"Laura… apakah kamu masih bersamaku? Kamu tidak tertarik pada Eric?" Kenny bertanya beruntun dan aku meresapkan pertanyaannya untuk diriku sendiri.
Aku menjadi kacau karena foto-foto Kenny bersama perempuan dan ulahnya saat menelpon. Ummm mungkin aku tertarik pada Eric tetapi aku tahu batas dan aku yakin bahwa Eric juga hanya menganggapku sebagai adik kecilnya.
"Ken, kita perlu bicara nanti." Maksudku mengenai perempuan lain dan perilaku Kenny, namun dia salah mengerti.
"Semudah itu kamu jatuh cinta? Apakah Eropa membuatmu berubah? Belanda negeri yang bebas, bisa saja kamu melakukan one night stand? Sejauh mana hubungaan kalian?" kata Kenny. Bibirnya terkatup rapat dan keningnya berkerut.
Oh Tuhan. Kenny membuat tenggorokanku kering.
"Kamu terdiam karena kata-kataku benar?" Kenny mendesak.
"Ken, jangan samakan aku dengan dirimu. Seharusnya aku yang bertanya, apa yang sudah kamu lakukan selama ini? Dengan Marina dan perempuan-perempuan itu? Apakah patut kamu memperlihatkan dirimu kepadaku seperti itu?" aku akhirnya menumpahkan kekesalan dan rasa penasaran.
"Marina adalah masa lalu, dia sudah di alam lain. Aku tunanganmu Laura, sebentar lagi kita menikah," dia berkilah.
"Lalu siapa perempuan di foto-fotomu itu?"
"Perempuan? Siapa?"
Aku membuang nafas kesal mengetahui Kenny berakting bagus, seolah-olah dia tidak mempunyai kesalahan.
"Kenny, selama ini aku percaya kepadamu, kamu sudah meninggalkanku, aku memaafkanmu dan aku bahkan sudah berjanji untuk menikah denganmu tetapi kamu mengulangi kesalahan lama… apakah aku perlu menunjukkan bukti?"
"Laura, please, kamu sudah berjanji kita akan menikah, aku sudah lama menunggumu." Wajah Kenny yang seperti ini yang membuatku jatuh cintah, tatapan mata yang dalam dan suaranya yang berat. Meskipun demikian sikapnya beberapa hari ini membuatku cemas.
"Ken, nanti kita bicara setelah aku pulang. Aku akan ke Pulau Bunga sekalian mengunjungi Mama," kataku.
Kilihat dia mengangguk.
"Say it you love me…"
"I love you Ken. Bye now…" kami saling melambai dan memutus hubungan telepon.
Aku berjalan kembali ke booth dengan langkah pelan… bahkan aku mencari jalan memutar karena tidak ingin lekas sampai ke tujuan dan bertemu ibu, Jan dan Clemence. Aku singgah melihat buku ketrampilan dan tanpa kusadari berdiri di depan sederet buku rajut dan macramé. Kupilih salah satu buku macramé dan membayarnya.
Eric merajut, aku tidak bisa dan aku menantang diri sendiri untuk mencoba bermain-main dengan menang. Macrame yang paling dasar seharusnya aku mampu melakukannya.
Ibu dan Jan tidak ada di tempat. Clemence mengatakan mereka memesan tempat untuk makan malam dan Clemence menungguku.
"Bagaimana jika ada pengunjung?" tanyaku.
"Mereka bisa menemukan kartu nama kita. Saat ini waktu makan, kita akan kembali segera."
"Okay, kamu pasti lebih tahu." Aku mengikuti Clemence.
Penampilan Clemence mengundang perhatian orang dan banyak yang menyapa dia.
"Kamu terkenal ya?"
"Not really." Dia tersenyum dan mengangkat bahu kanannya. Rambutnya bergerak dan menjadi bingkai di wajahnya yang putih.
"Laura, jadi Silvia dan Jan akan menikah?"
"Ehmm itu rencana mereka."
"Are you happy with that?"
"Aku tidak dalam posisi untuk mengatakan perasaanku ada hubungannya dengan kebahagiaan mereka." Jawabku sambil terus mencoba menyeimbangkan langkah kakiku dengan langkah Clemence yang lebar.
