" Kapan kita bisa bertemu kembali?" aku membalasnya.
"Kamu belum menjawab, mengapa kemarin tidak mau melihat mataku?"
Aku tidak bisa menjawabnya.
Tidak mungkin kukatakan kepadanya bahwa aku kecewa melihat dia bersama perempuan lain. Jangankan mengatakannya kepada Eric, mengakui isi hatiku untuk diri sendiri saja aku tidak berani. Aku menginginkan perhatian dari Eric dan aku kecewa ketika tahu bahwa dia memiliki perempuan lain yang patut mendapat perhatian darinya. Apakah perasaanku ini benar atau salah aku tidak mempertanyakannya melainkan aku malu dan marah pada diriku sendiri. Aku meganggap diriku juga tidak setia kepada Kenny dengan perasaan ingin mendapat perhatian dari Eric.
Aku ingin menghapus keinginanku tersebut dan merebut kembali perhatian Kenny. Sekarang mungkin ada perempuan lain bersama Kenny, mungkin karena aku jauh dan kurang memperhatikan Kenny. Persoalan yang sama dengan ketika Marina merebut Kenny dariku. Ini juga salahku, bukan hanya Kenny yang kesepian atau Marina yang menggoda.
Aku akan menikah dengan Kenny, maka aku harus mempertahankannya dan sekaligus juga melupakan laki-laki lain.
"Mungkin kebetulan saja, tidak ada apa apa kok." Balasku kepada Eric. Aku berharap Eric percaya pada jawabanku.
"Lalu kenapa kemarin kamu menghindar dan tidak berpamitan padaku?" dia masih juga memprotes.
Kukatakan kepadanya bahwa aku tidak ingin mengganggunya sebab aku berangkat pagi-pagi. Cukup lama kami ngobrol virtual sampai suasana kembali cair dan Eric berjanji akan menyenangkan ibu selama sisa masa tinggalnya di Belanda.
"Danke, Broer, aku akan masuk pesawat sebentar lagi."
"Safe flight Laura, berkabarlah setelah mendarat." Itu pesan terakhir yang kuterima sebelum masuk ke pesawat.
Selama perjalanan aku mencoba tidak memikirkan orang-orang di sekitarku, tidak Eric juga tidak Kenny. Aku ingin tidur dan makan saja di pesawat. Namun tentu saja usaha ini tidak sepenuhnya berhasil. Mengendalikan pikiran gampang-gampang susah, pikiran yang ingin dijauhi malahan datang terus.
Aku membuka laptop dan mencoba membuat catatan. Aku harus bisa menerima fakta yang terjadi. Aku menulisnya, persoalan pertama adalah Kenny yang tidak setia. Kutulis di bagian tersebut bahwa aku akan menemui Kenny secara langsung dan menyelesaikannya. Apakah aku bisa menerima permintaan maaf dari Kenny lagi atau aku meninggalkannya? Aku menandai bagian tersebut dan mengingat kata-kata Tati maupun Clemence.
Persoalan berikutnya adalah tentang hubunganku dengan Eric. Dia adalah calon anak tiri ibuku. Hubungan kami dikaitkan dengan pernikahan antara Jan, ayahnya dan Silvia, ibuku. Aku sadar telah tertarik kepadanya dan meskipun aku sedang menjalin hubungan dengan Kenny, tetapi aku juga menginginkan hubungan yang khusus dengan Eric. Nama Eric kuberi tanda silang. Aku harus mengelola perasaanku kepadanya. Aku harus menutup semua kemungkinan untuk membayangkan hubungan lebih dari hubungan kekerabatan karena pernikahan orang tua kami. Sikap ini harus kutunjukkan dengan tegas. Bila aku bisa menutup kemungkinan-kemungkinan lain, maka aku tidak perlu cemas lagi.
Tiba-tiba aku menjadi ingin tahu, apakah seorang istri bisa jatuh cinta kepada pria lain selain suaminya? Bagaimana para istri mengatasi perasaan seperti itu? Apakah aku bisa bertanya kepada Farina atau Adriana?
