Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 46 - Serangan pria tak dikenal

Chapter 46 - Serangan pria tak dikenal

Makanan yang dikirim Eric sungguh menggoda sehingga membuatku makan dengan lahap. Sup labu kuning, kentang goreng dan ikan goreng bukan sesuatu yang aneh, apalagi masih panas. Meskipun porsinya besar, aku nyaris menghabiskannya sampai kekenyangan. Hanya sedikit kentang goreng dan ikan goreng yang tersisa di piring.

Setelah itu aku membongkar kopor dan mengatur baju-baju di lemari, menata perlengkapan mandi dan mandi shower dengan air panas yang membuatku sedikit rileks. Tetapi setelah semua selesai, aku duduk di kursi dengan kesal karena tas kerja berikut laptop tidak terbawa.

Aku menendang kaki meja karena jengkel pada diri sendiri dan pada keteledoranku.

Tadi aku bahkan tidak sempat menutup email ketika berlari meninggalkan meja kerja Eric. Laptopku juga tanpa password. Aku hanya berharap Eric bukan tipe orang yang usil untuk mengintip layar laptop.

Kurebahkan tubuh di Kasur dan menatap langit-langit. Wajah Kenny terbayang juga foto foto tadi.

Aku rindu pada Kenny, ingin melihat tatapan matanya yang tajam dan penuh cinta, tetapi hatiku terasa pedih membayangkan ada perempuan yang memeluk tubuhnya. Air mataku bergulir pelan-pelan.

Pada awal kami menjalin hubungan yang kutahu Kenny belum pernah memiliki pacar. Aku adalah perempuan pertama yang membuatnya jatuh cinta. Orang-orang di sekitar kami meyakini bahwa Kenny dan aku akan segera menikah. Tidak ada yang pernah menduga bahwa Kenny kemudian memutus pertunangannya denganku dan menikah dengan Marina. Tidak pernah ada yang menjelaskan, bagaimana Kenny yang dikenal tidak pernah menjalin hubungan dengan perempuan lain kecuali denganku, tiba-tiba menikahi gadis lain.

Sakit hati yang dalam membuat aku meninggalkan rumah, antara lain ke Belanda dan Myanmar untuk melupakan Kenny dan rencana pernikahan kami. Aku pergi menjauh karena tidak ingin mendengar apa pun tentang mereka.

Foto-foto itu membuat aku kembali mengingat pengkhianatan Kenny dan meragukan cintanya untuk melanjutkan hubungan ke pernikahan. Dia pernah berkhianat dan mungkin akan kembali melakukannya.

Mengapa aku perlu menikah? dengan siapa aku menikah? bagaimana jika aku tidak menikah? pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepala juga wajah para pria yang mendekatiku. Ada Nuggie, sepupuku, yang berterus terang ingin menikahiku juga dr. Hardy yang baru kenal sudah mengajukan lamaran. Tetapi hanya Kenny yang ada di hatiku.

Ken… apa yang membuatmu tertarik pada Marina? Aku mengeluh di dalam hati ketika mengingat foto-foto tadi.

Siapa yang mengirimkan foto tersebut kepadaku dan mengapa dia mengirimkannya? Apalagi kalimatnya yang menyatakan bahwa Ken adalah pria yang tidak layak kunikahi.

Kubuka email melalui ponsel dan membalas email Kenny.

"I miss you Ken."

Hanya itu yang mampu kutulis karena aku tidak bisa berpikir dengan jernih untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Kenny, kekasihku.

Apakah dia bisa setia, apakah dia tidak akan meninggalkanku lagi? Megapa dia mau menikahiku.

Uhhh apa nama penyakit orang yang ragu dan cemas sepertiku ini? Air mataku masih terus mengalir.

Kepada Nuggie juga kukirim email dan memintanya melacak akun email Hardtosay.

"Nug, tolong ya…" aku memohon.

Kurasa aku terlalu mengantuk dan segera tertidur setelah mengirim email kepada Kenny dan Nuggie, sampai aku terbangun ketika mendengar bel kamar berbunyi. Untuk sesaat aku lupa sedang berada dimana dan dalam situasi apa. Bel kembali berbunyi. Aku turun dari Kasur dan menuju pintu.

