Kasur yang hangat seperti mengisap tubuhku yang terasa lemas, tetapi sebaliknya nafasku memburu dan degub jantung berdebar-debar. Kenny, apa yang terjadi denganmu, apa yang kamu lakukan dan bagaimana kamu menganggap aku?
Pertanyaan seperti itu berputar-putar.
Aku tidak banyak mengenalnya.
Setahun berkenalan dan berpacaran dengan Kenny aku merasa mengenalnya kemudian tiba-tiba dia menikahi Marina. Aku sadar tidak banyak mengenalnya. Kami terpisah lima tahun yang ada dalam bayanganku adalah Kenny yang mencintaiku… peduli pada keluarganya, seorang guru yang hidup tenang, dekat dengan murid-muridnya. Terbayang kembali rumah putih di atas bukit dan laut di depannya serta impian-impian kami untuk membangun keluarga.
Kupejamkan mata sambil memikirkan makna keluarga. Bayangan keluarga yang selama ini ada di benakku tentu saja ada suami dan istri serta anak-anak, peran orang tua untuk mengasuh dan menemani anak-anak agar tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat, baik, cerdas dan bahagia. Sepertinya sederhana, tetapi belakangan aku melihat ada banyak keluarga yang berantakan, orang tua yang sibuk sendiri sehingga anak-anaknya tidak mendapat pengasuhan yang baik, juga suami dan istri yang tidak harmonis karena salah satunya dominan atau juga perselingkuhan dan pengkhianatan.
Kenny sudah pernah berkhianat sebelumnya, apakah dia akan bisa setia?
Foto-foto mesum yang kuterima dan video call Kenny yang baru berlalu memberikan kejutan yang sangat mengganggu. Siapa sebenarnya Kenny?
Jika kami menikah, apakah aku akan menemukan kebahagiaan seperti yang kuimpikan selama ini?
Banyak yang harus kuketahui tentang Kenny sebelum kami menikah.
Bayangan Eric melintas. Laki-laki yang sinis dan muram. Sikap yang kontradikktif dengan profesinya sebagai dokter.
Wait!!!
Apakah Eric tumbuh sebagai anak yang tidak bahagia? Ibunya pergi dari rumah dan ayahnya sibuk dengan pekerjaannya.
Aku gelisah lantaran bayangan Kenny dan Eric. Aku menjadi ingin tahu lebih banyak tentang Eric dan masa lalunya.
Kubuka HP-ku. Ada pesan dari Kenny.
"Laura, tidak usah malu-malu. Nanti kita ulang." Tulisnya.
"Ken… kamu membuatku kaget dan takut." Jawabku.
Aku memang kaget dan juga malu. Dalam usiaku yang sudah mencapai 27 tahun aku masih perawan dan hanya pernah berciuman dengan Kenny. Pada saat Kenny mencium, aku merasakan hasrat tubuhku namun aku selalu mencoba mengendalikannya. Video call Kenny telah membangkitkan hasrat kewanitaanku, tubuhku panas, nafasku sesak dan kurasakan bagian bawah yang basah, ada kenikmatan saat tanganku menyentuh bagian-bagian tubuh yang peka seperti saran Kenny. Namun aku tidak terbiasa dan menjadi jengah.
"Bukannya tadi kamu juga menikmatinya? Oh Laura, membayangkanmu saja membuatku kepingin."
Aku tidak membalas percakapan tersebut. Kembali aku menjadi takut untuk mengulangnya.
"Aku mengantuk. Bye…" tulisku lalu mendekap HP.
Terdengar nada pesan masuk secara beruntun. Kenny mengirim sederet foto. Mataku membelalak melihat gambar-gambar yang tidak pantas.
Nyaris kulemparkan HP-ku. Tiba-tiba telepon berdering. Aku tidak ingin mengangkatnya. Kenny pasti sudah gila. Apa yang terjadi dengannya? Apakah selama ini aku tidak mengenal Kenny? Kemana Kenny yang santun, guru yang penuh perhatian kepada murid-muridnya…
Nada panggil berakhir. Kukira dia perlu menenangkan diri. Sesaat kemudian kudengar ada pesan masuk lagi.
Aku turun dari tempat tidur untuk minum. Tenggorokanku terasa kering.
Setelah minum aku membuka tirai jendela dan melihat keluar. Ada hotel di seberang dan deretan pertokoan hingga di ujung jalan, serta rumah-rumah dengan pepohonan di tepi jalan pada jalan di samping pertokoan. Malam sudah larut, langit kelabu tanpa bintang tetapi lampu-lampu dari gedung-gedung di sekitar memberi warna pada malam yang gelap dan sunyi.
Tati pasti sudah tidur karena di dalam rumah tidak terdengar suara sama sekali kecuali bunyi tiupan angin yang menerpa daun pintu dan pepohonan.
Kemana kamu akan melangkah dalam hidupmu Laura… aku bertanya kepada diri sendiri. Apakah aku memang menginginkan pernikahan dengan Kenny dan untuk apa? Untuk apa menikah? mengapa Jan dan ibu akan menikah? apa yang mereka cari? Seks? mereka sudah cukup tua untuk itu, kurasa apalagi untuk mempunyai anak. Jan dan ibu mungkin hanya orang-orang kesepian yang mencari teman untuk hidup bersama dan saling berbagi. Kurasa cinta mereka lebih murni dan tulus dibandingkan aku dan Kenny yang punya banyak ambisi.
