"Jangan salah sangka, aku tidak ingin merepotkanmu." Aku ingat kata-kata Eric yang sinis ketika melihatku menangis di halaman rumahnya waktu itu. Kudengar Eric bergumam, tidak jelas apa yang dikatakannya.
"No, Eric, kamu bisa jemput aku sekitar pukul lima sore. Aku ingin makan malam bersamamu." Kataku.
"kalau kamu bisa." Kutambahkan lagi, khawatir dia sibuk.
"Berikan alamatnya, kujemput pukul empat."
"Oke."
"Sekarang tidurlah kembali." Katanya.
Eric menutup telepon begitu saja, tanpa mengucapkan salam perpisahan atau kata-kata manis sebagai pengantar tidur. Aku bingung melihat sikapnya yang bertentangan, kadang cuek, pada kesempatan lain penuh perhatian. Mungkin aku yang terlalu berharap.
Aku sedang gelisah menghadapi sikap Kenny tadi yang sama sekali di luar dugaanku. Selama ini aku memandang Kenny sebagai pria yang santun dan layak dihormati. Dia bersikap dewasa dan baik, tetapi foto-foto dari pengirim misterius dan panggilan video yang baru dilakukannya membuatku bergidik. Apakah itu normal? Apakah aku yang kuper? Aku tidak pernah membahas masalah seks dengan ibu dan Farina. Aku juga merasa malu untuk menceritakan kejadian ini kepada mereka. Bagaimana baiknya? Haruskah aku bersikap pasif dan menunggu?
Mataku nanar menatap langit-langit dan terdengar suara mendenging di telinga yang membuatku pusing. Aku kembali duduk memandang keluar jendela, pada langit kelabu dan juga atap-atap rumah di seberang jalan. Sunyi… aku merasa bagai orang yang hilang di tengah malam yang sunyi. Sampai matahari terbit aku tidak bisa tidur lagi .
Suara Tati di bawah memanggil namaku.
"Laura, sarapan sudah siap! Atau kamu masih ingin tidur?" seru Tati.
Dia pasti melongok di bawah tangga. Aku juga mendengar suara Jansen, suami Tati.
"I am coming." Kataku sambil merapikan diri lalu membasuh muka dan menggosok gigi. Udara dingin dari luar masuk melalui celah-celah jendela.
Di ruang makan, pasangan Tati dan Jansen duduk menghadap secangkir kopi dan roti panggang. Makan pagi yang damai.
"Selamat pagi, helo Jansen, maaf tadi malam aku tidak menunggumu." Kataku.
Jansen berdiri menarik kursi untukku. Dia tersenyum ramah.
"No problem. Apa kamu bisa tidur nyenyak" Jansen bertanya sambil mendorong kursi setelah aku duduk. Kedua tangannya menepuk bahuku.
"Hmmm sedikit. Terbangun tengah malam."
Jansen sudah duduk di seberangku sementara Tati menyodorkan mug dan teko kopi yang mengepulkan asap dan menebarkan aroma harum.
"Ada sup kentang kalau mau." Tati menawariku sambil mendekatkan piring berisi roti dan keju.
"Terima kasih. Pagi yang dingin, aku perlu sup panas," kataku sambil tertawa.
"Hari ini suhu udara diramalkan turun drastis, mungkin bisa sembilan derajat." Jansen menjelaskan sementara tangannya mendorong panci berisi sup kentang. Aku tersenyum, ini masakan kegemaran mereka dan dulu selalu kunikmati setiap berkunjung ke tempat ini. Di dalam sup kentang itu Tati memasukkan potongan ham, wortel dan daun seledri.
"Ini rasa nostalgia," kataku sambil mencedok sup ke dalam piring.
"Makan yang banyak supaya hangat," kata Jansen kepadaku.
Tati tersenyum kepadanya.
"Aku sudah menyiapkan coat tebal untukmu, honey, " kata Tati, matanya mengerling ke suaminya. Mereka sudah menikah beberapa tahun namun belum memiliki anak. Kemesraan Tati dan Jansen sering membuatku cemburu.
"Bagaimana dengan Laura?" tanya Jansen.
Tati mengangguk dan mengarahkan dagunya ke gantungan jaket di dekat pintu rumah. Dia mengisyaratkan telah menyiapkan coat untukku.
Pagi ini kami berencana jalan-jalan ke Naarden, kota cantik yang tersusun dalam benteng-benteng berbentuk bintang.
"danke." Kataku.
Jansen antusias untuk membawaku ke Naarden karena dia menyukai sejarah dan bisa bercerita panjang tentang orang-orang penting, sejarah bangunan dan benteng-benteng yang unik.
"Dulu kamu hanya masuk butik dan makan siang, nanti harus masuk ke benteng," kata Tati saat kami bersiap-siap untuk berangkat.
"Yup. Saya sudah tidak sabar untuk masuk ke benteng dan mendengar cerita dari Jansen."
Menjelajahi Naarden membuatku sedikit melupakan kesedihan yang tadi malam membuatku terjaga dan gelisah.
Jansen membawa drone dan memotret Naarden dari udara lalu memperlihatkannya kepadaku.
Cerita sejarah membuatku membayangkan situasi berabad-abad lalu yang tersimpan baik-baik di balik dinding-dinding benteng yang sekarang menjadi museum.
Pada saat kami akan makan siang, aku melihat ada pesan masuk dari Kenny.
