Semesta alam seperti mendukung, cuaca hari ini sedikit hangat dibandingkan beberapa hari terakhir. Suhu udara diramalkan sekitar 26-18 derajat. Pagi-pagi ada matahari yang bersinar lembut.
Ibu dan aku naik taksi menuju dermaga untuk bertemu dengan Jan dan Clemence. Di sepanjang jalan aku memperhatikan bunga-bunga liar dan gulma dengan beberapa bunga yang menurutku terlihat cantik. Aku ingin membelikan ibu dan Clemence buket bunga. Mungkin nanti siang bisa kulakukan, bila di dekat tempat makan siang ada toko bunga. Kurasa tidak akan sulit menemukan toko bunga seperti yang kumaksudkan.
Kami tiba di dermaga 10 menit sebelum waktu yang dijanjikan, tetapi Jan dan Clemence juga sudah di tempat.
Kami saling menyapa dan mencium pipi, seperti lama tidak berjumpa meskipun baru tadi malam berpisah.
Clemence menghadiahiku sebuah topi floppy wool berwarna merah anggur. Topi itu sungguh indah dan aku sangat menyukainya.
"Pakailah, kebetulan cocok dengan jaketmu yang berwarna beige," kata Clemence.
Aku melepas topi rajut, bucket hat buatan Eric, memasukkannya ke dalam tas punggung serta memakai topi pemberian Clemence.
"Ah… kamu sangat menawan." Kata Celemnce.
Dia mengajak kami berfoto bersama di depan dermaga berlatar kanal dan kapal-kapal yang sudah sibuk mengangkut wisatawan.
Di seberang terlihat jendela kaca gedung-degung tinggi yang memantulkan cahaya matahari, sedangkan langit berwarna biru cerah dengan awan-awan putih yang berarak.
"Cuaca yang bagus, kita bisa mendapat foto-foto yang cerah," kata ibu.
Jan membeli tiket untuk kami, jadwalnya 15 menit lagi, sehingga kami berbincang-bincang dan berfoto sambil menanti kapal kami.
Tiba-tiba handphoneku berbunyi, ada pesan yang masuk. Aku membukanya dan melihat pesan dari Eric. Dia mengirim foto kami di dermaga dengan acungan jempol.
"Laura, kamu terlihat manis dengan topi baru itu. Selamat pesiar dan bersenang-senang. Bagaimana kabar papiku dan ibumu?"
Seseorang telah mengirim foto tersebut kepada Eric, bisa Jan atau mungkin Clemence.
"Terima kasih Eric. Bagaimana kesibukanmu? Kapan balik ke Amsterdam?" aku membalasnya tetapi Eric tidak segera membalas kembali, maka aku menyimpan handphone ke dalam tas.
Dia menanyakan kabar Jan dan ibu yang membuatku teringat akan permintaan Eric untuk mendukung dia memisahkan mereka.
Kulihat Jan yang meskipun berusia 62 tahun , laki-laki ini tertlihat menarik, energik dan penampilannya yang maskulin membuat dia semakin menawan. Pantaslah bila ibu tertarik kepadanya, apalagi Jan selalu memperhatikan ibu dan memberi pertolongan sebelum ibu meminta.
Jan memegang tangan ibu saat akan masuk ke kapal, mengelap bangku yang basah terciprat air sehihgga ibu bisa duduk di bangku kering. Aku memperhatikan mereka dengan rasa cemburu akan kemesraan mereka.
Clemence duduk di sebelahku, di belakang Jan dan ibu.
"Apakah kamu mengirim foto tadi ke Eric? Dia mengomentari topi pemberianmu." Tanyaku kepada Clemence. Meskipun topi wool ini nyaman dan cantik, tapi aku merasa kehilangan Eric. Memakai topi buatannya serasa Eric bersamaku, seperti Jan yang ada di dekat ibu.
"Dari mana kamu tahu?" Clemence mencondongkan tubuhnya sambil mengedipkan mata kirinya.
"Dia mengirim pesan," kataku.
Clemence mengangguk angguk dan telunjuknya digerakkan.
"I shoud know."
"Yes you know."
Aku tertawa membayangkan Eric. Pada saat seperti ini rasanya menyenangkan mengenang kembali saat kami bersama-sama makan malam juga ketika Eric merawat luka di dahiku, di pahaku, bahkan saat dia sinis membentakku ketika aku menangis di halaman rumah Jan setelah membuka email berisi foto-foto Kenny.