"Semoga ibumu bisa tahan dengan perilaku Jan."kudengar Clemence setengah berbisik.
Aku menatap matanya dan Clemence membalas tatapanku.
"Aku bersahabat dengan Jan. Jangan salah mengerti. Aku tahu dia sangat baik namun saat dia bekerja, oh… dia bisa dibilang tidak eksis. Maksudku dia tidak akan menghiraukan apa pun kecuali naskahnya. Gwen angkat tangan juga."
Aku mengangkat alis mendengar nama yang disebut.
"Gwen, mantan istrinya. Dulu dia cemburu kepadaku. Aku tidak ada hubungan pribadi dengan Jan, kami dekat sebagai sesame penulis. Poor Gwen."
Kurasa ada kesempatan untuk mencari tahu.
"Apa yang terjadi? Apakah mereka benar-benar bercerai atau ada kemungkinan bisa kembali lagi?"
"Eh… mungkin kamu mengkhawatirkan Silvia? Jan dan Gwen sudah resmi bercerai."
Aku menghentikan langkah dan menarik lengan Clemence untuk menepi.
"Maksudku apakah mereka bisa disatukan kembali? Tampaknya Eric menginginkan hal itu." Kataku.
"Eric menyayangi mereka bedua. Tapi sudah terlambat. Pada mulanya Gwen bisa mengerti pekerjaan Jan dan dia mencari kesibukan sendiri, merajut, memasak, berkebun. Lama-lama dia menjadi gila. Mereka bertengkar hampir setiap saat lalu Gwen meninggalkan rumah."
Aku membetulkan topi rajutku meski tidak ada yang salah.
"Gwen terobsesi dengan pekerjaannya atau dia membalas Jan. Perhatian Gwen hanya pada tiga hal tadi, merajut, memasak dan berkebun. Dia tidak lagi berkomunikasi dengan Jan. Rumah mereka dalam sekejap menjadi seperti gudang. Gwen berbelanja dan menimbun mahan makanan, benang-benang dan perlengkapan berkebun, benih terus menerus. Kamu tidak akan bisa mencari tempat duduk di rumah mereka. Suatu hari Jan memanggil petugas dinas kebersihan kota dan meminta mereka mengangkut semua barang milik Gwen yang dianggapnya sebagai sampah."
Gwen meninggalkan rumah pada hari yang sama lalu mereka bercerai. Saat itu Eric masih Junior High school student. Clemence melanjutkan ceritanya, Jan memaksa Eric untuk tetap tinggal bersamanya. Mereka menata rumah berdua. Seminggu sekali Eric mengunjungi ibunya, kadang dia menginap.
"Apakah dia baik-baik? Gwen maksudku?" tiba-tiba aku merasa iba pada perempuan itu.
Gwen sempat menikah dengan sahabat mereka tetapi hanya berlangsung setahun lalu bercerai. Sejak itu dia tinggal seorang diri. Eric dan Jan menanggung biaya hidupnya.
"Dimana dia tinggal, Amsterdam juga?"
"No. Di Weesp."
Rumah itu! Kurasa waktu itu Eric mengunjungi ibunya.
Kami melanjutkan langkah ke resto tempat Jan dan ibu menunggu kami.
"Clemence, ceritakan tentang Eric." Kataku.
Clemence menengok kepadaku dan tertawa lebar.
"My goddess. Aku lebih senang mendengar Eric dan Laura akan menikah ketimbang Jan dan Silvia." Serunya dengan mata melebar bulat.
"Oh… Clemence… "
"Dia anak baik, tapi mungkin dia belum berminat menikah karena situasi orang tuanya." Kata Clemence.
"Bisa dimengerti." Aku membayangkan Eric dan kerumitan keluarga yang dihadapinya.
Dari kejauhan Jan melambai kepada kami. Clemence dan aku bersamaan membalas lambaiannya dan berjalan ke tempat mereka.
"Tapi … aku sudah punya calon suami, kami akan menikah tahun ini," kataku.
Clemence melirik kepadaku.
"Ah sayang. Apakah dia lebih baik dari Eric?"
"Kami sudah berkenalan lama, aku belum tahu tentang Eric."
