Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 64 - Putaran waktu

Chapter 64 - Putaran waktu

Dua puluh menit yang lalu aku menelponnya dan Kenny bilang menungguku. Suaranya terdengar mesra ketika dia menjawab teleponku.

"Okay Honey, aku menunggumu. Ahhh… Honey…"

Kupejamkan mata saat mengingat kalimat Kenny belum satu jam berlalu.

Wait, wait…wait…

Suaranya tadi, kukira, kukira.. dia rindu kepadaku.

Rupanya dia sedang bercumbu dengan perempuan lain. Hatiku seakan tersayat-sayat semakin dalam ketika membayangkannya.

Mengapa aku percaya kepada Kenny? Beberapa bulan yang lalu dia terlihat begitu baik, seorang duda yang tabah dan tidak berpacaran dengan siapa pun selama lima tahun. Dia memintaku datang dan melamarku. Kukira wajar, seseorang mencari bekas pacar untuk melanjutkan cinta yang terputus…

"Mengapa harus terjadi lagi Richard, pada saat aku menerimanya, memaafkannya dan aku... aku membangun kembali cinta untuknya… tidak sanggup aku harus kehilangan kembali." Air mataku mengalir tiada henti meskipun aku berusaha menghapusnya.

"Laura, kamu butuh menangis, keluarkan semua tangismu." Kata Richard.

Betapa beruntungnya Adriana mendapat suami Richard, pria yang baik dan memperhatikan orang lain. Laki-laki yang tidak mengkhianati perempuannya.

Kota yang cantik di tepi teluk dengan gunung-gunung di punggungnya seakan ikut mengkhianati kebahagiannku, tiba-tiba mendung gelap dan disusul hujan lebat saat kami tiba di rumah Richard.

Air hujan membasahi kepala dan tubuhku ketika turun dari mobil untuk masuk ke rumah. Adriana menyodorkan handuk untuk kupakai mengeringkan badan dan rambutku. Wajahku masih basah oleh air mata dan air hujan, kedua air itu membaur, pasti Adriana melihat kesedihan pada wajahku sehingga dia menarik tubuhku ke dalam pelukannya dan kami menangis bersama-sama.

"Apa kamu tahu? Sudah berapa lama?" aku bertanya ketika tangisku bisa kukendalikan.

"Belum sebulan, sepulang dia dari tempatmu." Jawab Richard.

"Ummm… apa yang terjadi, mengapa dia … dia…" aku tidak tahu harus bagaimana melanjutkan kalimatku. Aku hanya ingin mengatakan mengapa Kenny tidak bisa mengendalikan diri tetapi rasanya sangat tidak sopan. Adriana membisu demikian pula Richard. Nah, aku adalah orang luar, Richard adik Kenny, bagaimana mungkin aku membicarakan keburukan Kenny.

Aku percaya kepada Kenny dan berpikir untuk segera menikah dengannya, mengandung anak-anaknya dan membesarkannya di rumah putih itu. Aku tahu aku tergoda pada Eric, tetapi aku sadar bahwa aku memiliki Kenny yang menungguku dan yang terlihat tidak sabar menunggu kedatanganku, bahkan aku membantunya memuaskan diri melalui video call saat aku di rumah Tati. Aku menjadi malu ketika membayangkannya kembali.

"Hujan sudah reda, kamu menginap di sini saja, aku akan menurunkan barang-barangmu," kata Richard. Dia segera menuju halaman untuk mengambil koporku.

"Minum dulu, mumpung masih panas supaya kamu menjadi hangat," kata Adriana ketika pembantunya menyuguhkan teh panas.

"Siapa perempuan itu Dri?" kutatap mata Adriana.

"Salah seorang bekas muridnya juga." Jawab Adriana setelah terlihat berpikir sebelum menjawab.

"I lost my Ken, aku tidak kenal dia lagi. Laki-laki yang kukagumi itu sudah mati." Kudengar suaraku serak dan tanpa daya.

"Laura, aku ikut prihatin. Kupikir dia sudah sadar akan kesalahannya." Kata Laura.

Richard membawa koporku dan pasutri itu mengantarku ke kamar.

"Istirahatlah sepuasmu. Kami ada di kafe, sebentar lagi kami buka." Kata Richard.

"Rick…menurutmu kenapa dia melakukannya?" aku menjangkau lengan Richard.

Richard tidak menjawab, dia melirik kepadaku lalu mengalihkan tatapan matanya.

"Selamat istirahat," kataya.

Gambaran wajah Kenny yang kujumpai tadi terasa sangat menyakitkan. Laki-laki yang mubayangkan sebagai orang dekat dan akan menjadi teman sehidup semati, yang akan kupercaya memberikan benih untuk kutumbuhkan di dalam rahimku, sekarang terasa jauh dana sing, tidak terjangkau.

