Eric menyangga kepala dengan kedua tangan yang bertumpu di atas lututnya. Aku hanya melihat bahunya naik turun oleh tarikan nafasnya. Tanganku masih terasa panas karena aku menampar dengan sepenuh tenaga. Kami sama-sama terdiam dan canggung. Lilin masih menyala dan musik masih mengalun. Setelah menjadi tenang aku berdiri dan meniup lilin lalu mengangkat piring-piring kotor ke dapur, membuang sampah sisa makanan ke kotak yang tersedia di dekat zink cuci piring.
"Nanti aku yang mencuci, pakai mesin. Tinggalkan saja." Kata Eric, berdiri di ambang pintu dapur. Kilihat pipinya merah bekas telapak tanganku, meski tidak terlalu kentara. Aku melihatnya dengan rasa menyesal rasanya ingin mengusap pipinya yang merah.
"Apa… apakah sakit Eric? Maafkan…"
"No… aku yang minta maaf."
Tatapan kami terkunci, aku menengadah dan Eric menunduk. Aku tidak tahu dari mana datangnya dorongan itu, aku sangat ingin memeluknya dan sangat menyesal telah membuat pipinya merah terkena tamparan.
"Kukira kita akan menjadi kakak dan adik, tetapi…"
Eric tadi meminta agar kami memisahkan ibu dan Jan, artinya kami akan menjadi orang asing dan ibu akan patah hati. Mungkin aku tidak bisa mengabulkan keinginan Eric ini.
"Ayo kuantar kembali ke hotel." Kata Eric sambil berjalan mengambil mantel-mantel kami. Wajahnya tanpa ekspresi sehingga aku tidak bisa menebak apakah dia marah atau jengkel atau dengan suka hati mengantarku.
Aku hanya bisa mengikutinya ke mobil , masuk ke kursi penumpang setelah Eric membukakannya dan dia membungkuk memasangkan sabuk pengaman. Sikap Eric menjadi formal dan profesiobal seperti saat dia bertugas sebagai dokter. Pipi kanannya merah bekas tamparan, ini membuatku merasa bersalah. Aku duduk diam sepanjang perjalanan.
Hari sudah mulai malam dan jalanan lengang, langit kelabu tanpa bintang. Dia memutar musik, lagu pertama suara Norah Jones membawakan Rosies Lullaby. Aku mendengarkan sambil memejamkan mata dan menyandarkan kepala.
Eric ikut menyanyi pada lagu kedua " Life … can be short or long, Love … can be right or wrong, and if I chose the one I'd like to help me through, I'd like to make it with you, I really think that we could make it, girl…"
Lagu ini hanya kebetulan muncul dari koleksi yang ada di mobil Eric, tetapi aku mendengarnya seolah olah dia menyanyi khusus untukku.
Pada baik selanjutnya aku ikut menyanyi bersamanya "Life… can be short or long, Love… can be right or wrong…"
Aku tidak lagi memperhatikan lagu berikutnya, karena itu lagu berbahasa Belanda.
"Kamu gadis yang baik Laura." Kata Eric, kurasa aku tidak ingin menanggapi pernyataannya.
Dia menghentikan mobil di tempat parkir.
"Laura, maaf tadi aku khilaf."
Aku sadar, Eric bertindak atas nalurinya sebagai laki-laki, bukan yang lain. Bisa juga dia mengujiku. Itu sebabnya kemudian dia bilang aku gadis yang baik.
"Aku juga tidak bermaksud menyakitimu." Jawabku.
Dia mengantarku sampai di depan pintu kamar hotel karena aku membawa banyak belanjaan dan oleh-oleh dari Tati.
"Terima kasih untuk kebaikan dan hadiah-hadiahmu. Maaf aku tidak bisa membuat ibu terluka. Dia sedang bahagia bersama papimu, aku tidak akan ikut jika kamu mau memisahkan mereka."
"I know." Wajah Eric terlihat murung.
"Aku juga memikirkan mami… saat ini dia memerlukan papi, aku ingin mereka kembali bersama-sama. Tidak seharusnya aku meminta bantuanmu. Lupakan saja."
Aku mengerti perasaan Eric.
"Kita lihat bagaimana mereka."
Apakah setelah ini hubunganku dengan Eric akan menjadi renggang? Belum apa-apa aku sudah merasa kehilangan dia dan ini terasa menyakitkan. Aku ingin kami tetap bersama.
"Selamat malam Eric." Kataku sambil masuk ke kamar dan membalikkan badan untuk menutup pintu. Perasaanku sangat kacau aku tidak bisa menatap matanya berlama lama.
