Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 51 - Sisi lain Kenny

Chapter 51 - Sisi lain Kenny

Pagi pagi petugas hotel mengetuk pintu kamar dan menyerahkan satu kantong kertas besar untukku.

"Dari Tuan Van Dijk," katanya.

Aku menerima dan membukanya. Isinya satu gaun one-piece dengan bahan wool. Modelnya sederhana dengan lengan tiga perempat dan A-line. Warnanya coklat muda. Tidak ada catatan apa pun yang menyertai bingkisan itu sehingga aku tidak bisa mengetahui, apakah Eric atau Jan yang mengirimkannya.

Namun aku mensyukurinya karena gaun ini cocok untuk kupakai hari ini, selama luka di paha kiriku belum kering, aku memerlukan baju yang longgar.

Pasti Eric yang mengirimkannya, pikirku kemudian.

Pada saat kami sarapan aku menceritakan tentang gaun ini kepada ibu.

"Kurasa memang Eric yang mengirim, sebab Jan tidak mengatakan apa pun," kata ibu.

"Ternyata dia penuh perhatian, walau pada awalnya terkesan sombong," kata ibu lagi.

Aku membayangkan wajah Eric dengan senyuman dan alis terangkat. Kalau dia menjadi kakak, pasti menyenangkan karena akan melindungi dan memperhatikan adiknya.

Dalam perjalanan ke tempat pameran aku mengirim teks pesan kepada Eric untuk berterima kasih. Pesan terkirim dan sesaat kemudian terlihat dua centang biru tandanya dia sudah membaca pesan tersebut, tetapi Eric tidak membalasnya.

Aku segera melupakannya sebab kami sibuk mengurus pameran.

Ibu dan aku menata meja dan mendisplay buku-buku, kemudian ibu bersiap-siap untuk menjadi pembicara dalam diskusi buku pernikahan. Ibu akan menceritakan adat pernkahan di beberapa suku di Indonesia. Kami sudah menyiapkan video pendek berdurasi lima menit, power point 10 slide, selebihnya akan diisi diskusi.

Perhatian pengunjung lumayan bagus, Jan sudah mengatur beberapa orang yang menurutnya layak mengikuti bedah buku dan diskusi tersebut.

Berkat bantuan Jan, kami juga menyuguhkan makanan ringan khas berupa buah kering dan keripik pisang sebagai buah tangan, serta pembatas buku dari kertas cetak dengan motif tenun ikat.

Setelah diskusi ibu menemaniku di tempat display buku. Jan juga telah mengundang seorang penerbit potensial yang akan diajak kerjasama untuk menerbitkan buku-buku ke dalam bahasa Belanda. Perempuan penerbit rekan Jan terlihat antusias dan segera cocok dengan ibu. Mungkin mereka merasakan kesamaan, sebagai perempuan pebisnis di bidang yang sama. Namun tentu saja ini baru awal, karena perundingan selanjutnya akan memerlukan diskusi lebih detil tentang buku yang akan dipilih dengan pendekatan peluang pasar dan kedekatan budaya.

Perempuan itu bernama Clarissa Harris, rambutnya merah tergerai ikal dan cocok dengan lipstick merah menyala di bibirnya.

Tanpa terasa kami sudah melewati waktu makan siang.

"Oh… mari kita mencari sesuatu untuk dimakan. Hari ini kita akan berada di Gedung pameran sampai malam," kata Jan. Dia sudah mengatur sejumlah jadwal pertemuan baik untuk ibu maupun untukku.

Kami makan roti, salad dan kopi dengan cepat lalu melanjutkan kegiatan yang cukup padat.

Sore itu aku menerima telepon dari Kenny di tengah kesibukan pertemuan-pertemuan dengan penulis buku handicraft.

"Laura, mengapa aku merasa kamu menjauh?" tanya Kenny ketika telepon kami tersambung.

"Mungkin zona waktu membuat aku tidak bisa leluasa menelpon Ken, sekarang aku juga sedang sibuk. Tetapi hatiku tetap terikat kepadamu," kataku.

Di dalam hati aku meragukan kata-kataku. Apakah aku akan terus setia kepadanya bila menghadapi pengkhianatan Kenny yang berikutnya? Foto-foto Kenny terbayang kembali. Dadaku terasa sakit tetapi aku harus menahannya. Aku tidak ingin membahas urusan sepenting itu melalui telepon jarak jauh dan dalam situasi yang tidak tepat.

" Aku berdoa untukmu, semoga mendapat kerjasama yang bagus." Kata Ken. Kurasakan kata-katanya yang tulus dan suara Ken yang berat dan dalam membuatku merindukannya.

"I love you, honey, nanti makam kukabari jika aku sudah selesai," kataku. Aku melihat Jan dan penulis buku kerajinan itu tidak sabar menungguku menyelesaikan percakapan telepon.

"Okay, I love you too," jawab Kenny.

Malam harinya aku terlalu lelah untuk menghubungi Kenny dan aku melupakan janjiku. Segera setelah tiba di hotel aku hanya mandi pancuran cepat-cepat, minum susu dingin dan tidur.

