Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 56 - Aku merindukannya

Chapter 56 - Aku merindukannya

Pagi-pagi aku dan ibu makan pagi di hotel dalam suasana yang dingin. Meskipun ruangan berpenghangat, dari jendela kaca kami melihat langit kelabu dan tanpa sinar matahari, membawa suasana dingin ke ruang makan.

"Sekarang baru kusadari indahnya negeri kita yang bermandi cahaya," kataku sambil mengetukkan telur rebus ke meja untuk membuat retakan pada cangkangnya dan memudahkan untuk mengupas.

"Makanya jangan banyak mengeluh ketika terkena panas matahari. Tanpa sinar matahari kita bisa bad mood. Untung ada Jan yang selalu membawa suasana gembira," kata ibu. Tangannya yang memegang pisau bergerak-gerak saat dia berbicara.

"Itu karena ibu jatuh cinta," kataku.

Ibuku memang terlihat lebih bersemangat dan dia tampil rapi, memasang alis setiap hari, tata riasnya tipis tetapi membuat wajahnya semakin cantik. Begitulah ketika orang sedang jatuh cinta. Aku yang jauh lebih muda dari ibu malah tidak memperhatikan penampilanku.

"Bibirmu pecah-pecah, bukankah perih? pakai lip balm atau lipstick. Udara sangat kering." Kata ibu. Aku mengangguk. Kemarin Tati juga memaksaku memakai lip balm.

"Nanti ibu dan Jan ada pertemuan dengan seorang calon penerjemah. Kamu menjaga di anjungan kita."

"Mulai kapan kita punya anjungan?" aku bertanya.

"Ah kamu melewatkan kabar gembira ini. Sejak kemarin siang kita berbagi tempat dengan seorang penulis buku, teman Jan. Dia punya tempat luas tetapi bukunya sedikit jadi terlihat kosong.

"Lo apa bisa satu tempat untuk dua peserta?" tanyaku heran.

"Kita menjadi tamunya. Tidak ada banner. Tetapi kita harus membuat atraksi agar orang singgah. Berpikirlah untuk itu."

Aku mengangkat alis. Ibu selalu memberiku tugas-tugas seperti ini.

Selesai makan kami menuju tempat pameran dengan naik taksi sebab Jan tidak bisa menjemput, dia ada kegiatan pada pagi ini.

"Kapan kamu beli bucket hat rajut ini?" tanya ibu saat kami melangkah masuk ke hall pameran.

"Oh ibu, ini dirajut sendiri oleh Eric, sulit dipercaya. Kemarin kami makan malam di rumahnya, sungguh mengejutkan melihat rumah yang bersih dan rapi." Kataku.

"Jan sangat bangga akan anaknya itu," kata ibu.

"Tapi sikapnya agak berlebihan dan sedikit kurang ajar saat kita baru tiba ya…"

Aku mengangguk. Kalau saja ibu mengetahui bahwa Eric ingin memisahkan ibu dari Jan, mungkin ibu tidak akan menyukai Eric sama sekali.

"Apa yang ibu ketahui tentang hubungan Jan dan mantan istrinya, ibu dari Eric?"

Aku ingin mendengar apakah Jan pernah membahas masalah ini dengan ibuku dan apakah dia jujur kepada ibu.

Kudengar ibu mengembuskan nafas panjang.

"Sebenarnya ibu tidak ingin tahu, tetapi Jan memang bercerita."

"Apa?" aku menjadi penasaran.

"Istrinya meninggalkan Jan karena tidak tahan dan merasa diabaikan. Kamu tahu bagaimana kehidupan seorang penulis. Dia menjadi asosial, bahkan bisa berjam-jam tidak bicara kepada istrinya meskipun mereka berada di ruang yang sama."

"Apakah ibu akan bisa hidup seperti itu? Maksudku bila Jan tidak berubah? Bukankah ibu mendambakan pria yang bisa memberi perhatian dan romantis seperti almarhum bapak?"

Aku ingin mengetahui isi hati ibu, apakah dia benar-benar mencintai Jan atau sekedar terpesona olehnya. Ibu melirik tetapi tidak menjawab.

"Anehnya Eric kok malah tinggal dengan Jan, tidak bersama ibunya yang membutuhkan perhatian?" aku bergumam.

