Seorang perawat mengantarku ke ruang kerja Eric dan mempersilakan aku berbaring di sofa. Dia segera meninggalkanku setelah menutup pintu.
Luas ruang tersebut sekitar 16 meter persegi, dipenuhi dengan satu set meja kerja kecil, satu meja kaca bundar tinggi dengan empat kursi, dan satu sofa yang diletakkan merapat di dinding dan saat ini kududuki. Di samping meja kerja terdapat rak buku, dengan lemari kaca yang berisi beberapa kotak-kotak kecil, obat-obatan dan satu gantungan jaket, topi. Di situ tergantung jaket , topi dan syal, tentunya milik Eric.
Meja kerjanya rapi tetapi nyaris tidak ada barang pribadi, hanya alat tulis dan peralatan medis. Sebuah pigura dengan foto Jan, Eric yang masih remaja serta perempuan yang kuduga sebagai ibu Eric. Pigura itu satu-satunya benda pribadi miliknya. Di dalam foto itu Eric yang bertubuh jangkung, tertawa lebar. Gambaran keluarga yang bahagia, namun mengapa kedua orang tuanya bercerai? aku bertanya di dalam hati.
Di dekat kursi kerjanya ada lemari es kecil dan kotak biskuit di atasnya serta mug poselain motif biru-putih khas Delft.
Aku berjalan menuju cermin dan wastafeldi salah satu sudut ruang tersebut untuk bercermin. Wajahku terlihat kusam, rambut awut-awutan dan kening berbalut perban dan plester yang sangat menyolok. Rasanya aku harus melakukan sesuatu untuk membuat keningku tertutup bila esok pagi menghadiri pembukaan pameran buku.
Kubuka kran air di wastafel dan membasuh wajahku pelan-pelan untuk membersihkan bekas air mata dan debu, juga ada sidikit darah kering di dekat lekuk hidung.
Jika ibu mengetahui keadaanku, dia pasti akan panik. Aku berharap ibu sudah tidur nyenyak dan tidak mencariku di kamar.
Aku berbaring di sofa mencoba tidur dengan memejamkan mata. Suasana sangat sepi dan aroma jeruk dan mint yang mungkin bersumber dari pengharum ruangan membuatku merasa tenang. Kubayangkan kembali kejadian hari ini, sejak tiba di bandara Schiphol, bertemu Jan, memesan kamar hotel, mengunjungi rumah Jan dan bertemu Eric yang angkuh dan sinis kemudian kiriman email dan foto-foto Kenny, serangan oleh pria mabuk dan berakhir di rumah sakit ini.
Kesedihan itu muncul kembali terutama ketika mengingat foto-foto Kenny dan Marina yang membuatku meragukan kembali cinta Kenny kepadaku. Aku juga mencoba memikirkan siapa orangnya yang kira-kira berusaha memisahkan kami dengan provokasinya ini.
Aku berada di Belanda bukan untuk melancong dan melamun, melainkan mewakili perusahaan keluarga untuk mengikuti pameran buku. Tugasku melihat trend buku, kemajuan bisnis penerbitan, pemanfaat teknologi untuk bisnis ini. Ibu ingin menjalin kerjasama dengan penerbit Belanda untuk menerbitkan buku-buku kami dalam bahasa Belanda. Aku harus bisa menolong ibu mewujudkan keinginannya, bukan malah tenggelam dalam urusan pribadi seperti ini. Tetapi kejadian hari ini memang mengguncang dan membuat aku linglung, termasuk dalam menghadapi sikap sini Eric pada awal pertemuan. Dia sempat mengatakan tidak mau repot mengurus jika aku sakit karena terpapar udara dingin, eh ternyata aku malah datang ke kliniknya dengan jidat bolong! Kesal banget dengan peristiwa ini, aku memukuli kepalaku sendiri sambil menangis. Kalau saja bisa memutar waktu, aku ingin mendapat hari yang berbeda.
Tiba-tiba pintu terbuka dan Eric menerobos masuk. Dia masih sempat melihat aku memukuli kepalaku.
"Perlu perawatan lain? Ke psikiatri?" tanya Eric, kembali ke sikap aslinya yang selalu sinis. Aku menatapnya dengan mulut menganga. Apakah dia tidak bisa bersikap lebih ramah sedikit? Apakah dia benar-benar membenci kami karena hubungan ibu dan Jan, ayahnya? Hanya sejenak tadi dia bersikap manis dan lembut saat merawatku. Belum sempat aku berterima kasih atas bantuannya itu, namun dia sudah membuatku jengkel lagi. Kutatap matanya sambil mengembus nafas untuk mengeluarkan kejengkelan. Aku harus mampu menekan rasa jengkel dan rasa sedih.
Kugigit bibir bawahku sambil duduk dan merapikan pakaian.
"Kamu berjanji mengantarku ke hotel." Kataku.
Eric tidak menjawab tetapi dia melepas jaket lab dan menggantungnya lalu memakai sweater dan mengalungkan selendang leher, memasang topi.
"Ayo!" katanya.
Aku berdiri namun tubuhku oleng dan aku terjatuh ke lantai. Kakiku terasa lemas. Eric segera mengangkat dan memeluk tubuhku. Tiba-tiba tangisku meledak. Rasa sesak di di dada yang kutahan sejak siang sekarang meledak dan tanpa terkendali aku menangis di dalam pelukan Eric.