Relasi bisa dekat bisa jauh dan bagaimana kita membangun serta memeliharanya. Sekali lagi aku menyalahkan diri sendiri karena tidak mampu menjaga hubungan kami. Kalau aku mengikuti kemauan Kenny untuk segera menikah, kalau aku tidak bepergian jauh dan mengejar ambisi karirku… apakah Ken akan setia kepadaku? Dua kali dia berpindah hati ke perempuan lain ketika aku jauh darinya.

Seperti dulu maka sekarang pun aku memeriksa diri sendiri, apa yang salah padaku sehingga Kenny melakukan perselingkuhan ini? Mungkinkah aku kurang memperlihatkan cinta dan perhatian untuk Ken? Pertanyaan berikutnya yang sulit untuk kubayangkan adalah, apa yang selanjutnya harus kulakukan? Otakku terasa tumpul tidak bisa membayangkannya.

Baru beberapa bulan yang lalu kami menjalin kembali hubungan yang telah lama terputus dan rasanya begityu cepat aku memaafkan Kenny. Pelukan Kenny, ciumannya yang hangat tidak dapat diingkari membangkitkan gairahku, sedangkan lagu-lagu yang dinyanyikannya secara khusus setiap malam, membuatku merasa melayang-layang tinggi di awan. Alangkah senangnya aku bila setiap hari dimanjakan dan disanjung olehnya. Ken bilang dia membeli rumah di atas bukit dengan membayangkan diriku sebagai istri, so sweet …Ketika aku membayangkan merebahkan kepala di dadanya, bayangan perempuan itu muncul dan aku merasa jijik… Mungkin karena terlalu lelah aku pun tertidur, seperti masuk ke dalam lubang gelap dan dingin dimana terdengar suara suara yang bergema. Mula-mula kudengar suara bening mseperti suara air yang meletup di antara minyak goreng yang memanas di dalam kuali, tetapi bunyinya nyaring dan bergema. Suara itu segera tertimpa oleh suara-suara teriakan yang semakin keras … dan namaku disebut. Laura!!!

Aku bangkit duduk dengan bingung, lalu segera sadar sedang berada di rumah Richard. Suara teriakan tadi adalah suara Richard dan yang memanggil namaku dengan L tebal adalah Kenny.

Richard dan Kenny saling berteriak, kata-kata mereka tidak jelas kecuali penyebutan namaku.

"Binatang lebih baik dari engkau!" kali ini jelas kudengar teriakan Richard.

"Tahu apa kamu?" jawab Kenny.

"Aku tahu perilakumu. Tianda yang bisa engkau sembunyikan. Sejak Marina, juga perempuan-perempuan lain. Kupikir jika engkau bersama Laura lagi semua akan berhenti… rupanya kamu memang bejat, bikin malu keluarga!" kata-kata Richard meninggi di bagian akhir, lalu kudengar suara gedabak-gedebuk, perabut kayu tergeser dan teriakan Adriana yang menjerit-jerit.

Seketika aku melompat turun dari tempat tidur dan menghambur keluar kamar.

"Ken, jangan!!!" seruku ketika melihat Kenny meraih vas bunga untuk dilempar ke Richard. Namun terlambat karena vas itu sudah melayang. Richard berhasil mengelak dengan berjongkok, tetapi Adriana berdiri di belakangnya, wajahnya terkena hantaman vas keramik dan dia jatuh terjengkang tubuhnya terbentur buffet .

"Dri…" aku berlari dan berjongkok di depan Adriana yang duduk terkulai sambil memegang wajahnya, sedangkan vas bunga pecah, tergeletak di samping kiri.

"Sayangku, Ma…" Richard memeluk istrinya. Darah mengucur dari kenang Adriana.

"Mari ke dokter…" kataku dengan gemetar.

Richard menggendong Adriana dibantu Kenny sedangkan aku meraih kunci mobil Richard yang tadi kulihat diletakkan di sebuah mangkuk kayu di atas buffet.

Aku membuka pintu mobil ketika kedua laki-laki itu memasukkan Adriana ke bangku belakang. Dia pingsan.

"Aku yang bersamanya di belakang."

Richard segera duduk di belakang kemudi dan menghidupkan mesin. Matanya menatap tajam ke Kenny.

"Awas kalau istriku kenapa-napa." Katanya.

"Be calm… Rick" kataku. Aku saja yang memanggil dia seperti itu. Orang lain kebanyakan memanggilnya dengan sebutan Icad.

Kenny membisu dan menatap kami berganti-ganti, tetapi aku tidak memperdulikannya.

"Kemana kita?" tanya Richard. Dia pasti bingung.

"IGD rumah sakit. Kamu tahu jalannya, just go…go…go!"

Aku meraih tisu banyak banyak dan melipatnya lalu menekan luka di kening Adriana. Dia mengerang dan mulai sadar.