Hari berikutnya kesibukan di tempat pameran masih berlanjut. Kami bertemu dengan dua orang lagi. Selepas waktu makan siang aku mengelilingi tempat pameran untuk berbelanja buku khususnya pesanan Farina.

"Bu, malam nanti aku akan ke Hilversum untuk bertemu Tati. Mungkin aku menginap di sana," kataku ketika minum kopi sore ini bersama Jan dan ibu.

"Naik apa?" tanya ibu.

"Kereta."

"Sebaiknya minta Eric mengantarmu. Malam-malam naik kereta nanti kamu tersesat," kata Jan.

"Saya sudah hafal tempatnya. Tati akan menjemput di stasiun," kataku. Saat itu baru kusadari bahwa sudah dua hari aku tidak bertemu dengan Eric dan juga tidak saling berkirim pesan.

"Aku khawatir akan keselamatanmu. Let me call Eric, supaya menemanimu," kata Jan.

"Eh… aku bisa sendiri kok, sungguh…" kataku.

Tetapi saat itu Jan sudah menelepon Eric dan berbicara dalam bahasa Belanda dengan cepat. Yang kutahu Jan menyebut namaku dan Hilversum.

"Berapa hari kamu akan menginap di sana?" tanya Jan kepadaku.

"Dua malam."

Jan meneruskan jawabanku kepada Eric, tidak lama kemudian mengakhiri percakapan telepon dengan anaknya.

"Eric sibuk hari ini, tetapi dia akan menjemput dua hari lagi," kata Jan.

Aku mengangguk. Aku memang tidak berharap Eric untuk mengantarku juga untuk menjemput. Tetapi demi sopan santun aku menyetujuinya.

Malam itu aku naik kereta menuju Hilversum dan bertemu Tati di stasiun. Tati kukenal ketika aku belajar di kota kecil yang cantik ini. Dia terlihat semakin berisi, pipinya merah dan rambutnya tergerai di atas bahu. Penampilannya selalu modis. Dia memakai sepatu lars warna coklat yang senada dengan warna coat khasmir yang dikenakannya. Tati mengeluarkan tangannya dari saku coat untuk melambai. Kami sama-sama berjalan mendekat dengan tangan terentang.

"Laura, kamu terlihat lebih bahagia!" sapa Tati sambil memelukku erat-erat.

"Kamu juga berseri-seri. Nah, segini berat badanmu ideal, jangan terlalu kurus," kataku sambil mengamatinya.

Dia tertawa memperlihatkan giginya yang berderet rapi.

Tati mengajakku langsung ke tempat parkir mobil.

"Aku sudah membuat sup, tinggal menghangatkan. Ada kebab ini untuk kita makan bersama," katanya. Tati tahu aku suka makanan panas, kebab, keju.

Kami berkendara menembus jalan yang sunyi karena toko-toko sudah tutup.

"Kalau mau belanja, besok siang kita ke Centrum atau di sekitar stasiun sini. Toko tutup pada jam enam sore." Katanya.

"Aku ingat itu," kataku mengenang saat tinggal di kota kecil tersebut.

Tiba di rumah Tati memanaskan sup dan memasukkan kebab ke dalam microwave.

"Kamar tidur untukkmu sama dengan biasanya, pintu kiri setelah tangga."

Aku mengangguk dan naik ke lantai dua untuk meletakkan tas pakaian.

Pada saat turun kembali, makanan telah terhidang di atas meja. Satu gulung kebab yang dipotong dua – jika utuh kami tidak bisa menghabiskannya seorang diri – sepiring penuh potongan keju berbagai macam.

"Nah, sekarang ceritakan apa yang kamu lakukan di Amsterdam? Dan bagaimana kehidupan pribadimu? Sudah punya pacar?"

Aku bercerita sambil makan, juga tentang Jan, Eric dan ibu serta bagaimana ibu terlihat bahagia saat jatuh cinta kembali.

"Semula aku merasa sedih dan tidak rela tempat ayahku digantikan oleh pria lain, tetapi ketika melihat kebahagiaan mereka, aku sadar bahwa mereka mempunyai hak untuk berbahagia dengan salaing menyayangi," kataku sambil mengunyah keju.

Ponselku berdering. Kenny menelepon.

"Hello Ken."

"Laura, I am crazy missing you," suara Kenny terdengar serak.

"Aku juga."

"Bisa video call, aku ingin melihat wajahmu, bibirmu yang merah dan lembut… aku ingin menciummu."

Mendengar kata-kata Kenny aku menjadi duduk kaku.

"Hmm.. hmm maku sedang makan dengan … emm temanku."

"Cowok?"

"Cewek, Tati."

"Please… aku ingin melihat wajahmu. Apakah bisa 10 menit lagi?"

Aku menggeleng meskipun dia tidak bisa melihatku.

"Satu jam lagi." Kataku setengah berbisik.

"No Laura, aku menginginkamnu segera… 15 menit, masuklah ke kamar atau ke toilet… aku aku… merindukanmu." Suara Kenny terdengar aneh. Aku melihat ke atas meja, makanan masih banyak dan kami belum selesai. Seperti membaca pikiranku, Tati memberi isyarat agar aku naik ke lantai dua.