Uhhhh…
Kututup laptop lalu aku berjalan di dalam pesawat, keliling Lorong di kanan tempatku duduk, ke belakang dan berputar ke Lorong kiri, kembali ke belakang, masuk ke toilet, lalu keluar dan melakukan peregangan. Seorang pria jangkung juga menggerakkan tubuhnya, meregangkan otot-otot. Tubuhnya atletis, rambut panjang diikat dan punggung tangannya bertattoo mandala.
"Long journey… huh…" dia berkata.
"Yup."
"Drink more water." Dia memberi saran.
"Okay, thanks."
Aku melambai kepadanya dan berjalan kembali ke tempat dudukku. Mujur aku duduk di Lorong sehingga tidak merepotkan penumpang di sebelah setiap aku ke toilet atau berjalan-jalan. Penerbangan 17 jam aku perlu bergerak agar tidak pegal dan kaku.
Pada saat pesawat mendarat hari sudah larut, tetapi aku akan melanjutkan penerbangan dini hari ke Pulau Bunga, sehingga aku memutuskan menyewa kamar di airport hotel.
Aku tidak memberi kabar kepada Kenny sebab ingin memberi kejutan kepadanya.
Kutepati janji kepada Eric dengan mengirim pesan yang mengabarkan aku telah mendarat dengan selamat. Pesan yang sama juga kukirim kepada Ibu, Clemence dan Tati.
Berbaring di Kasur terasa menyenangkan setelah 17 jam duduk di kursi pesawat. Aku segera terlelap dan bangun setelah alarm berbunyi.
Penerbangan ke Pulau Bunga hanya memerlukan waktu tiga jam, sehingga aku mendarat pagi-pagi ketika sebagian orang mungkin belum terbangun dari tidurnya. Aku memesan taksi menuju rumah Kenny dan mengirim pesan kepada Adriana.
"Hai Adriana, sebentar siang apa bisa makan di tempatmu."
Lalu satu pesan kepada Kenny.
"Hai Ken, apakah kamu sibuk? Bisa kuganggu?"
Kedua pesan belum terbaca dan kuduga mereka masih sibuk dengan rutinitas pagi, mungkin sedang mandi, menyiapkan makan pagi atau bahkan baru bangun. Ken mungkin sedang menyuap mama.
Sekarang hari Sabtu, Kenny pasti libur tidak mengajar. Aku membayangkan akan membuatnya terkejut, demikian pula mama.
Matahari pagi bersinar terang dan lalu Lalang kendaraan di kota Pulau Bunga menggembirakan hatiku. Kota yang romantic dan selalu mempesonaku.
Balasan dari Kenny masuk.
"Laura… aku sedang menikmati pemandangan ke laut, di rumah bukit. Andaikan kamu bersamaku saat ini." Tulisnya.
"Aku akan senang bila segera bisa bersama mu di tempat itu. Tunggulah aku." Balasku sambil tertawa sendiri membayangkan bahwa sebentar lagi aku akan bersamanya di rumah putih di atas bukit, yang kata Kenny dibelinya dengan seluruh uang tabungan sebagai tanda cinta kepadaku.
"Okay Honey, aku menunggumu. Ahhh… Honey…"
Hmmm Kenny… pikirku.
Aku meminta taksi mengubah arah ke rumah bukit dan berdebar-debar untuk membayangkan pertemuan dengan Kenny.
Sekitar 20 menit kemudian taksi berhenti di tepi jalan dan kuminta sopir membantuku mengangkat kopor ke depan pintu, sebab koporku cukup berat. Setelah membayar aku mendekati pintu dan akan mengetuknya ketika kulihat pintu sedikit terbuka. Aku mendorongnya dan pintu terbuka.
Kenny pasti ada di dalam kamar tidur, sebab tidak ada di ruang utama maupun dapur yang semuanya menyatu menjadi satu ruang besar.
Kudengar suara orang dari arah kamar saat aku berjalan mendekat. Tetapi suara yang aneh, suara perempuan dan laki-laki…ah… dadaku berdebar kencang ketika mendengar suara-suara itu. Langkahku terhenti di depan pintu. Suara erangan dan desahan semakin terdengar jelas, juga suara perempuan menyebut nama Kenny. Kupingku terasa panas dan tubuhku terpaku di tempat. Taksi yang kutumpangi baru saja memutar dan menuruni bukit. Aku ingin berbalik dan mengejarnya, namun tiba-tiba teleponku berdering lantang. Telepon itu di dalam tas dan aku menjadi panik berlari keluar sambil merogoh tas untuk mengambil telepon.