Ketika pintu kubuka, sosok ibu berada di depan, menenteng tas kerjaku.

"Nah, ini tas dan laptopmu. Ibu juga mengantuk, selamat istirahat kita sarapan sama-sama besok pagi." Mata ibu melihat ke nampan makanan di atas meja.

"Um… baik Bu. Itu masih ada makanan jika ibu mau." Kataku.

"Ibu sudah kenyang. Sampai besok." Katanya sambil mengusap kepalaku sebelum keluar kamar.

Sepeninggal ibu aku tidak bisa lagi tidur. Kulihat jam, pukul 19.30. Kurasa masih sore, sehingga aku segera berpakaian rapat dengan jaket dan keluar untuk mencari SIM Card telepon dengan operator Belanda agar lebih leluasa menggunakan telepon. Menurut resepsionis, aku bisa membeli SIM Card di kios yang berada di pompa bensin.

Aku berjalan agak cepat menuju tempat tersebut.

Setelah setengah blok, aku merasa jalanan lebih gelap karena gedung-gedung di tepi jalan sudah tutup. Angin bertiup kencang menimbulkan suara berisik, bersiut-siut dan dedaunan yang bergoyang. Kupercepat langkahku. Lega rasanya ketika akhirnya tiba di pompa bensin yang terang benderang. Aku masuk ke kios dan membeli SIM Card serta seliter susu, juice apel dan sekantong kripik jagung.

Di kios ada seorang pembeli lain yang mendahuluiku. Laki-laki muda yang memakai tutup kepala dan berjaket tebal. Pada saat aku keluar dari kios, pria itu sedang minum bir di depan kios. Mata kami sempat bertatapan. Aku kurang memperhatikannya dan kembali berjalan ke hotel. Selang beberapa saat aku merasa ada langkah di belakangku. Pria tadi rupanya berjalan berjarak kira-kira tiga meter di belakangku. Kehadirannya sedikit melegakan karena sebentar lagi aku akan melewati gedung tua yang jendela kayunya terbuka dan menutup ketika angin bertiup. Kegelapan, suara angin, gedung tua dengan jendela yang terbuka, membuatku membayangkan film horror. Bulu kudukku berdiri. Aku mempercepat langkah. Kudengar langkah di belakangku juga menjadi cepat dan semakin dekat. Aku menengok untuk memastikannya. Tiba-tiba pria itu menarik lenganku.

"Hey…!!!" seruku.

"Berikan tas-mu!" Suaranya yang serak berbisik dan menebarkan aroma alcohol. Oh dia bukan orang baik-baik.

"Tidak, aku tidak punya uang, isinya hanya surat-surat yang tidak berguna bagimu." Kataku sambil menatap matanya.

Sekilas aku melihat sekeliling dan berharap ada orang-orang yang berjalan atau bersepeda di sekitar kami. Jalanan sangat sepi dan gelap lantaran lampu-lampu jalanan yang temaram tertutup dedaunan.

Pria itu menarik tas tangan yang kugenggam dan aku mempertahankannya, membuat kami berebutan.

"Baik, aku hanya mau uangnya!" Dia melotot. Mendengar kata-katanya aku mengendurkan pegangan pada tas tersebut.

"Ambil uangnya." Tadi aku hanya memasukkan uang pemberian Eric yang jumlahnya tidak banyak. Aku sudah mengeluarkan semua uang rupiah dan menyimpannya di tas kerja.

Pria itu membuka tas, mengobrak-abrik isinya dan memaki-maki karena hanya menemukan tiga lembar uang euro yaitu dua pecahan lima dan selembar pecahan sepuluh.

Aroma alcohol sangat kuat menguar dari mulut dan hidungnya.