" Kalau kamu sudah selesai makan, bisa langsung tidur, jika tidak mandi lagi," kata Tati dengan suara pelan. Aku mengangguk kepadanya.

"Ken, 20 menit lagi ya. Bye…" kataku sambil menutup telepon. Aku termenung memikirkan isi percakapan tadi. Mengapa Kenny memintaku masuk ke kamar atau ke toilet? Permintaan yang sangat aneh. Hatiku berdebar-debar. Suara Kenny terdengar menggoda dengan nafasnya yang berat. Apakah dia menginginkanku… oh…

Mata Tati memandangku dan menanti penjelasanku.

"Masih ingat Kenny yang dulu membuatku patah hati? Kami berhubungan kembali dan akan segera menikah."

"What??? Bukankah dia sudah beristri?" mata Tati melebar, seakan bola matanya bisa terloncat sewaktu-waktu.

"Dia duda sekarang, istrinya meninggal lima tahun yang lalu." Aku menunduk, tidak tahan mendapat tatapan mata Tati.

Kami membisu beberapa saat dan aku melanjutkan memunguti potongan keju dan mengunyahnya pelan-pelan.

"Laura, apakah kamu sudah bisa memaafkannya?" mata kami kembali bertatapan.

"Tadinya sudah sih…"

"Lalu?"

Aku menceritakan kiriman email berupa foto-foto Kenny yang sedang bermesraan dengan dua perempuan berbeda dan membuatku galau.

"Wah! Bagaimana ini? Kamu pasti sangat mencintainya sehingga bisa memaafkan dan menerimanya." Kata Tati.

Aku menunduk dan mencoba memeriksa hatiku. Apakah aku sangat mencintai Ken? Selama ini memang hanya Kenny saja yang kucintai. Bayangan laki-laki lain melintas, Nuggie, Hardy, Eric, juga Kenny… kepalaku terasa berat.

"Coba pikirkan, seseorang yang pernah melukaimu mungkin tidak benar-benar mencintaimu." Kata Tati .

Belum 20 menit aku masuk ke kamar setelah membantu Tati membereskan meja makan. Suaminya akan pulang agak larut karena sedang dinas ke luar kota. Tati dan Hans belum mempunyai anak.

Setelah berada di kamar aku langsung menelepon Kenny.

"Laura…" suara Kenny dengan mesra. Dia mengubah panggilan suara menjadi panggilan video. Aku menerimanya. Wajahnya segera terpampangotomatis aku tersenyum kepadanya.

" I want to touch you, I want to feel you…" kata Kenny.

Aku tergagap mendengarnya.

"Ken…" aku menatap matanya yang terlihat menggoda juga bibirnya yang membuat dadaku semakin kencang berdebar.

"Apakah kamu tidak pernah menginginkan aku?"

"Tentu aku menginginkanmu Ken." Kataku sambil naik ke tempat tidur.

"Tahu yang aku maksud? I want you La… look …" dia menengok ke bawah.

Tiba-tiba aku teringat foto-foto itu.

Kenny memejamkan matanya, mulutnya terbuka .

"Ken???!"

Dia tidak menjawab.

"How sweet your lips… I want to taste it."

"Kenny… apakah kamu sadar?"

Dia membuka matanya, terlihat sayu dan menggigit bibirnya.

"Laura, touch yourself and feel it as I touch you."

Aku terdiam menatapnya.

"Touch your lips baby… touch for me, you wont regret…" suara Kenny mendesah lalu dia menyentuh bibirnya sendiri dengan telunjuknya.

"Lakukan sayang…l need you now!"

Kata-katanya mendorongku untuk menuruti kemaunannya. Aku menyentuh bibirku.

"Bagaimana rasanya, apakah kamu menyukainya? Pejamkan matamu seperti saat aku menciummu… Laura I adore you…" l

Aku memejamkan mata dan membayangkan pelukan Kenny serta ciuman-ciumannya yang hangat dan mengisap.

Kenny memanduku dengan suaranya yang serak dan menggoda sehingga aku mengikuti dan menikmatinya. Tanganku meraba bagian bagian peka di tubuhku seperti yang diminta Kenny. Aku merasakan tanganku meremas-remas tubuhku sendiri hingga aku merasa sesak nafas.

"Laura, apakah kamu meninginkanku? sayang… gigit bibirmu ummm Little Kenny want you." Nafas Kenny terdengar berat dan dia mengerang.

"Oh Laura… do you feel it? Touch yourself down there… "

Rupanya Kenny menggeletakkan telepon karena pada layarnya terlihat langit-langit kamar. Aku merasakan reaksi tubuhku. Seperti ini kah keinginan itu…

Aku membayangkan pelukan Kenny dan usapan telapak tangannya di seluruh tubuhku, tetapi foto-foto itu terbayang kembali dan membuat air mataku bergulir…

Sisi lain dari Kenny yang kukenal. Siapa perempuan-perempuan itu, apa yang telah dilakukan Kenny dengan mereka? Apakah aku bisa memiliki Kenny seorang diri? Tidak ada perempuan lainnya?

***