Eric dan Kenny terbayang bergantian, dua pria di dalam hatiku.
Kapal bergerak melawan arus sementara pelantang suara menjelaskan jalur-jalur yang kami lewati dalam tiga bahasa bergantian yaitu bahasa Inggris, Belanda dan bahasa Mandarin. Jan berbisik – bisik pada ibu sedangkan Clemence memeluk bahuku dengan membisu. Aku memandang air kanal yang bergerak seperti menghampiri kami, dan buih-buih putih di buritan menciptakan riak-riak air. Air yang terbelah dan diaduk baling-baling mesin kapal adalah jejak kami yang segera menghilang tanpa bekas. Hatiku terasa terhimpit antara Kenny dan Eric, antara tanggungjawab dan kesetiaan dengan keinginan-keinginan liar yang baru muncul tanpa bisa kucegah.
"Clemence…"
"Ya…"
"Apa yang harus kulakukan saat berada di persimpangan jalan?"
"Dengarkan suara hatimu dan pikirkan keinginanmu, abaikan yang lain."
Aku menengadah, pada langit biru, pada puncak-puncak Menara bangunan kuno yang berada di sepanjang jalan… kemana hatiku bergerak?
"Aku takut mengambil arah yang salah."
Clemence menatapku lama tetapi dia tidak memberikan komentar, seakan dia membiarkan aku menemukan jawabannya sendiri.
Setelah menyusuri kanal Jan dan Clemence menawari kami untuk memilih salah satu museum yang dapat kami kunjungi sebelum makan siang. Ibu memilih Museum Anne Frank, aku memilih museum Van Gogh, tetapi antrian di dua tempat itu cukup panjang, kemungkinan kami baru mendapat tiket ketika tiba waktu makan siang sehingga kami membatalkannya.
Clemence mengajak kami berjalan kaki melihat-lihat lingkungan sekitar dan dia menceritakan semua tempat menarik yang kami lewati. Aku menemukan toko bunga dan singgah sebentar untuk membeli bunga lily dan mawar bagi ibu dan Clemence.
Pada saat penjual bunga merangkaikan pesananku, tiba-tiba aku ingin memberi bunga pada Jan, untuk menghormati kebaikannya.
"Apakah layak untuk memberi bunga kepada pria?" tanyaku kepada penjual bunga.
"Sure, pria juga suka kok diberi bunga, asal tahu memilih bunga yang maskulin." Katanya.
Aku tersenyum dan meminta dia membuatkan satu rangkaian kecil bunga untuk laki-laki.
Ada juga ya bunga yang maskulin? jenis dan warnanya.
"Apakah kamu jatuh cinta kepadanya?"
"No. Ini bunga untuk calon ayahku. Ummm maksudku laki-laki ini akan menikahi ibuku."
Kurasa hal semacam ini tidak asing baginya. Dia mengangguk dan menyarankan aku memilih anthurium warna merah dan putih yang dipadukan dengan sansiveira.
"Saya pikir akan baik bila bunga hidup, bukan bunga potong, sehingga dia bisa merawatnya untuk beberapa waktu." Kataku.
Penjual iu menunjukkan satu pot anthurium merah. Aku menyetujuinya dan dia membungkusnya dengan kertas putih dan pita biru.
"Wow, sangat Belanda dan maskulin." Kataku puas.
Dua buket bunga lily dan satu pot anthurium merah kubawa dan kuberikan kepada tiga orang yang menungguku sambil minum kopi kalengan.
"Oh how sweet of you Laura," kata Clemence.
"Thanks Lou, saya akan meletakkannya di jendela," kata Jan dengan senyum yang lebar.
"Oh saya suka jendela rumah-rumah Belanda, banyak pajangan menarik. Terima kasih Jan." "Sebenarnya Eric yang suka merawat tanaman, seperti ibunya." Kata Jan.
Kami terdiam mendengarnya.
"Kapan anak itu balik? Aku semakin menyukainya," kata ibu. Oh… kalau ibu tahu…
"Terus terang aku tidak tahu."
"Hei… bagaimana bila kita yang pergi ke Belgia? Cuma sebentar naik kereta kita bia berangkat pagi dan pulang malam," kata Clemence.