"Oh … gadis miskin! Kalau begitu aku menginginkanmu." Katanya sambil mendekat dan mencoba memelukku. Aku merngelaknya sambil merebut kembali tasku. Dia terlalu kuat tetapi Nuggie pernah mengajarku beberapa cara meloloskan diri dari serangan seperti ini yang segera kupraktekkan. Aku berhasil menendang kemaluannya dan mencakar wajah pria itu derngan kuku-kukuku. Tas belanjaanku terjatuh.

Pada saat pria itu melepas peganganannya aku terjerembab dan dahiku terantuk cobblestone. Dengan berpikir cepat aku berlari meninggalkannya ketika dia masih bergiling kesakitan memegang kemaluannya. Rupanya ada darah yang mengucur dari luka di dahi.

Pada saat tiba di hotel petugas resepsionis mengenaliku.

"Ya ampun… apa yang terjadi?" dia menatapku dan berjalan mendekat.

"Please help me…" kataku sambil terduduk lemas di lantai. Tubuhku gemetar.

Petugas mendekatiku dan mengangkat tubuhku ke kursi.

"Ma'am, apa yang terjadi?" dia memerintahkan orang untuk mengambil handuk dan air es. "Ada yang menyerang… um… tolong hubungi Eric … Eric Van Dijk," aku merogoh kantong jaket dan memberikan kertas berisi nomor telepon Eric yang tadi kucatat setelah dia mengejanya dengan cepat.

"Namaku Laura." Kataku.

Petugas hotel memberikan handuk kecil yang dingin dan seseorang membantu membersihkan darah dari dahiku, sementara resepsionis menelepon.

Darah mengucur dari luka di dahiku.

"Kami akan mengantar Anda ke rumah sakit. Dr. Van Dijk sedang bertugas di sana," kata resepsionis. Dia dengan cekatan memberi perintah kepada petugas yang lain. Aku tidak sempat berpikir lain kecuali mengikuti mereka.

Tiba di rumah sakit kepalaku terasa pusing, aku tidak tahan mencium bau darahku sendiri. Bayangan wajah pria itu, aroma alcohol dan jalanan yang gelap membuatku bergidik. Kalau saja pria itu berhasil menarikku, entah apa yang akan terjadi.

Kami tiba di rumah sakit. Eric dan seorang perawat sudah menunggu. Dia mendekat dan melihatku. Darah dan air mata memenuhi wajah sedangkan tubuhku masih gemetar.

"Kamu sudah aman, kami akan merawatmu." Kata Eric. Dia terlihat peduli dan ramah, tidak sinis seperti biasanya. Aku ingin dipeluk.

"Eric, help me…" kataku. Dia mengangguk tetapi tidak memeluk.

Perawat membersihkan lukaku dan Eric memberinya perintah dalam bahasa Belanda.

"Apakah kamu punya asuransi kesehatan?" tanya Eric.

"Ada. Di hotel."

"Lukamu dalam, kami harus menjahitnya. Nanti kami perlu dokumen asuransimu."

Aku tidak bisa berpikir lagi kecuali pasrah. Eric menjelaskan dia akan menyuntikkan bius lokal dan menjahit lukaku.

Kuraih tangannya dan mencengkeramnya.

"Tidak akan sakit, aku juga menggunakan benang yang bagus. Kamu tidak ada keloid?"

Aku memejamkan mata.

"Take a deep breath… tahan sedikit aku akan menyuntik." suara Eric terdengar dekat.

Aku mendengar percakapannya dengan perawat sementara dia menangani lukaku.

Entah berapa lama proses tersebut berlangsung, aku berbaring diam sambil mengingat semua kejadian hari ini. Kurasakan air mata yang mengalir hangat.

Tiba-tiba kurasakan jari Eric mengusap air mataku. Hangat dan lembut.

"Laura, sudah selesai. Satu jam lagi jam kerjaku selesai dan aku bisa mengantarmu kembali ke hotel, atau kamu mau sekarang aku bisa memanggilkan taksi." Kata Eric.

Aku belum menjawabnya karena bingung memilihnya.

Tetapi Eric segera meminta perawat membawaku ke ruang kerjanya.

"Tunggu saja aku di sana, satu jam tidak akan lama." Katanya. Aku mengangguk.

***