"Atau sebenarnya dia tinggal bersama ibunya? Rumahnya sangat rapi, interiornya manis, feminine, bukan seperti isi rumah cowok," kataku.

Ibu mengangkat bahu.

"Bu, jika ibu memang cinta pada Jan, lakukan yang terbaik," kataku sambil menggamit lengan ibu dan melanjutkan langkah menuju booth kami.

"Tentu saja, nak. Kuharap kalian juga bahagia bersama kami."

Maksud ibu tentunya aku dan Farina, bukan Eric.

Kami tiba di depan anjungan. Aku terpesona oleh dekorasi yang berani, warna hijau dan oranye mendominasi bagian dalam dan banyak bunga artificial di pinggir semua sisi sehingga tempat ini lebih cocok sebagai pameran negeri dongeng ketimbang pameran buku.

Ibu memperkenalkan aku kepada pemiliki asli booth tersebut, Clemence Ackerman, seorang perempuan asal Jerman berambut coklat tua. Dia memamerkan lima judul serial novelnya, memakai pemeran utama perempuan bernama Anne Whiterman yang digambarkannya sebagai perempuan cerdas setengah sinting dan ambisius, gila seks dengan roda kehidupan yang naik turun secepat jet coster. Anne adalah anak terlantar yang dibesarkan di panti asuhan, kecerdasannya membuat dia mendapat beasiswa dan bekerja dengan baik, menikah muda dengan seorang super rich, dicampakkan hanya dua bulan setelah menikah dan hidup terlunta-lunta. Anne menempa diri dengan keras sampai dia melejit menjadi orang kaya berkat kecerdikannya, namun dia terpuruk berkali-kali karena kehiduan seks yang liar. Sungguh suatu cerita yang berani.

Kepribadian Clemence menonjol di tempat ini. Meja dan rak buku kami menjadi terlihat suram. Aku harus melakukan sesuatu untuk menarik perhatian di tempat kami.

Aku berbicara dengan Clemence untuk membuat aktivitas menarik bagi pengunjung. Dia menerima usulku, kami menyelenggarakan lomba membuat sketsa Anne Whiterman dalam dua sisi, sebagai perempuan cantik dan cerdas serta sebagai perempuan keji yang gila seks. Clemence menyediakan hadiah buku bagi karya yang menang melalui pemilihan oleh pengunjung.

"Kamu punya ide cemerlang Laura. Mari kita laksanakan. Aku juga akan membeli buku dari tempatmu untuk hadiah tambahan."

"Senang sekali, biarkan mereka memilih sendiri."

Kami segera membuat pengumuman dan setiap hari dipilih satu pemenang. Pengumuman mulai dipasang pada pukul 11 dan hingga pukul tiga sore ada tujuh peserta yang mendaftar. Mereka akan diminta mengumpulkan karya sebelum pukul enam sedangkan pengumuman pemenang akan dilakukan pada pukul delapan malam.

Sekitar pukul lima sore Jan dan ibu datang dan merasa heran ketika melihat anjungan kami banyak pengunjungnya. Mereka berdua tertawa gembira.

"Ada titipan dari Eric," kata Jan sambil memberiku satu kantong kertas kecil. Isinya lip balm!

Eric memang peduli. Dia pasti melihat bibirku terkelupas kemarin,… no… dia bahkan menciumnya! Perutku terasa berputar mengingat ciumannya kemarin. Aku menampar Eric karena terkejut dan tidak ingin dia salah mengerti tentang diriku, tetapi jujur, aku merasakan kehangatan dan kelembutan bibirnya.

"Eric sibuk?" tanyaku kepada Jan.

"Ya, dia sedang ke Belgia menghadiri konferensi kedokteran. Apakah kemarin dia tidak bilang?"

"Tidak."

Aku sedikit kecewa karena Eric tidak menganggap penting untuk memberitahuku atas kepergiannya. Baiklah… aku bukan siapa-siapa baginya.

"Oleskan di bibirmu, Eric memberikan lip balm kesehatan," kata Jan.

"Terima kasih."

Aku membuka kotaknya dan mengoleskan lip balm ke bibirku. Saat itu bayangan Eric mencium bibirku tidak bisa kulupakan. Dia mengaku mencium karena khilaf… duh kenapa aku menjadi ke-GR-an dengan berpikir bahwa Eric menyukaiku.

