Eric terlihat cool memang saat dia memperkenalkan diri. Dia percaya diri, dan seakan sudah lama mengenalku meskipun baru beberapa hari kami bertemu. Dia memamerkan kedekatannya dengan memasang coat untukku dan mengeluarkan topi rajut dari kantong celananya lalu memasang topi itu di kepalaku. Aku menatap wajahnya yang terlihat serius. Betapa aku menyukai perbuatannya kepadaku.
Tati, Jansen dan Dave memperhatikan kami membuatku jengah.
" Dia peduli padamu," kata Tati berbisik di sebelahku, ketika Eric bercakap cakap dengan Jansen, mereka saling bertanya tentang profesi masing-masing.
" Dia ingin menunjukkan jadi kakak yang baik. " aku tertawa.
Tati memeluk erat dan berkata akan mengunjungiku di tempat pameran pada hari terakhir.
Jansen juga memeluk dan mencium pipiku.
"kuharap kita akan bertemu lagi ya " kata Jansen.
"Ya... kamu harus mengunjungi pameran kami." Kami melepaskan pelukan. Aku menghadap Dave dan berpamitan dengannya.
"Hi sweetie, take care, " Dave memberi kecupan dengan bibirnya yang agak basah dan bersuara.
"Thanks for the coffee and cake." kataku.
Eric menggandeng tanganku sampai kami memasuki mobil. Udara dingin membuat aku merapatkan coat untuk menghangatkan tubuh.
Di dalam mobil Eric menarik tisu basah dan memberikan kepadaku.
" Hapus bekas ciuman laki-laki itu, mungkin ada bakteri yang bakal menempel." katanya dengan wajah yang terlihat jijik.
Aku tertawa mendengarnya.
" Apakah dokter selalu begitu? "
" Aku tak suka melihat caranya mencium. bibirnya mengotori pipimu. "
Dia mengulurkan selembar tisu basah lagi dan memintaku menghapus bekas ciuman itu sampai bersih.
Kemudian Eric menjalankan mobilnya setelah memastikan aku memasang sabuk pengaman.
Dia bertanya apakah aku tidak keberatan jika dia memilih jalan biasa ke daerah Weesp karena Eric akan singgah ke rumah seseorang.
"Kamu tahu yang terbaik, aku jadi penumpangmu. "
Sepanjang jalan Eric menceritakan tempat yang kami lalui, hutan pinus, kanal-kanal dan gedung gereja yang kosong atau berubah fungsi.
Eric juga bertanya tentang Tati dan Jansen.
Kami tiba di Weesp, sebuah kota kecil khas dengan bangunan rumah tinggal dan apartemen. setelah menyeberangi jembatan di atas kanal dan berbelok ke kiri, Eric menghentikan mobil serta memintaku menunggu di mobil. Dia membuka bagasi mobil dan mengeluarkan buket bunga lili dan mawar serta satu kotak berpita coklat.
aku mengamati Eric bergegas ke bangunan rumah tepat di depan mobil berhenti. Dia merogoh kantong celana dan mengeluarkan kunci. Eric tidak mengetuk tetapi membuka pintu dengan kunci yang dibawa sendiri. Pasti dia cukup akrab dengan pemilik rumah tersebut.
Dia masuk dan menutup pintu. kulihat lampu menyala dari balik tirai tetapi aku tidak mendengar suara lantaran mobilnya tertutup rapat dan suara musik yang diputar membuatku kurang bisa mendengar suara dari luar.
kira kira 15 menit kemudian aku mendengar suara pintu dibuka, Eric keluar lalu menutup pintu dan menguncinya. Wajahnya terlihat suntuk. Dia masuk ke mobil dan memaksakan senyuman.
*Maaf membuatmu menunggu. "
"It's okay. "
Eric mengemudi dengan membisu dan mobil masuk ke jalan tol. Aku tidak ingin mengganggu pikiran Eric dan duduk diam mendengarkan Bruno Mars.
" Laura, apa kamu keberatan bila kita makan di tempatku? Aku sudah menyiapkan masakan yang mungkin kamu suka. " Eric bertanya sambil matanya menatap lurus ke jalan di depannya.
" Asal masakanmu bukan makanan ekstrem. " Aku mencoba bercanda tetapi dia hanya mengangguk. Ada yang mengganggu pikiran Eric.
Kami tiba di satu gedung apartemen, Eric memarkir mobil di basement lalu mengajakku naik elevator ke lantai 11.
Saat memasuki rumahnya aku terpana. Tempat yang rapi dan bersih, ada tanaman tanaman di dalam pot dan juga hiasan pernak pernik. Di atas meja yang terletak di dekat jendela terdapat satu keranjang anyaman berisi benang benang wool. Seseorang merajut di rumah ini. Kupikir Eric tinggal bersama seorang perempuan.
"Duduklah di mana kamu suka, aku segera menghangatkan makanan. "
" Boleh melihat lihat? tempat ini nyaman dan bersih. "
"Help yourself"
Eric menuju pantry dan terdengar dia mengambil piring, membuka kulkas. membuka laci laci. Aku melihat rak buku dan membaca judul judul koleksi yang kebanyakan buku kedokteran dan buku dalam bahasa Belanda yang tidak kumengerti. Beberapa pigura tergantung di dinding berisi foto foto Eric dengan temannya, Eric dengan Jan serta perempuan yang kuasumsikan sebagai ibunya juga potret dirinya dalam busana ski dalam posisi merangkul seorang perempuan muda.
Dalam foto-foto itu terlihat dia tersenyum meski kebanyakan bibirnya tertutup rapat.
Harum masakan memenuhi ruang dan memberikan rasa hangat.