"Laura, I am crazy missing you. Nanti aku telepon lagi ya."
Dadaku berdebar-debar membayangkan Kenny. Aku juga rindu kepadanya.
" Ken, aku rindu suaramu, menyanyilah untukku dan juga tatapan matamu yang memberi cinta." Aku menulis jawaban kepada Kenny. Aku merindukan semua itu, bayangan masa-masa bersamannya.
Aku sangat ingin menanyakan tentang perempuan di foto-foto yang dikirim kepadaku, tetapi mulutku juga terkunci. Aku tidak berani mendengar jawaban Kenny, apabila jawaban itu akan menyakitiku.
"Oke. I love you La." tulis Kenny lagi.
"Laura, bibirmu terlihat kering," Tati menyodorkan lip balm.
"Thanks." Aku menyadari bibirku pecah-pecah karena udara kering dan dingin. Kuoleskan lip balm untuk melembapkannya.
"Kamu tahu, Jansen masih ingat makanan kesukaanmu, pancake apel dengan kayu manis. Dia sudah memesan satu untuk penutup makan siang kita." Kata Tati sementara Dave, pemilik cafe berjalan membawa tiga botol bir dari konter resto. Pemilik resto adalah teman Jansen dan mereka berdua bercakap-cakap dengan akrab.
Setelah makan siang, Jasen dan Dave tinggal di café sedangkan Tati dan aku melihat-lihat toko di sekitarnya. Godaan belanja selalu sulit dikendalikan saat melihat barang-barang yang menarik dan sesuai selera. Aku tertarik pada satu tas tangan dari bahan kulit berwarna merah-hitam.
"Buatan Italia, kamu tidak akan menyesalinya," Tati semakin menguatkan hasratku untuk membelinya.
"Ohh ini sungguh menggoda."
"Laura, kamu tidak bisa menyembunyikannya dariku." Tiba-tiba Tati berbisik di telingaku.
"Keinginan belanja?"
"Kamu menangis tadi malam."
"…"
Mata Tati menunggu jawaban sementara aku masih belum bisa mengungkapkan kegelisahanku kepada orang lain.
"Ada sesuatu memang, maaf aku belum bisa bercerita."
"Pacar baru?"
Aku menggelengkan kepala.
Tati belum mendengar bahwa aku menjalin hubungan kembali dengan Kenny.
"Kenny menduda, istrinya meninggal sudah lama. Dia melamarku." Kataku singkat. Tati membelalakkan matanya yang bulat. Bulu mata palsunya terangkat.
"Lalu?"
Aku menggelengkan kepala lagi, belum siap untuk menjelaskan situasi selanjutnya.
"Aku masih memikirkannya. Hmmm ngomong lain dulu ya aku belum siap."
"Ambil ta situ!"
Rupanya tanpa sepengetahuanku Tati membeli sarung tangan kulit berwarna hitam dengan strip merah di pergelangan tangan, cocok dengan tas yang kuincar.
"Pakai saja sekarang, kamu terlihat modis dan menawan. Bila ada cowok Belanda tertarik, terima saja, jangan kembali pada Kenny." Kata Tati.
Aku tertawa getir mendengarnya.
"Tidak semudah itu Tati!"
Dia tertawa dan menepuk punggungku.
"Masa kalah sama ibumu, ayo aku bantu carikan jodoh? Kamu layak dapat perjaka, ganteng, pinter dan kaya." Kata Tati.
"Aku tidak berminat."
"Kenapa? Aku tidak rela kamu dapat duda apalagi diajak tinggal di pulau terpencil. Kamu masih muda dan anak zaman now."
Tati selalu ceria dan kebahagiaanya sebagai istri Jansen dan bekerja sebagai guru tari sering membuatku iri. Seakan hidupnya penuh kesenangan.
"Jam berapa temanmu menjemput?"
"Empat."
Tati mengajakku kembali ke café dan memesan kopi. Saat itu sudah pukul tiga sore sehingga dia menyarankan agar Eric menemuiku di café.
"Siapa temanmu ini? Cowok atau cewek?"
"Haha lucu, sebenarnya dia anak dari Jan, calon suami ibuku. Seorang dokter."
Tati menutup mulutnya yang menganga dengan tangannya.
"Cakep, kaya? Masih muda?"
"Lihat sendiri nanti."
Tati menggoyangkan telunjuk kanan sambil mengerling lucu.
"Kami akan jadi kakak dan adik."
"Nonsens."
Melihat reaksi Tati membuatku berpikir lebih pasti bahwa Eric dan aku tidak akan menjadi kakak dan adik. Namun sikapnya yang penuh perhatian dan melindungi memberikan rasa aman. Aku senang memiliki seseorang yang memperhatian dan melindungi.
Eric tiba sebelum jam empat. Tubuhnya yang jangkung memasuki ambang pintu café. Sosoknya mudah dikenali selain jangkung, juga gaya rambutnya yang awut-awutan.
"Itu orangnya." Kataku kepada Tati.
"Wow… ini versi cakep Ed Sheeran." Seru Tati,
"Gaya rambutnya ya… kadang Eric menjengkelkan."
Aku melambai pada Eric dan memperkenalkan dia kepada Tati, Jansen dan Dave.
Tati berdiri di belakangku dan mencubit lenganku.
"Tinggalkan Kenny, ambil yang ini. super keren."
Aku mengernyitkan dahi menoleh kepada Tati.
"Gila lo!"
***