Seandainya dia menyukaiku, kami tidak bisa meningkatkan hubungan karena aku akan menikah dengan Kenny pada tahun ini.

"Jan, tadi Laura bilang dia menerima topi itu buatan tangan Eric, apakah itu betul? Jarang sekali laki-lai merajut." Kurasakan ibu semakin mesra bersama Jan.

"Eric mewarisi ketrampilan ibunya. Pada mulanya dia sering membantu menggulung benang saat ibunya merajut, lama-lama dia juga merajut. Anak ini penuh kejutan." Kata Jan.

Aku menguping percakapan mereka.

" Apakah dia bersikap baik kepadamu Laura?"

"Yup, as a big brother." Jawabku sambil tersenyum.

" Meskipun pada hari pertama Eric agak kasar. Aku baru memberitahu dia tentang kalian, beberapa jam sebelum kalian tiba. Dia kaget sehingga bereaksi seperti itu."

"Tidak masalah, Jan. pelan-pelan dia akan menerima kami. Aku lihat dia banyak menolong Laura." Ibu menyela. Aku mengangguk.

Eric telah membuatku bingung, aku mengharapkan dia sebagai kakak yang melindungi dan menghibur, namun ciumannya telah menggoyahkan perasaan tersebut. Aku tidak bisa berharap lebih lantaran Eric bukan siapa-siapa, apalagi bila Jan dan ibu batal menikah, kami akan kembali menjadi orang asing sama sekali.

Wajah Kenny melintas.

"Permisi aku ke kamar kecil dulu," kataku meninggalkan mereka.

Dari anjungan kami hingga ke toilet jaraknya lumayan jauh, aku harus berjalan sekitar lima menit. Setiba di bilik toilet aku memasang head set dan menelepon Kenny, panggilan video.

"Hai Laura, akhirnya kamu meneleponku."

"Maaf tadi malam aku sudah mengantuk."

"Kamu dimana?"

"Cari tempat sepi dan privat. Toilet." Kataku sambil tertawa.

"Good."

"Ken…"

"Hmmm?"

" Apa kamu sungguh mencintaiku?"

"Kenapa baru sekarang bertanya?"

"Adakah yang kamu sembunyikan dariku?"

Aku menatap matanya sedangkan Kenny mengedipkan mata kirinya. Akankah Kenny mengerti arah pertanyaanku terkait perilaku seksualnya yang menyimpang.

" I love you to the moon and back, my sweetheart!" suara Kenny yang serak seksy selalu memabukkanku, tetapi kalimatnya tidak ori sehingga kurang bisa membuatku tergerak.

Aku harus memakluminya. Kenny tinggal di pulau, kota kecil, hidup agak monoton.

"Aku tahu Ken, terima kasih, tetapi adakah sesuatu yang perlu kuketahui? Apakah… apakah tidak ada orang lain selain aku dan Marina?" tiba-tiba aku merasa perlu untuk bertanya. Kalimatku meluncur tanpa dapat kucegah lagi.

"Laura… cepat pulang dan kita menikah, I need you." Kenny tidak menjawab pertanyaanku.

Banyangan Pulau Bunga, Kenny, Mama, Richard dan semua yang kualami juga rumah putih di atas bukit seakan memanggilku untuk cepat-cepat pulang.

"Baiklah, sekarang aku harus kembali kerja."

"Wait… Mr. Happy is missing you, kamu mau melihatnya?"

"Ken. Jangan lakukan itu. Aku menghargaimu, mohon kamu menghargaiku juga," kataku.

"La…"

"Bye Eric!"

"Apa? Siapa Eric?"

"Um … eh… maaf salah sebut. Tadi aku bersama Eric."

"Apakah aku melewatkan sesuatu? Siapa Eric? Jangan menutup telepon sebelum kamu menjelaskannya." Wajah Kenny terlihat kaku.

"Sabar Ken, dia anak dari calon suami ibuku… Eric bakal jadi kakakku. Sekarang aku benar-benar harus menutup telepon. Bye." Aku memutus percakapan dan menahan nafas sesaat untuk mengisi udara di paru-paru.

Aku merindukan Eric, bukan Kenny… Ampun… apa yang harus kulakukan?

***