"Hari yang berat?" kudengar suaranya dan usapan tangannya di punggungku. Aku perlu pelukan dan penenang seperti ini sehingga aku mengeratkan pelukan kepada Eric. Aku sendiri tidak tahu apakah menganggap dia sebagai seorang dokter atau kakak. Aku mengabaikan sikapnya yang sinis.
Aku bersyukur karena Eric juga memelukku dan terus mengusap punggungku. Setelah air mata terkuras dan isak tangisku mereka, Eric mengajakku keluar dan mengantarku kembali ke hotel.
"Mengapa kamu ada di jalanan sementara hari sudah malam." Tanya Eric sambil mengemudikan mobilnya.
"Ke kios di pompa bensin, untuk membeli SIM Card dan juice. Aku tidak menyangka jalanan sudah sepi dan gelap. Amsterdam, kota besar…"
"Sebaiknya jangan keluar sendiri kalau sudah gelap terutama di lingkungan yang kamu belum tahu." dia menasehati.
Ini kalimat simpati pertama yang diucapkan Eric yang kudengar dalam sehari ini.
Di lobi hotel petugas menyapa kami dan memberikan barang-barangku serta kunci kamar.
"Kami bersyukur Anda sudah mendapat perawatan," kata resepsionis. Aku hanya mengangguk.
Eric mengantar sampai di depan pintu kamar. Aku agak canggung menghadapinya.
"Terima kasih untuk semua pertolonganmu dan maaf karena aku sudah benar-benar merepotkanmu." Kataku sambil menunduk, teringat kata-kata sinisnya siang tadi.
"Laura, kuharap kamu bisa beristirahat dengan baik. Jangan lupa besok pagi aku tunggu dokumen asuransimu, foto copy passport untuk urusan administrasi." Kata Eric. Dia tidak menjawab pernyataan terima kasihku. Mungkin dia tidak merasa perlu. Suka atau tidak suka tadi aku datang sebagai pasien dan dia adalah dokternya.
"Aku bisa memberikannya sekarang." Kataku.
"Nee, tidurlah. Besok pagi saja pukul 09.00 di lobi. Um jaga lukamu jangan tersiram air agar tidak infeksi." Katanya. Aku mengangguk.
"Selain surat asuransi, berapa aku harus membayar? Aku juga masih meminjam uangmu."
Mata kami masih bertatapan.
"Cukup dokumen yang kuminta saja." Eric merogoh kantongnya dan mengulurkan satu kantong kertas.
"Mungkin lebih baik kamu minum ini, yang ini untuk membuatmu lebih tenang dan tidur, yang ini antibiotic, habiskan selama tiga hari. Apa kamu mengerti?" Gaya bicaranya adalah sikap dokter kepada pasiennya.
"Hemmm mengerti." Aku menerima dan tangan kami bersentuhan. Tiba-tiba Eric menepuk pipiku.
" een goede nacht, mijn zus." Kata Eric. Kali ini kulihat matanya ramah meskipun bibirnya tidak tersenyum.
"Terima kasih, broer!"
Eric mengangguk dan menutup pintu kamar dari luar. Kami berpisah.
Harus kuakui meskipun bersikap sinis, Eric telah membantuku. Dia merawatku dan aku tidak mambayar sepeserpun bahkan tanpa dokumen apapun.
Dalam keadaan emergency rumah sakit memang harus bersedia menerima pasien, tetapi seringkali tindakan perawatan dilakukan apabila dokumen pasien sudah jelas. Tanpa bantuan Eric entah apa lagi yang harus kualami.
Aku minum dua tablet yang diberikan Eric lalu segera membersihkan badan dengan mandi air panas, setelah menutup kepala agar luka yang dijahit tidak terkena air, kemudian tidur. Saat itu sudah pukul 22.30, dan aku benar-benar mengantuk.
Pada saat bangun pagi, aku merasa segar dan sehat, tetapi kebingungan karena dahi yang terbalut perban dan plester sangat mencolok.
Setelah berpikir lama aku akhirnya membungkus kepala dengan selembar pashmina menutupi kepala dan luka, tetapi tidak percaya diri dengan model ini.
Pukul delapan aku ke kamar ibu untuk bersama-sama makan pagi.
"Apa yang terjadi?" tanya ibu dengan wajah terkejut. Aku menceritakan semuanya.
"Laura… kenapa tidak memberi tahu ibu?"
"Saat itu sangat bingung, petugas hotel yang mengantar ke rumah sakit. Sudah aman kok Bu, Cuma aku jadi jelek dengan penampilan ini." Kataku.
Ibu menyarankan aku membeli topi, untuk sementara aku bisa memakai kerudung.
"Jadi Eric yang menolongmu? Dia tidak seburuk penampilannya. Menurut Jan dia anak yang baik." Kata Ibu.
"Kurasa begitu… Bu aku belum punya uang euro."
"Hmmm, setelah ini kuberi. Kenapa kamu kemarin berlari meninggalkan rumah Jan? pasti ada sesuatu yang terjadi." Mata ibu menyelidik.
Aku mengaduk scrambled eggs di piringku. Masih bingung untuk bercerita atau tidak, sebab aku tidak tahu apa reaksi ibu jika mengetahui foto foto Kenny dan Marina.
***