"Maksudku, jika Eric lebih baik, kamu punya hak untuk memilih masa depanmu. Pernikahan adalah keputusan penting dalam hidup seseorang."
Kami tiba di tempat dan segera duduk.
Jan mengangsurkan buku menu dan memberikannya kepadaku.
Makan malam kami lakukan dengan cepat, meski tidak tergesa-gesa, kami sekedar mengisi perut dan kembali ke tempat pameran.
Hari itu kami sibuk tetapi senang karena mendapat perhatian pengunjung. Sesuai janji kepada peserta lomba membuat sketsa Anne Whitermann. Pemenang hari ini seorang perempuan muda berkacamata tebal. Dia illustrator buku. Kami memberikan hadiah dua buku.
Hari yang cukup melelahkan.
"Laura, kalau kamu ingin tahu tentang Eric aku bisa mengatakan semuanya. Dia muda, tampan, cerdas, baik hati… kurasa dia akan menjadi pria yang bertanggungjawab terhadap keluarganya. Dia pasti tidak ingin mempunyai keluarga yang berantakan." Kata Clemence sebelum kami berpisah.
"Aku sedang di persimpangan. Kekasihku sepertinya tidak jujur. Aku ingin tenang dan menyelesaikan persoalan kami, Aku tidak sanggup memikirkan yang lain untuk saat ini."
Clemence mengangguk.
"Kamu pasti tahu harus bagaimana. Buatlah keputusan dengan bijaksana. Kejujuran sangat penting."
Saat sudah kembali ke hotel penat kaki mulai terasa, sehingga aku mandi berlama-lama sambil merendam kaki dengan air panas.
Saat mandi aku terbayang wajah Eric terus juga kata-kata Clemence.
Eric sudah menggoyahkan hatiku. Dicium Eric membuatku merasa bersalah kepada Kenny. Aku mengalami ujian… aku harus bisa setia… tetapi Kenny sudah menuduhku dengan keji.
Eric… Kenny, Eric… Kenny… um… Eric belum tentu menyukaiku, dia mengatakan khilaf ketika mencium. Kenny mengajak menikah, tetapi dia sudah melukaiku… apakah aku masih bisa mempercayainya?
Kuperiksa hanphone dan melihat pesan dari Eric. Hatiku melonjak gembira.
"Hi Laura, bagaimana pameranmu hari ini? Apa sudah menerima lip balm? Kulihat bibirmu terkelupas kemarin."
"Bagus. Terima kasih lip balmnya. Sampai kapan di Belgia. Semoga sukses." Balasku. Semula aku ingin merajuk dan bertanya mengapa dia tidak memberi tahu akan pergi ke Belgia .
"Kamu tidak marah lagi? semoga lupa akan perbuatanku kemarin."
Kalau saja Eric tahu, aku tidak bisa melupakan ciumannya yang terasa manis dan lembut. Aku memang terkejut sehingga menamparnya, sebab aku merasa hanya Kenny yang boleh menciumku. Namun tatapan mata Eric dan ciumannya terus menggangguku. Ada rasa bersalah kepada Kenny dan aku merasa tidak pantas menikmati ciuman tersebut.
"Apakah menyenangkan di tempatmu sekarang?" aku tidak menjawab pertanyaan Eric.
"Aku memikirkanmu, nona kecil." Suaranya terdengar dekat seakan Eric berada di sebelahku. Apa yang dipikirkannya tentang aku? Apakah dia sengaja ingin mengetahui aku ini perempuan macam apa, mudah digoda, gampangan? Aku tidak ingin dia mendapat kesan seperti itu. Tiba-tiba aku teringat tuduhan Kenny, bahwa aku melakukan one night stand. Uhhh sungguh keji tuduhannya, padahal Kenny yang bermesraan dengan perempuan lain.
"Terima kasih, Eric, kamu sungguh baik kepadaku. Semoga kamu memikirkan yang baik tentang aku."
Terdengar dia tertawa.
"Oke. Selamat istirahat Laura."
" Kuharap kita bisa bertemu lagi sebelum aku meninggalkan Belanda."
"I do hope so. Sekarang selamat tidur. Jan bilang kalian sangat sibuk hari ini."
"Good night."
Setelah mendapat telepon ini aku merasa lebih tenang dan cepat tidur.
***