"Hello Laura, kamu di mana?" Suara Adriana terdengar bersemangat saat aku menekan tombol menerima panggilannya.
"A… aku… aku… maukah kamu menjemputku… aku ada di … di…" belum selesai aku menjawab, Kenny berdiri di sampingku.
"Laura?"
Dia bertelanjang dada, hanya memakai celana pendek.
"Kenapa tidak bilang kalau mau datang?" seru Kenny.
"Laura…Laura… kamu di mana?" seru Adriana.
"Jemput aku di rumah bukit hmm rumah Kenny yang baru. Aku tunggu, segera ya."
Aku mematikan telepom dan memandang pada Kenny.
"Aku tidak bermaksud seperti ini… aku ingin memberi kejutan… kukira kamu suka." Kataku.
Kenny mengangkat kedua bahunya dan kedua tangannya terbuka.
"Ayo masuk."
"No."
Kami berpandangan. Oh betapa aku membenci situasi ini.
"Masuk dulu, kita bicara."
"No... no... o big NO!" aku sedikit panik.
Tadi aku membayangkan akan segera berlari untuk memeluknya dan mendapatkan ciuman darinya, namun sekarang semua keinginan itu hilang, aku bahkan tidak ingin masuk ke dalam rumah ini. Rumah yang pernah kuimpikan.
Mata itu, mata elang yang pernah kukagumi, sekarang terasa bagaikan mata api yang panas membakar. Aku tidak bisa menangis karena terlalu marah dan sakit hati.
Seorang perempuan keluar dari dalam, mengenakan mantel mandi.
"Kenny, ada tamu?" dia tersenyum manis. Perempuan di dalam foto – foto itu.
"We need to talk." Kata Kenny kepadaku.
"Sudah jelas semua. Seterang matahari itu." Kataku melihat matahari yang mulai terasa panas.
Perempuan itu mendekat dan menempelkan tubuhnya kepada Kenny.
"Minum kopi dulu Laura…" kata Kenny.
"Thanks. Aku menunggu Adriana di sini saja." Aku duduk di kursi teras, memandang ke sekeliling melihat beberapa tanaman baru pot-pot tanaman seperti yang kuinginkan.
Oh aku tidak akan menjadi nyonya di rumah ini. Persetan dengan konsep rumah yang pernah Kenny katakana kepadaku. Dadaku seperti tertusuk pisau bertubi-tubi. Betapa bodohnya aku... mengalami peristiwa yang sama. Cincin di jari manisku terasa menyakitkan. Sudah hampir tujuh tahun aku memakainya sejak pertama kali Kenny memasangnya di situ.
Mobil Richard tiba. Dia terlihat gusar dan mendekatiku.
"Boleh ke rumahmu?" tanyaku.
"Tentu saja." Mata Richard memandang ke Kenny dan perempuan di sampingnya.
Aku menunjuk koporku dan berjalan ke mobilnya tanpa berpamitan. Richard memasukkan kopor ke bagasi lalu memutar untuk masuk ke belakang kemudi sementara aku sudah duduk di kursi penumpang.
"Laura… aku perlu bicara denganmu." Seru Kenny, berdiri di samping pintu mobil. Perempuan itu tersenyum menggoda, berdiri di belakangnya.
"Datang ke tempatku." Kata Richard sambil menutup pintu mobil dan kami meninggalkan tempat itu.
Aku memalingkan wajah ke laut di bawah, yang debur ombaknya terdengar gemuruh. Cuaca berangin pagi ini. Kupejamkan mata... wajah Kenny terbayang.
"I am on your side." Richard menepuk pundakku.
Aku hanya mengangguk, tenggorokanku terasa tersumbat. Tidak bisa kupercaya bahwa Richard adalah adik Kenny yang dulu sangat ingin menjodohkanku dengan kakaknya. Aku merasa kehilangan semuanya., cinta dan harapan.
"Terima kasih Richard, untuk kebaikanmu."