Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 59 - Dua orang dalam satu hati (2)

Chapter 59 - Dua orang dalam satu hati (2)

Ibu dan aku memanfaatkan layanan kamar untuk memesan makanan dan kami makan bersama di kamar ibu. Seminggu lebih di Amsterdam kulihat ibu semakin sehat dan berseri-seri, pasti karena Jan, sedangkan bayanganku di cermin memperlihatkan kulit yang kuyu, kantong mata tebal dan mata yang redup tanpa sinar.

"Bu, apakah Jan pria idaman ibu?"

Ibu mengerucutkan bibir, mengangkat alis dan matanya membelalak lucu lalu dia mengusap bibirnya yang berminyak oleh makanan.

"Ibu tidak pernah berpikir, pada usia sekarang bisa jatuh cinta lagi. Tempat ayahmu tidak tergantikan, ada di sini, tetapi Jan mengisi sisi yang lain," kata ibu sambil menepuk dadanya.

Satu hati ibu berisi dua pria yang dikasihinya.

Ayah sudah meninggal dan menjadi masa lalu ibu. Sekarang ibu bebas bila ada laki-laki lain yang dicintainya. Dua cinta dalam satu hati.

Ekspresi ibu menunjukkan kesungguhan kata-katanya. Sinar lampu meja yang menyorot wajahnya, menguatkan kesan perasaan ibu. Aku yakin bahwa ibu masih mencintai ayahku, suami yang sudah memberinya dua anak, aku dan Farina. Ayah sudah meninggal lebih dari 10 tahun dan selama ini ibu tidak pernah tertarik kepada pria lain bahkan tidak pernah terbayang jika dia akan menikah lagi.

"Aku senang jika ibu bahagia. Ayah sudah bahagia di surga, tidak apa-apa, ayah pasti juga senang bila ibu bahagia." Kataku memberikan dukungan kepada ibu.

Suasana hening sesaat, kami tenggelam dalam pikiran masing-masing, sesekali ibu mengambil nafas dan mengembuskannya perlahan-lahan.

"Kukira ibu akan menunggu hingga kamu menikah, baru ibu memikirkan pernikahan kami."

Aku paham maksud baik ibu, dia mengutamakan kepentingan anaknya. Tetapi sekarang aku masih bimbang untuk menikah. Aku harus datang ke Pulau Bunga dan mencari tahu kembali, apakah aku dan Kenny bisa melanjutkan rencana kami dan apakah tidak ada perempuan lain di hati Kenny? Aku tidak bisa menerima bila ada perempuan lain. Hatiku sakit ketika membayangkannya. Bagaimana jika Kenny mendua setelah kami menikah? tiba-tiba aku menjadi ketakutan.

"Tidak apa-apa bila ibu menikah dalam waktu dekat. Aku… ehmm aku masih ingin bicara dengan Kenny lagi." Kataku mencoba tenang.

"Bicara apa? Laura… adakah yang mengganggu pikiranmu? Selama ini kuperhatikan kamu lebih murung dan gelisah."

Ibu meraih tanganku dan menggenggamnya. Terasa hangat dan menyentuh. Ibu yang beberapa hari ini kukira sedang mabuk asmara, ternyata masih memperhatikan aku. Air mataku segera mengalir ke pipi justru karena pertanyaan yang menyentuh seperti ini.

Aku segera menghambur ke pelukannya.

"Bu… ada masalah dengan Kenny, aku bingung…"

Ibu memelukku dengan erat serta menepuk punggungku.

"Bicaralah. Ibu akan mendengarkan." Suaranya terdengar lembut dan menyejukkan.

Kuceritakan kepada ibu tentang sikap Kenny juga kiriman foto-foto mesumnya.

Ibu terhenyak di kursi sofa, tangannya menutup mulutnya yang menganga.

"Mengapa pula dengan Nak Kenny ini… awas kalau sampai dia mengulangi perbuatannya." Ibu mengepalkan tangannya.

"Aku belum pasti Bu, harus bertanya secara langsung. Mhhphh masalahnya, belakangan ini Kenny juga mulai tidak senonoh."

Aku tidak bisa menahan rahasia terlalu lama. Ibu bukan orang lain, kurasa dia perlu tahu.

"Bagaimana maksudmu?"

"Dia… dia mempertontonkannya kepadaku… itu…" kataku sambil memberi gerak isyarat.

"Laura!?" Ibu membelalak, seperti tidak yakin atas pernyataanku.

"Ya bu… ya bu… begitu. Apakah itu normal? Aku tahu kami sudah dewasa, tetapi aku tidak siap untuk ini."

"Seharusnya dia tidak begitu." Katanya.

Ibu menghabiskan makanannya dan memberi isyarat padaku untuk menghabiskan makananku, namun aku telah kehilangan selera. Aku tidak jujur kepada ibu tentang perasaanku kepada Eric, sepertinya aku hanya ingin menjelek-jelekkan Kenny.

"Sebaiknya ibu menemanimu ke Pulau Bunga." Kata ibu setelah selesai makan.

"Mengapa? Aku bisa sendiri." Kataku sambil membayangkan keberadaanku di Pulau Bunga.

"Ibu tidak yakin akan keamananmu. Kenny sudah melangkah terlalu jauh. Siapa pula perempuan-perempuan itu? Laura, apa kamu yakin dia pria baik-baik?"

