matanya yang dalam, bahkan gayanya ketika mengangkat alis.
Eric akan menjadi kakak laki-lakiku, kataku di dalam hati dan mengulanginya beberapa kali.
***