Tetapi apa sebenarnya yang kucari?
Kuhabiskan minumanku lalu kembali ke tempat tidur sambil meraih HP. Rupanya bukan Kenny yang menelpon dan mengirim pesan, melainkan Eric.
"Hello Laura, apa sudah tidur. Papi bilang supaya besok aku menjemputmu. Jam berapa bisa dijemput?"
"Maaf tadi sedang mandi. Ehm aku bisa kembali ke Amsterdam sendiri. Terima kasih." Aku membalas pesannya.
"Baik. Bukan keinginanku tetapi Papi mengkhawatirkanmu."
"Apakah luka-lukamu sudah membaik?"
Dua pesannya dikirim beruntun. Pasti Eric tidak berpikir untuk menjemputku jika bukan Jan yang meminta. Pertanyaan kedua dilakukan sebagai dokter. Kurasa aku tahu batasnya. Eric yang sinis sedang berusaha baik kepada anak dari calon ibu tirinya.
"Sudah baik. Terima kasih." Aku sengaja bersikap formal kepadanya.
Tidak ada balasan lagi dari Eric dan kurasa juga memang tidak perlu. Bila orang tua kami menikah, sebenarnya Eric dan aku tetap sebagai orang lain. Tidak ada hubungan apa pun. Begitulah dia akan memandangnya.
Tetapi senyum Eric dan perhatiannya membelikan topi juga gaun … membuatku berpikir kembali, apakah itu dilakukan hanya sebagai sopan santun atau dia iba kepadaku? Oh aku terlalu lelah untuk memikirkan semua ini. Aku sangat mengantuk dan kupejamkan mataku serta mengusir semua pikiran-pikiran yang menggangku.
Aku segera tertidur namun menjelang pagi terbangun oleh mimpi buruk. Aku berlari kencang untuk menghindari sekelompok orang yang mengejarku. Wajah mereka seram tetapi aku mengenali Kenny, Nuggie, Eric, Hardy, Hendra, Jan, Corr… semua laki-laki mengejar sambil meneriakkan namaku.
Aku hanya merasa harus menghindari mereka karena ada ancaman bahaya bila tertangkap. Aku berlari terus sampai di sebuah teping dengan jurang jauh di bawah. Kulihat para pengejar yang semakin dekat… Aku berteriak sekencang-kencangnya seolah teriakan itu dapat menghentikan para pengejar. Aku terbangun dengan tubuh berkeringat dan nafas cepat.
Pelan-pelan aku menenangkan diri lalu mengambil air minum dan meminum habis segelas air putih yang sedingin es. Kepalaku terasa sakit. Jam menunjukkan pukul tiga.
Kuraih HP dan kubuka. Ada satu pesan dari Eric.
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu, kapan bisa bertemu?"
"Sleep tight sweet Laura."
Tiba-tiba aku menangis dan bingung . Apa yang aku inginkan?
"Help me!" tanpa berpikir kukirim pesan itu kepada Eric.
Eric menelpon.
"Laura, apa yang terjadi? Kamu dimana?"
Aku menangis seperti ada yang sangat kuinginkan, aku ingin ada teman bicara yang bisa memahamiku tetapi aku tidak tahu apa yang harus kubicarakan. Dadaku berdebar-debar.
"Laura, let me help you, kamu dimana?" Suara Eric terdengar panik.
"Aku… aku di rumah teman,… tidak ada apa-apa." Kataku.
"Ambil nafas… apakah kamu sendirian? Apakah bermimpi? Duduk dan ambil nafas dalam-dalam." suara Eric terdengar tenang.
Aku duduk dan mengikuti sarannya, mengambil nafas dalam-dalam tetapi belum bisa menghentikan tangisku. Kenapa akhir-akhir ini aku menjadi cengeng? Lima tahun aku mengembara dan mengembangkan bisnis bersama ibu, aku menjadi perempuan yang tegar dan tegas dalam mengambil keputusan. Tetapi sekarang aku menjadi mudah tersinggung, bingung, panik dan cengeng.
"Kalau mungkin, minumlah." Kata Eric.
"Sudah, aku baru minum."
"Jadi kamu tidur, bermimpi? Mau bercerita? Supaya lega."
"Maaf membuatmu terbangun."
"Sedang dinas malam. Biasa tidak tidur. Mimpi apa Laura sampai kamu panik?"
"Oh…aku hmmm…" aku mengusap air mata. Masih ragu untuk bercerita atau menumpahkan perasaan kepadanya karena Eric baru kukenal tiga hari yang lalu.
"You have me, little girl." Dia meyakinkanku. Sikapnya benar-benar seperti seorang kakak.
" Eric… aku terharu broer."
Senyum Kenny terbayang juga pelukan dan ciumannya. Aku ingin berada di dalam pelukan Kenny dan merasa aman bersamanya, tetapi foto foto dan video tadi membuatku bergidik.
"Mungkin kamu bisa putar musik yang bisa membuatmu rileks dan tidur lagi," suara Eric terdengar lembut, membangunkanku dari lamunan.
"Akan kucoba."
"Jam berapa besok kujemput?"
"Ehmmm hmmm aku ada janji makan siang, rencananya kembali ke Amsterdam malam hari."
" Alright, you don't need me."
Ini cowok peka juga, sebentar lagi mungkin bakal keluar sikap sinisnya.
***