Perjalanan ke rumah sakit hanya sekitar 10 menit tetapi terasa lama. Darah yang mengucur dari luka di kening Adriana telah membasahi wajah dan dadanya, juga dadaku. Siapa yang peduli. Perhatianku hanya pada keselamatan perempuan di dalam pelukanku.

Tiba di IGD petugas dengan sigap memberi pertolongan dan membawa Adriana ke dalam untuk perawatan. Richard menemaninya. Aku duduk di ruang tunggu. Tidak lama kemudian Kenny masuk dan duduk di sebelahku. Kami sama-sama membisu.

"Aku tidak bermaksud melukainya." Kata Kenny.

Kutatap matanya. Kenny terasa semakin asing bagiku.

"Kadang maksud kita bisa berbeda dengan perbuatan, terutama apabila dilakukan dalam saat emosional," jawabku.

Kenny mengembuskan nafas yang terdengar berat. Dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sapu tangan. Dengan lembut dia mengusap bekas darah Adriana yang bercampur keringat di pipi kanan dan leherku.

Aku mengelak.

"La…"

Wajahku berpaling darinya. Aku tidak ingin melihat mata elang Kenny, sebab mata itu selalu bisa menyihirku.

"We need to talk." Katanya lagi.

"Pasti, setelah Adriana selesai dirawat, kita akan bicara."

"Please, jangan sinis begitu."

Aku tertawa sumbang, kalau tidak bisa menjaga emosi pasti aku sudah melayangkan tinju ke wajahnya, wajkah yang dulu kukagumi, keningnya, hidungnya, bibirnya bahkan lekuk di lehernya… oh…

Banyak yang ingin kukatakan tetapi aku memilih untuk diam dan berpikir baik-baik sebelum berbicara.

Kenny belum sekalipun mengakui bersalah. Dia terlihat tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Aku mulai menata hatiku untuk melepaskannya bila dia memilih perempuan itu, tepat seperti ketika aku melepas Ken untuk Marina.

"Laura, I adore you…" suaranya pelan, diucapkan sambil menunduk.

Aku merasa tidak nyaman dan berdiri. Pada saat itu kulihat dr. Hardy keluar dari dalam salah satu ruang.

"Hey, mengapa di sini? Apa yang terjadi?" dia mendekat dan tanpa diduga tangannya merangkul pundakku dan dia mencium pipi kiriku.

"Long time not see." Katanya.

Aku melepaskan diri dari pelukannya dan merasa semakin tidak nyaman mengingat kiriman-kiriman bunga dan kue darinya.

"Kukira kamu di Belanda, siapa yang sakit?" mata Hardy beralih ke Kenny.

"Ehmmm Adriana, istri Richard." Kataku sambil menunjuk ke ruang perawatan IGD.

Kulihat Hardy terus menatap Kenny.

"Kalian sudah saling kenal bukan?"

Kenny berdiri sambil mengangguk. Dia menjajariku dan meletakkan lengan di atas pundakku.

Wuiiihhh aku merasa bagaikan boneka yang diperebutkan oleh kanak-kanak.

"Apa kabar? Dokter kenal Laura, tunanganku?" sapa Kenny kepada Hardy.

"Ya… tentu aku kenal, Laura tahu bagaimana perasaanku terhadapnya."

Hmm perebutan di mulai.

"Maaf, boleh aku masuk melihat pasien?" kataku menyela, namun kurasakan tangan Kenny mencengkeram bahuku.

"Kita tunggu di sini, sudah ada Richard, ruangnya sempit nanti mengganggu kerja dokter." Suara Kenny lembut dan terdengar bijaksana. Dia membimbingku untuk duduk kembali.

"Aku akan lihat pasiennya." Kata Hardy sambil meninggalkan kami.

Kembali aku memalingkan wajahku.

"Laura… jangan menghindar begini." Kata Kenny.

"Bisakah kita duduk diam?"

"Ini sudah diam."

"Maksudku, turunkan tanganmu dari pundakku."

"Tidak."

Terpaksa aku mendiamkannya.

Tidak lama kemudian Hardy menghampiri kami lagi.

"Apa yang terjadi ? bagaimana dia bisa terluka seperti itu?" Hardy bertanya.

"Jatuh." Kataku.

"Bila ada KDRT jangan ditutupi." Kata Hardy dengan sorot mata yang tajam.

Aku terperangah mendengar pertanyaannya. Kenny mendukung kebohonganku, tentu saja.

"Cederanya aneh, kalau dia jatuh terjengkang, ada luka di keningnya, kalau dia jatuh tertelungkup, mengapa punggungnya juga terluka?" Hardy mempertegas ketidak percayaannya terhadap keterangan kami.

"Aku… aku tidak melihat langsung." Kataku berbohong.

Kenny melirik kepadaku.

***