Eric masih berdiri diam. Dia mengulurkan tangan dan mengusap kepalaku.
"Night." Katanya singkat dan menarik pegangan pintu dan menutupnya.
Aku masih berdiri di balik pintu yang tertutup dengan perasaan kacau. Aku tahu Eric juga masih berada di balik pintu. Aku tidak ingin kehilangan dia.
"Eric…"
"Ya?"
Kubuka pintu dan menatapnya.
"apakah kamu… kamu mau tetap bersamaku? Maksudku bukan sekarang… tapi selama-lamanya." kataku saat melihat wajahnya yang kebingungan.
"Be my big brother…"
Eric tersenyum lebar dan kembali mengusap kepalaku.
"Dengan senang hati, you are my little girl."
"Terima kasih. Hug me…" aku merentangkan tangan dan menengadah memandangnya.
Eric memelukku dengan lembut dan mencium kepalaku. Kudengar degub jantungnya, bau badannya yang khas, dengan aroma lavender dan mint.
Pelukannya terasa tulus dan membuatku tenang.
"Have a sweet dream, little princess." Katanya dengan tatapan mata yang lembut.
Akhirnya kuberanikan diri mengusap pipinya yang merah.
"Bye… hati hati di jalan."
Eric menepuk bahuku, sedikit mundur dan membungkuk lalu berbalik dan meninggalkanku. Kutatap punggungnya saat berjalan menuju elevator. Aku melepas kepergiannya dengan lega karena mengetahui dia tidak akan meninggalkanku.
Saat mandi aku mengingat semua kejadian hari ini, Tati, Jansen, Dave, Kenny, Eric, benteng-benteng di Naarden dan peradaban manusia, ibu dan Jan. Aku akan membiarkan semua mengalir seperti air yang mengguyur di atas kepala, menyegarkan seluruh tubuhku lalu mengalir di lantai dan hilang di saluran pembuangan air.
Semua urusan yang rumit supaya hilang tersapu air dan meninggalkan keindahan dan kesegaran.
Ibu belum kembali ke kamarnya, pintu koneksi dari kamarnya belum dibuka. Aku membiarkan pintu koneksi terbuka sambil menunggu ibu pulang.
Untuk menepati janji aku menghubungi Kenny sambil tiduran, tetapi panggilanku tidak terjawab. Perbedaan waktu di tempat kami adalah sepuluh jam, mungkin saat ini dia sedang mengajar. Kupejamkan mata dan terbayang wajah Kenny tadi serta kata-katanya yang mesra. Sebelum berangkat kami bersepakat untuk segera menikah, tetapi kata-kata Tati terngiang kembali "Kamu layak mendapat perjaka, muda, ganteng dan kaya…"
Wajah Kenny tergantikan oleh wajah Eric.
"Ah… maafkan aku Ken… aku akan setia kepadamu." Kataku bergumam.
Tetapi setelah itu justru wajah Eric yang terus terbayang. Mulai saat ketika dia memasangkan coat, saat dia membawa rangkaian bunga ke rumah di Weesp, saat memasak, ciumannya… tanpa sadar aku menyentuh bibirku dan merabanya pelan-pelan sambil membayangkan ciuman Eric, nafasnya yang manis, cara dia menggigit bibirku… oh… apa yang terjadi denganku. Jantungku berdebar-debar.
Kuulangi menelpon Kenny, tetapi belum juga diangkat.
Aku sangat gelisah dan memejamkan mata. Aku tertidur dan terbangun kembali ketika ibu memelukku dari belakang. Tangan dan pipi ibu terasa dingin, dia baru masuk ke kamar.
"Bu… I miss you."
"Jan sungguh baik, aku semakin mencintainya." Kata ibu dengan antusias.
Aku membalikkan badan menghadap kepada ibu dengan mata setengah terbuka.
"Bagus untuk ibu dan untuk papi…" aku bersungguh-sungguh dan membenci usul Eric untuk memisahkan mereka, tetapi aku mengerti bahwa Eric ingin mami dan papinya bersatu kembali.
Semua anak pasti akan menginginkan begitu, tetapi apa yang membuat mereka berpisah? Apakah ibu dan papi bisa bahagia bila mereka menikah?
"Kurasa Eric juga semakin memahami kita. Bukankah dia baik kepadamu? Aku menyukai anak ini juga." Ibu berbicara sambil tertawa berseri-seri. Aku menatapnya sedih.
Eric… apa yang bisa kita lakukan untuk orang tua kita? Aku mengeluh di dalam hati.
"Tadi dia menjemputmu kan? Papinya mengingatkan Eric."
Aku mengangguk.
***