Aku membayangkan Kenny Williams, kekasihku yang terlihat santun dan selama ini tidak pernah bertindak lebih jauh dari mencium dan meremas bahuku. Dia seperti menahan diri setiap menciumku. Kadang aku bisa merasakan reaksi kelelakiannya, tetapi kurasa itu normal dan kami berhenti berciuman ketika eros memanas. Kenny paham betul bahwa aku menjunjung tinggi kesucian untuk suatu pernikahan. Aku bersyukur bahwa Kenny bisa memahamiku dan tidak mendesak. Panggilan video saat aku di rumah Tati membuka mataku bahwa Kenny sudah lama menginginkannya. Jika tidak ada foto-foto panas yang dikirim orang ke emailku, tentu aku tidak akan mencurigai Kenny.

"Bu… apakah salah jika aku tertarik pada orang lain… di saat seperti ini?" tanyaku dengan suara pelan, berharap ibu tidak mendengarnya.

Aku menggigit bibir karena rasa rindu yang menghimpit. Aku ingin mendengar sapaan Eric.

Ibu menatapku, matanya berkedip-kedip saat dia berpikir dan mulutnya komat-kamit akan menjawab tetapi belum ada satu katapun yang terdengar dari mulutnya.

"Aku mungkin juga tidak setia Bu… aku memikirkan pria lain." Kataku sambil menutup wajah dengan kedua telapak tanganku.

"Laura, kamu belum terikat pernikahan. Kamu gadis yang bebas. Kamu bisa memilih calon suami yang terbaik untukmu. Kamu hanya perlu mempertimbangkannya." Kata ibu.

Aku merasa bersalah kepada Kenny.

"Baiklah Bu. Terima kasih. Aku balik ke kamar dulu." Kataku sambil berjalan ke pintu penghubung antara kedua kamar kami.

Ibu tidak bertanya tentang pria itu, apakah dia bisa menduganya ataukah ibu memberi kesempatan kepadaku untuk berpikir.

Aku menyikat gigi dan membersihkan diri lalu segera naik ke tempat tidur dengan membawa HP.

Kulihat ada pesan dari Kenny, Nuggie dan Eric.

Aku membacanya sesuai urutan.

"I am crazy missing you, babe! Telepon aku jika sudah ada waktu, jam berapa saja." Tulis Kenny. Aku tidak meneleponya melainkan membalas dengan tulisan singkat, meminta maaf karena kami sibuk berberes setelah penutupan pameran.

Kenny tidak membalas, mungkin dia masih tidur atau baru bangun. Sudah pagi di Pulau Bunga.

Pesan dari Nuggie mengabarkan situasi kantor dan progress pembuatan buku Hendra si youtuber popular.

"You look so cute Laura, I like it! Siapa yang melukis?" tanya Eric mengomentari profil baruku.

"Terima kasih Eric. Aku juga suka gambar ini. Topi rajutmu cocok dengan kepalaku ya?"

Balasku. Aku senang Eric mengirim pesan ini, menunjukkan bahwa dia memperhatikanku.

"Belum tidur? Sudah beres ya pamerannya." Eric segera membalas.

"Ya, terima kasih, semua lancar berkat bantuan Jan dan Clemence."

"Sudah kenal Clemence? Dia seperti saudari tua bagiku. Kadang cerewet tetapi hatinya baik."

"Dia memujimu terus."

Aku teringat kata-kata manis Clemence tentang Eric termasuk niatnya menjodohkan kami.

"Misalnya?"

"Katanya kamu cool! I should marry you, ha ha ha."

Aku menyesal menulisnya dan segera akan menghapusnya ketika jawaban Eric sudah muncul.

"Will you?"

"In your dream, Eric!" aku memasang emoticon meringis.

"Sudah kuduga kamu tidak mau, karena kamu akan menikah dengan kekasihmu. Good luck." Tulis Eric.

"Danke. Broer."

Hatiku merasa hambar. Bukan seperti ini yang kuinginkan, tetapi aku tidak bisa memulai percakapan yang lain.

"Sudah laurt Laura, tidurlah yang lelap. Kudengar besok kalian akan melakukan city tour, selamat beristirahat." Eric mengirim voice note, sehingga aku bisa mendengar suaranya. Aku memutarnya berulang-ulang. Lalu membalasnya dengan voice note juga.

"Terima kasih abang sayang."

Aku segera mematikan handphone dan memejamkan mata. Tidak tahu berapa lama kemudian ketika aku tertidur, tetapi yang kutahu aku terbangun pada tengah malam karena bermimpi. Dalam mimpi itu aku melihat Eric berjalan mendengat, tatapan matanya lekat padaku, namun saat wajahnya semakin dekat, tiba-tiba impian itu terhenti.

"Eric… mengapa jadi begini…" kataku. Tenggorokanku terasa kering.

Di hatiku ada Kenny dan Eric. Kenny dengan persoalan foto-foto panas dan upayanya mengajakku melakukan masturbasi melalui HP dan Eric yang mengajakku untuk memisahkan Ibu dari Jan. Ada tempat di hatiku bagi kedua laki-laki ini. Dadaku berdebar dan aku merasa sangat kacau. Aku harus berhenti memikirkan Eric meskipun bayangan ciumannya masih lekat. Ah dia hanya khilaf.

Aku terlalu lugu untuk mengabaikan bahwa laki-laki pasti berpikir tentang hubungan badan.

Kupejamkan mataku erat-erat … sebaiknya aku memikirkan hal lain.

Clemence dan kata-katanya "kamu muda, energik, pikirkan keinginanmu sendiri, pernikahan adalah keputusan penting."

***