"Here we are... dinner is ready Ma'am, " seru Eric.
Dia sudah meletakkan masakan di atas meja dan sedang menyalakan lilin.
"Wow... candle light dinner... thanks Eric. " aku merasa tersanjung oleh suasana yang diciptakannya.
" Semua makanan panas, kamu pasti suka. "
kulihat pure kentang yang mengepulkan asap, sayuran kukus, burger steak dan udang tumis saus lemon.
"Kamu suka memasak? " Aku mengamati pipi Eric yang memerah oleh udara panas di dapur. Hidungnya yang tinggi terlihat elegan.
Aku kagum akan semua hidangan yang disiapkannya.
"Icip dulu baru komentar." kata Eric.
Baru saja aku mengambil pure kentang ketika kudengar handphoneku berdering.
Aku menekan tombol untuk menerima dan terlonjak melihat Kenny menghadap kamera dengan tanpa busana. Aku segera mematikan telepon dan menahan nafas.
Sempat terdengar suara Kenny menyerukan namaku dengan suara serak dan mesra.
"Who? " tanya Eric. Matanya tajam menatap.
Aku menggeleng, masih bingung dan kaget.
Telephone kembali berdering.
"Silakan kamu Terima. kamu bisa ke kamar depan jika perlu privasi. " Kenny menunjuk ke pintu kamar di belakangku. Aku berdiri untuk menerima telepon sambil berjalan ke kamar tersebut.
"Laura, jangan matikan. Aku sangat merindukanmu... " Kata Kenny.
"Aku masih di rumah teman, nanti kutelepon balik, " kataku dengan gugup.
"Please, honey I need you"
Suara Kenny terdengar sedih membuatku merasa bersalah .
" Aku akan telepon nanti, Ken, aku janji, sabar ya."
Rasa sayangku kepada Kenny tidak tergoyahkan meskipun ada kekecewaan atas sikapnya. kurasa kami harus membicarakan persoalan ini sebelum melangkah lebih jauh.
Aku menutup telepon dan kembali ke meja makan.
" Is there something wrong, little princess? " tanya Eric.
"No."
Dia memanggilku 'little princess' wow... it's cool!
Mataku terpaku melihat Eric mengisi mangkukku dengan sup dan menyodorkan ke dekatku.
"Aku lapar! " kataku sambil mulai mrnyuap. Dalam sekejap sup kuhabiskan, lalu steak dan pure kentang yang sudah cepat dingin.
" ho ho ho... eat it slowly, my dear. "
Tangannya menghentikan tanganku yang memegang pisau dan garpu. Eric mrmintaku mengubah irama makan menjadi lebih pelan.
" Kemarin katanya ada yang ingin kamu katakan? " kataku mengalihkan percakapan.
"Saatnya kurang tepat sekarang. " Dia menunduk dan menggelengkan kepalanya.
Kami membisu kembali dan menghabiskan makanan. Suasana makan malam dengan lilin, aroma bunga lili dan musik klasik membangun rasa romantis meski kami tidak sedang berkencan.
" Rumahnu rapi, ada sentuhan perempuan, " kataku.
"Kamu pikir begitu? "
Aku mengangguk sambil mengedarkan pandangan dan berhenti di meja berisi benang rajut. Eric tertawa terbahak-bahak.
"Laura, aku merajut dua topi untukmu. "
" hah??? "
"Pilih benang warna apa, aku rajutkan lagi. "
"Kamu memberi banyak kejutan, broer. "
Aku jadi berpikir, apakah semua kerapian ini dikerjakan oleh Eric atau ada perempuan yang tinggal bersamanya?
"Kupikir ada teman wanita bersamamu tinggal di sini." kataku.
Mata kami bertatapan. seakan kami ingin sama-sama membaca pikiran. tatapan matanya membuat aku gelisah lalu menunduk. Mulut Eric bergerak untuk berbicara tepat ketika aku akan bertanya.
"Laura... "
"Apakah... "
Kami tertawa dan saling mempersilakan untuk berbicara terlebih dahulu.
"Menurutmu apakah orang tua kita akan berhasil? hubungan mereka.. " tanya Eric.
Kembali aku menatap matanya yang berwarna coklat.
"Menurutmu bagaimana? " aku balik bertanya.
Eric terlihat gelisah dia mengacak acak rambutnya.
"Sebenarnya aku ingin ayahku kembali menerima ibuku. Itu sebabnya aku marah saat kita bertemu pertama kali. "
Eric bernafas dalam. Aku mencoba memahaminya.
"Apakah kamu bersedia membantuku, memisahkan orang tua kita? "
Permintaan Eric tidak kuduga. Kepalaku langsung berdenyut
Aku belum bisa menyelesaikan persoalanku sendiri sekarang ada tambahan persoalan baru.
Untuk sesaat tadi aku merasa senang memiliki kakak laki-laki, Eric bahkan memanggilku little princess...
aku akan kehilangan semuanya? Aku terlanjur menyukainya.
Aku memandangnya dengan kepala yang terasa beku. Kuingat wajah ibu yang bahagia beberapa hari ini dan Jan Van Dijk yang menyayangi ibu.
"Mereka terlihat bahagia... sulit bagiku untuk membuat mereka patah hati. Apa yang akan kamu lakukan?" aku menatap matanya dalam-dalam.
Wajah Eric tertimpa bayangan lilin yang menari-nari. Dia berdiri mendekatiku lalu mendekatkan wajahnya kepadaku dan mencium bibirku, mengisapnya dan membuatku meronta.
"Eric!" kutampar pipinya sekuat tenaga.
Dia terduduk di atas karpet, di sebelahku.
***