Aku berjalan di trotoar yang lebar sambil merapatkan syal menutup leher untuk mengurangi hawa dingin di tubuhku. Udara di luar terasa dingin menusuk. Airmataku masih mengalir mengingat foto-foto Kenny dan hatiku kesal pada sikap Eric yang sok mengatur.
Pada saat berada di tikungan jalan aku berhenti, tidak tahu harus mengarah kemana. Belum ada tanda-tanda ada penunjuk arah ke stasiun. Aku berhenti untuk menunggu orang yang lewat. Dari kejauhan aku melihat seorang laki-laki naik sepeda dari arah kiri.
Aku menatapnya dan menunggu hingga dia cukup dekat untuk kusapa. Aku mengusap sisa air mata di pipiku.
"Helo, kemana arah stasiun?" seruku kepadanya.
Pria itu berhenti di depanku.
"Stasiun? Lurus dua blok lagi lalu belok kanan." Dia menjawab lalu melanjutkan mengayuh sepedanya.
"Danke" kataku. Pria itu hanya melambaikan tangannya. Jaketnya yang terbuka terlihat melambai tertiup angin.
Trotoar lumayan luas dan bersih, di sepanjang jalan terlihat rumah rumah dengan halaman cantik, penuh bunga, tetapi aku hanya melihat sekilas dan belum bisa menikmatinya. Pikiranku tertuju kepada Kenny dan pengirim email bernama Hardtosay.
Aku menarik nafas panjang dan berpikir lebih tenang. Kenny dan Marina adalah suami istri. Tidak ada yang salah dengan adegan tersebut, karena mereka adalah suami istri, meskipun hatiku merasa tercabik-cabik. Tetapi yang menjadi ganjalan adalah, bagaimana situasi intim seperti itu bisa tersebar keluar? Siapa yang menyebarkan foto-foto itu dan mengapa ada orang yang mengirimkan foto tersebut kepadaku. Kalimat yang menyertainya juga memperingatkan bahwa orang seperti Kenny tidak layak menjadi suamiku.
Siapa pun pengirimnya, dia pasti tidak tahu bahwa itu foto lama dan Marina sudah meninggal.
Ketika melewati blok kedua aku teringat belum mempunyai uang euro. Pada saat ibu menukar uang di bandara, semua uang euro disimpan di dompet ibu. Aku bahkan tidak mempunyai uang dollar. Rasanya tidak mungkin money changer mau menukar rupiah ke euro.
Tepat di perempatan terakhir, aku berhenti menunggu lampu untuk menyeberang.
"Laura!" seseorang memanggil dari mobil yang berjalan lambat di kananku.
Kaca mobil terbuka dan kulihat wajah Eric. Dia menunjuk ke seberang.
"Aku tunggu di halte." Katanya.
Kulihat mobilnya melaju dan berhenti di depan halte bus.
Aku tidak tahu, merasa senang, lega atau harus bersikap angkuh menghadapi Eric. Tanpa uang euro aku tidak mungkin bisa membeli karcis kereta untuk ke hotel.
Terpaksa aku harus menerima kebaikannya.
Setelah menyeberang dan mendekati halte, kulihat Eric keluar lalu berdiri di depanku
"Ibumu bilang kamu tidak membawa uang. Mau aku antar atau mau aku beri uang untuk beli tiket kereta?" Eric bertanya. Mata coklatnya menatap lurus.
Aku tidak menjawab melainkan memandangnya dengan bibir terkatup. Aku benci mengakui kekalahan ini.
"Masuk ke mobil, aku akan mengantarmu." Kata Eric sambil membuka pintu mobil dan mendorong tubuhku. Aku masuk dan duduk di mobil.
Pada saat mobil mulai berjalan aku menyebut nama hotel. Dia mengendarai mobil tanpa berbicara dan aku tentu saja juga tidak berminat untuk membuka percakapan dengan Eric.
"Apakah kamu selalu reaktif?" tanya Eric tiba-tiba. Aku meliriknya. Eric selalu menuduh dan memberi judgement.
"Sebagai anak tunggal, laki-laki, dokter, apakah kamu selalu merasa dominan? Kamu juga meremehkan kami dan memandang rendah ibuku. Itu yang kumaksud kamu tidak dewasa." Kataku menumpahkan kekesalan.
"Tentu saja aku harus meyakinkan bahwa papi tidak salah memilih perempuan. Di luar sana banyak perempuan mencari suami tua yang akan dikeruk hartanya saja." Jawab Eric. kata-kata Eric sangat menusuk. Aku berpikir bahwa orang Eropa merendahkan kami, para perempuan dari timur.
"Apa kamu pikir ibuku seperti itu? Dia terlalu tua untuk memikat pria-pria seperti yang kamu gambarkan. Dengan demikian kamu juga meremehkan Jan. Umm kamu sendiri tidak menikah? pasti sulit mencari perempuan kalau caramu memandang lawan jenis seperti ini."
Dia diam tidak bereaksi atas kata-kataku.
"Atau barangkali… kamu tidak suka perempuan?"
"Hah… ngaco!" Eric menengok sejenak. Mata coklatnya membelalak.
"Aku waras dan normal." Kata Eric. Dia bisa tersinggung juga.
Lalu kami membisu kembali, lalu lintas di jalan toll juga lengang.
