Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 62 - Merindu senyummu

Chapter 62 - Merindu senyummu

Aku terbangun dengan bingung. Oh aku di kamar hotel di Brussel, dikelilingi ibu, Jan, Clemence dan Eric. Apa yang terjadi? Kenny… telepon Richard. Semua kejadian sekilas membuatku sadar.

Ibu menyodorkan teh hangat.

"Minumlah." Katanya sambil menyorongkan gelas ke dekat bibirku. Aku menyeruput sedikit dan berhenti karena rasa manis.

"Terlalu manis." Kataku sambil mendorong gelas teh menjauh dariku.

"Sedikit lagi." Ibu membujuk dan kembali mendekatkan gelas. Aku menurutinya. Otakku masih lambat berpikir, tetapi aku merasa kurang nyaman dikelilingi orang banyak seperti ini.

"Aku ingin tidur." Kataku sambil berbaring dan memejamkan mata. Aku merasa mata-mata mereka pasti sedang melihatku.

"syukurlah kalau kamu sudah baik." Kata ibu sambil menyelimutiku.

"Clem, kamu tahu bagaimana mencariku, jika diperlukan." Suara Eric. Lalu kudengar langkah-langkah menjauh, pintu dibuka dan pintu ditutup. Eric, ibu dan Jan meninggalkan kamar kami.

Clemence kembali, terdengar dia membereskan kamar, menarik kursi lalu mematikan lampu-lampu kecuali lampu kamar mandi.

"Laura, bila kamu perlu sesuatu jangan segan meminta. Aku di sebelah." Katanya sambil naik ke tempat tidur di sebelahku.

"Thanks Clem." Jawabku.

Satu jam kemudian Clemence memanggilku.

"Laura, apa kamu mau bercerita?"

"Hmmm" aku tidak tahu harus berkata apa. Clemence menyalakan lampu di atas kepalanya.

"Mungkin bisa sedikit meringankan pikiranmu. Aku ingin membantu." Katanya sambil memandangku. Sinar lampu yang temaram, menyinari rambut coklatnya yang kemerah-merahan. Wajah Clemence terlihat cemas.

"Kamu baik sekali, aku terharu."

"Lalu? apa yang terjadi."

"Tunanganku, mungkin berkhianat… lagi."

Clemence pindah ke tempat tidurku, duduk di dekat kaki dan tangannya memegang kakiku.

"Laura… masih suatu kemungkinan? Kamu perlu memastikan dan mencegahnya."

"Begitu kurasa."

"Tetapi apakah dia cukup bernilai untuk kamu pertahankan? Seseorang yang pernah berkhianat, tidak setia, dia akan mudah mengulanginya."

Kami berdiam diri, sunyi, hanya suara angin di luar dan bunyi AC.

"Mengapa Eric tadi datang?" tanya Clemence.

"Tidak tahu, belum sempat bicara."

Clemence kembali ke tempat tidurnya dan menyelimuti dirinya dengan rapi, lalu membelakangiku. Tidur menghadap tembok.

"Laura, bila terbukti ada perempuan lain apa yang akan kamu lakukan?" tanya Clemence dengan tanpa mengubah posisi tidurnya.

"Belum tahu."

"Okay… pikirkan besok, sekarang ayo tidur." Kata Clemence lalu mematikan lampu.

Aku juga bertanya di dalam hati, mengapa tadi Eric datang.

Keesokan pagi aku sudah membuat keputusan.

Kutemui ibu dan kukatakan bahwa aku akan pulang lebih awal dengan mengubah jadwal tiketku.

"Sebenarnya apa yang terjadi?"

"Ini yang harus kupastikan, aku perlu bertemu Kenny secepatnya." Kataku

"Ibu tidak keberatan jika aku pulang dulu?"

"Kapan?"

"Secepat bisa dapat tiketnya."

"Okay. Tidak masalah. Mengapa Kenny? ada masalah?"

"Terima kasih, ibu selalu memahamiku. Aku akan mencari tahu." Kupeluk ibu erat-erat.

"Kali ini aku harus menghadapi dan menyelesaikannya, aku tidak ingin seperti yang dulu."

Ibu memelukku lebih erat dan mengatakan akan selalu berdoa untukku.

Pagi itu juga aku kembali ke Amsterdam untuk mengemasi barang di hotel dan terbang pulang keesokannya . Aku tidak berpamitan kepada siapa pundi Brussel kecuali ibu.

Kepada Clemence yang pergi makan pagi bersama Eric aku meninggalkan pesan tertulis di kamar.

"Maaf, keadaan darurat, aku pamit dulu. Sampai jumpa pada kesempatan lain. I love you Clem."

Aku meminta ibu menyampaikan salamku untuk Jan dan Eric disertai ucapan terima kasih untuk semua kebaikan yang sudah mereka lakukan.

Di dalam kereta yang membawaku ke Amsterdam aku sengaja mematikan telepon sebab tidak ingin berkomunikasi dengan mereka. Aku membaca buku untuk merintang waktu.

Dari kamar hotel di Amsterdam aku berpamitan pada Tati dan Jansen.

Aku berusaha tidur cepat sebab esok pagi-pagi harus ke airport. Semua perlengkapan yang akan kubawa sudah siap dan aku sudah meminta "morning call" dari hotel, meskipun juga memasang alarm di HP. Lebih baik memastikan ada yang membangunkanku.

Aku cepat tertidur, tetapi tiba-tiba ada telepon masuk melalui telepopn hotel.

"Ma'am, ada yang menelpon dari Brussel, apakah Anda akan menerima? " suara respsionis bertanya.