"Mari kita pikirkan," kata ibu.
Kami memasuki rumah makan untuk santap siang. Gagasan mengunjungi Eric menjadi topik yang menarik yang kami perbincangkan sepanjang waktu makan, bahkan ketika kami melanjutkan perjalanan ke pasar. Akhirnya kami bersepakat.
Keesokan pagi kami sudah duduk di dalam kereta menuju Belgia. Perjalanan kami tempuh kurang dari empat jam.
"Eric, kamu menginap di hotel mana? Apakah siang ini bisa kutemui?" tanya Clemence melalui telepon saat kereta hampir masuk ke kota Brussel. Clemence mengatakan bahwa dia seorang diri pergi ke Brussel dan akan memesan kamar di hotel yang sama dengan Eric. Kami sengaja akan memberi kejutan kepada Eric.
Jan mengajak kami menikmati bir dan coklat pada siang itu dan akan masuk ke hotel menjelang sore, saat Eric mendapat waktu istirahat sebelum kembali ke ruang konferensi untuk sesi malam.
Sebagai penggemar coklat, tempat yang dipilih oleh Jan sungguh membuatku lupa segala-galanya. Coklatnya enak banget, dan dengan minum segelas bir, menjadi kombinasi yang unik.
Kami sudah agak lelah sebenarnya ketika tiba di hotel.
"Laura, bagaimana bila kita menginap sekamar supaya bis ngobrol lama?" tanya Clemence.
"No problem."
Jadilah kami tidur sekamar dengan pintu penghubung ke kamar ibu. Jan ada di seberang kami. Dengan otaknya yang penuh akal, Clemence berhasil menempatkan kami satu lantai dengan kamar Eric. Kami akan memberinya kejutan sebentar lagi.
Kami memasukkan barang-barang ke kamar dan Clemence mencari tahu keberadaan Eric dengan meneleponnya.
"Eric, saya sudah di dalam taksi menuju hotel, kamu di mana?" tanya Clemence.
"Hi Clem, aku di kamar hingga pukul 18.30," kata Eric. Mendengar suara Eric dadaku berdebar-debar… kemana pilihan hatiku, Eric atau Kenny? Bagaimana dengan janjiku kepada Kenny? Seakan-akan aku berdiri di simpang tiga dan langkahku terhenti.
"Yuk… kita ketuk kamarnya." Clemence membuka pintu kamar kami dan keluar.
Eric berada di kamar 7018.
"Room service." Kata Clemence sambil membunyikan bel pintu kamar Eric.
Terdengar suara bergumam kemudian langkah kaki mendekati pintu.
"Siapa ya?" terdengar suara perempuan dari dalam. Clemence dan aku saling memandang.
"Room service." Jawab Clemence lagi.
Pintu dibuka dan seorang perempuan muda bertelanjang kaki berdiri di hadapan kami.
"Eh… mungkin kami salah … maf…" kata Clemence. Kami akan meninggalkan tempat ketika pintu kamar mandi terbuka dan Eric keluar dari tempat itu dengan bersarung handuk. Tubuh bagian atas terbuka.
Dia terlihat kaget memandang kami berdua.
"Clem, Laura?" katanya.
Perempuan muda itu membalikkan badan dan duduk di sofa dengan mengangkat kakinya.
"Okay…jadi kalian datang berdua? Umm silakan masuk." Kata Eric. Rambutnya basah, titik air meneter ke wajah dan tubuhnya. Eric merapatkan handuk di pinggulnya.
Aku terpaku menatapnya. Perasaanku kacau karena aku tidak membayangkan akan melihat Eric dalam keadaan seperti ini dan ada perempuan di kamarnya. Tampaknya Clemence juga kaget.
"Er.. kami akan menunggumu di kamar, kalau kamu tidak sibuk kita makan malam bersama. Kami ada di seberang, 7015." Kata Clemence sambil membasahi bibirnya. Dia menarik tanganku dan kami membalikkan badan meninggalkan kamar Eric.
"Okay. Aku berpakaian dulu." Kata Eric. Suara pintu kamarnya ditutup.
Tiba di kamar kami, Clemence mengepalkan kedua tangannya. Dia terlihat gugup sedangkan aku merasa mulutku terkunci.
"Ya… dia pria dewasa…" kata Clemence pada akhirnya.
***