"Laura, kenapa kamu menangis? Ibumu terlihat sangat cemas dan papi menyuruhku mengejarmu."
Sudah kuduga bahwa Eric mencariku bukan atas inisiatifnya sendiri. Aku tidak harus kecewa. Bukankah dia memang angkuh.
"Bukan urusanmu." Kataku.
"I know."
"Tapi terima kasih kamu mengantarku."
"No problem."
mobil keluar dari jalan tol dan masuk ke kota, melewati jalan dengan gedung-gedung kuno sampai tiba di depan hotel.
"Turunkan di situ, drop-off, terima kasih."
Eric menurut dan menurunkanku di depan pintu lobi. Sebelum aku turun dia menarik lenganku dan menyodorkan segenggam uang koin serta lembaran uang kertas.
"Pakailah. Kamu pasti akan memerlukannya. Kurasa ibumu masih sibuk dengan papiku."
"Thanks aku akan kembalikan besok." Kataku sambil meraup uang dari tangannya.
"Usahakan membeli SIM card lokal supaya kamu bisa dihubungi dan menghubuni kami."
Eric mengeluarkan kartu nama dari box mobilnya.
"Ini nomorku. Jangan kekanak-kanakan, kamu boleh menelpon jika ada yang kamu perlukan." Wajah Eric terlihat berbeda, lebih dewasa dari saat aku pertama melihatnya tadi.
"Aku pernah lama di Belanda dan tahu caranya. Kamu tidak perlu sok baik hati." Kataku sambil keluar dari mobil. Aku menggelengkan kepala karena bingung. Entah mengapa aku juga ingin membuat Eric jengkel. Aku harus membuat Eric tahu bahwa ibu dan aku bukan perempuan yang mencari harta dari pernikahan. Mungkin keluarga Van Dijk lebih kaya dari kami, namun ibu dan aku juga tidak kekurangan uang.
Di dalam kamar aku menghidupkan fasilitas wifie untuk membuka email melalui handphone. Tadi sangat buru-buru meninggalkan rumah Jan sampai aku lupa membawa laptop.
Saat terhubung dengan internet, aku mengirim email kepada Eric.
"Tolong nanti ingatkan ibuku untuk membawa laptopku. Danke."
Kemudian aku membuka email dari Kenny yang tadi belum sempat kubaca.
Email Kenny cukup singkat.
"La, rasanya aku sudah rindu, setiap saat terbayang wajahmu. Hati-hati selama di luar, supaya kamu kembali dengan selamat dan melanjutkan rencana kita. I adore you, Laura."
Kenny Williams, calon suami yang kucintai. Aku tidak ingin kehilangan dia lagi. Kubalas emailnya.
"Berkat doamu, aku akan lebih berhati-hati. Banyak cinta untukmu Ken." balasku. Kurasakan pedih di hati membayangkan foto-foto tadi tetapi aku tahu bahwa Kenny tidak bersalah, sebab foto dibuat ketika dia menjadi suami Marina.
Lalu aku teringat email dari pengirim misterius, Hardtosay.
"Laki-laki seperti ini tidak layak menjadi suamimu." Siapa dia dan apa maksudnya mengirim email disertai ucapan tersebut. Jelas sekali ada orang yang ingin menjauhkan Kenny denganku.
Rasanya aku ingin menghapus email yang berisi foto-foto Kenny dan Marina, namun aku tidak akan bisa melacaknya bila email itu aku hapus. Kukira aku harus menyimpan alamat emailnya dan meminta bantuan pada Nuggie atau orang IT di kantor untuk melacak identitas pengirim gelap ini.
Aku membalas email tersebut tanpa membuka lampirannya.
"Terima kasih atas peringatannya. Tapi saya tidak perlu apa pun dari anda, orang yang tidak saya kenal." Tulisku.
Terdengar bel pintu kamarku.
"Room service." Seru seseorang dari balik pintu.
Aku mengernyit. Pasti untuk kamar sebelah atau kamar seberang, sebab aku tidak memesan makanan.
Aku mendiamkannya. Bel pintu dibunyikan kembali. "Room service," seru suara yang sama.
Aku berjalan ke pintu dan membukanya. Seorang staf hotel berdiri dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman.
"Maaf mungkin salah kirim," kataku.
"Tidak ini benar." Katanya.
"Tetapi saya tidak memesan…"
Petugas hotel menunjukkan nota dengan dagunya karena kedua tangannya memegang nampan. Aku mengambil kertas tersebut dan melihat nomor kamarku serta jenis pesanan. Kuperhatikan lagi, nama pemesannya EV Dijk.
"Baiklah, silakan masuk." Kataku.
Petugas masuk dan meletakkan nampan berisi makanan lalu berpamitan dengan sopan.
Kubuka penutup makanan, ada sup jamur, kentang goreng , ikan goreng, salad dan ice cream.
Telepon kamar berbunyi dan aku mengangkatnya.
"Katanya kamu suka makanan panas, selamat menikmati."
"Eric?"
Telepon ditutup. Pasti itu Eric, sesuai dengan nama pada nota pemesanan yang sudah dibayar.
Bener-bener sok tahu dan sombong, tetapi es creamnya menggoda, juga semua makanannya.
Kuraih mangkuk es krim dan mulai menyantapnya. Persetan dengan Eric!
***