Aku tidak berpikir panjang saat menjawab "bisa" karena dalam bayanganku adalah Ibu atau Celemence yang menelepon.

"Laura, mengapa kamu pergi cepat-cepat? Bahkan tidak berpamitan padaku?" suara Eric di seberang.

"Um Maaf Eric, pikiranku sedang tidak utuh, jadi aku tidak berpikir panjang." Jawabku. Sikap pemarah Eric muncul lagi dan dia memprotesku.

"Kupikir aku mengenalmu dan kamu menganggapku penting, tapi ternyata bahkan kamu tidak memikirkan aku." Kata Eric membuatku tertegun. Suaranya merajuk.

"Aduh… maaf, aku sedang tidak bisa banyak berpikir."

"Waktu makan malam kenapa kamu menghindar dariku?"

"Menghindar?"

"Laura aku bukan anak kecil, kamu tidak mau menatapku." Eric terlihat tidak sabar.

Oalaaaa... apa sebenarnya yang dirasakan Eric? aku menghindari karena kecewa dia bersama perempuan lain. Apa aku harus mengatakannya?

"Umm... aku... aku..."

"Laura..."

"Aku akan bicara padamu pada lain kesempatan. Aku sedang tidak minat bercakap-cakap. Maaf bila terdengar kasar, bye Eric."

Aku menutup telepon tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk memprotes.

Mengapa aku harus peduli kepada pria yang baru kukenal 10 hari? Anak dari orang yang akan menjadi ayah tiriku.

Aku jengkel terhadap Eric.

Rasa jengkel itu pula mungkin yang membuat Eric hadir kembali di dalam mimpiku.

Kali ini dia mendekat sambil tersenyum amat manis, lalu memejamkan mata dengan mencondongkan kepala seakan minta dicium. Dia begitu dekat untuk dipeluk, tetapi tiba-tiba bayangannya kembali menghilang, seperti pada mimpi mimpi yang lain. Aku terbangun dengan terkejut.

"Dasar Eric… dalam tidurku pun kamu menggangguku." Aku bergumam dan berusaha tidur lagi. Waktu itu masih pukul dua dini hari dan aku sulit kembali tidur takut tidak bisa bangun jam empat untuk bersiap-siap ke bandara. Baiklah aku pasti bisa tidur di pesawat dalam perjalanan panjang nanti.

Setelah selesai proses check in pesawat dan keimigrasian, aku masuk ke kedai kopi di airport untuk membeli sandwich dan kopi. Sambil sarapan aku mengirim voice note pada ibu untuk berpamitan, juga pada Jan, Clemence dan Tati. Untuk Eric kukirim foto diriku yang sedang memakai topi rajut buatannya.

Kutulis pesan untuk berterima kasih atas kebaikannya dan perhatiannya.

"Dear Eric, aku di airport sekarang, pulang lebih awal, ada urusan mendesak yang harus kuselesaikan dengan tunanganku. Topi ini akan selalu kupakai untuk mengingatmu. Danke Broer! Daag…"

Kulanjutkan makan sandwich sampai habis. Kulihat Eric telah membaca pesanku tetapi dia tidak membalas.

Apakah dia sedang bersama Els… mengapa aku sering bermimpi tentang Eric dan mengapa aku menginginkannya? Kalau terus menerus berdua dengan Eric mungkin aku pun bisa tidak setia kepada Kenny. Kami bisa sama-sama khilaf. Beruntung sekarang kami berjauhan dan aku akan menemui Kenny.

Teleponku berbunyi, video call dari Clemence.

"Laura… aku kecewa kamu pergi begitu saja, apa ada yang bisa kubantu?" tanya Clemence. Dia sedang makan pagi di resto hotel. Di sampingnya ada Eric yang sedang makan roti. Eric melongok ke telepon dan mengangkat alisnya untuk menyapa. Dadaku berdebar teringat mimpi tadi malam.

"Clem, maaf bila aku mengecewakanmu, aku sedang kalut dan tidak berpikir dengan baik."

"Bisa dimengerti. Kalau dia tidak setia tinggalkan saja ya." Kata Clemence. Aku mengangguk kepadanya.

"Apakah ibu dan Jan bersamamu?"

"Mereka di meja dekat jendela. Aku dan Eric datang terlambat. Oh padahal hari ini Eric akan mengajak kita city tour. Sayang kamu tidak ikut."

Aku mendengarkan saja dan melihat Eric di samping Clemence, dia makan dengan lahap dan tidak peduli pada sekitarnya.

Aku merasa sedih diabaikan begini. Aku berharap mendapat perhatian dari Eric.

"I'll miss you." Kataku kepada Clemence.

"I miss you already Laura… take care dan tolong sering berkabar kepadaku."

"Hmmm bye Clem."

Clemence melambaikan tangan dan mencolek Eric untuk mengucapkan perpisahan. Aku melambai pada mereka. Eric mengecup jari dan mengirimkan ciuman itu sambil berkata. "Bye…"

Aku memejamkan mata sambil menutup telepon. Rasanya sedih sekali meninggalkan Belanda kali ini. Wajah Eric terbayang.

"Aku ingin melihat kamu tersenyum, kirimkan fotonya." Aku menulis pesan untuk Eric karena tidak lagi mampu menahan diriku. Aku tidak berpikir apakah ini sopan dan apakah permintaanku ini godaan. Eric membaca dan belum bereaksi. Tepat ketika aku meletakkan cangkir kopi yang kosong, pesan Eric masuk.

Dia mengirim foto selfie tanpa tersenyum, matanya menatap tajam.

"Mana senyumnya? I miss that!"

"Aku tersenyum kepadamu langsung, kalau kita bertemu lagi."

Uuuhhh….

***