"Astaga!"
Aku terlonjak resah kala mendapati hari telah pun berangsur-angsur gelap. Tadi, beberapa saat setelah merendam pakaian kotor bayi serta nifas istriku, sedianya aku hanya rebahan, sekedar menunggu deterjen larut dengan baik pada pakaian-pakaian yang aku rendam. Namun, siapa sangka jika keletihan di sepanjang hari ini telah membuatku tertidur.
Sadar tengah berpacu dengan waktu, gegas pulalah aku menuju kamar mandi.
Di kamar mandi, aku sudah sempat mengucek beberapa potong pakaian, saat Rania, istriku, tiba-tiba datang menyentakku.
"Astaga! Bary? Simpan, simpan! Kau mau bunuh kami, ya, nyuci malam-malam begini?"
Dikejutkan Rania, gegas aku bangkit dari dudukku. Sedetik kemudian, meskipun harus berseteru dengan diri sendiri, pada akhirnya aku beredar, meninggalkan Rania, juga baskom berisi rendaman cucian.
Beberapa langkah beringsut membelakangi kamar mandi, tiba-tiba saja pula bayi kami yang baru berusia enam hari, dan bahkan belum sempat kami beri nama, terdengar menangis dengan suara yang serasa hendak memecahkan gendang telinga.
Rania pun mungkin merasakan hal yang sama. Langkah Rania tampak tergesa-gesa menuju ke kamar tidur, tempat di mana bayi kami berada.
Rania sudah berada di kamar sejak lima menitan yang lalu, tetapi tangis bayi kami belum juga kunjung reda. Risau, aku pun beringsut menghampiri mereka.
"Kenapa, dia?" tanyaku.
"Ah, biasalah," jawab Rania. "Namanya juga bayi, kalau tidak tidur, ya, nangis kayak gini."
Rania menjawab dengan nada datar, seolah-olah ini adalah hal biasa dan tidak perlu dirisaukan.
"Tapi, suaranya itu ...."
"Tidak ... tidak apa-apa!" potong Rania.
Mendapati ucapan Rania yang seperti itu, aku mundur, meninggalkan Rania dan bayinya di ruangan remang-remang, ruang yang hanya menggunakan teplok sebagai alat penerangnya.
Aku beredar menuju ruang belakang, menyeduh segelas kopi, sebelum akhirnya ia menuju beranda depan.
Di beranda, ditemani segelas kopi dan linting-linting tembakau bambu, di situ aku coba menenangkan diri, merenungkan banyak hal.
Selinting tembakau baru saja usai aku sulut. Ini adalah linting yang kesekian. Kuisap dalam-dalam, sambil sesekali menyelinginya dengan tegukan kopi. Ada rasa pahit yang terselip di setiap tegukannya.
Keheningan, isapan rokok, dan cekatnya kopi tumpang tindih dalam rasa serta pikiran ini. Sehingga, semua ini seolah hendak memadukan antara sugesti yang telah kami yakini semenjak turun-temurun, dengan perihal apa yang membuatku begitu gamang di ketika ini.
Rumor yang beredar, mengatakan, pamali besar jika mencuci pakaian bayi, dan bercak nifas di malam hari. Tangis bayi kami yang belum juga ada tanda-tanda jika akan reda, mungkin itu adalah sedikit pembenaran, jika sugesti itu memang benar adanya.
Namun, di sisi lain, jika hanya membiarkan semua pakaian kotor tersebut tanpa membereskannya, itu sama dengan secara tidak langsung sengaja mengundang para penganut ilmu hitam, untuk datang melakukan ritual pesta pora di rumah ini.
Betapa dilema yang paripurna.
Malam terus beringsut. Di tengah upayaku menjinakkan resah, tiba-tiba pula aku dikejutkan dengan melintasnya sesemakhluk---seekor Kucing.
Kucing.
Di mana pun di muka bumi ini, Kucing pasti memiliki ukuran kaki yang ke semuanya sama panjang. Namun, tidak dengan makhluk yang terlihat olehku di ketika ini. Sangat jelas bahwa sepasang kaki bagian belakang, jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan dua kaki di bagian depannya. Hingga apabila berjalan, Kucing ini lebih menyerupai cara manusia berjalan-merangkak dengan menggunakan kedua kaki dan kedua tangan secara bersamaan. Cara berjalan Kucing yang satu ini, sungguh jauh dari kelaziman.
"Itu sudah!" gumamku setelah barusan aku hanya diam hingga beberapa saat lamanya. Makhluk tersebut sudah membuatku terkesima.
Seembusan napas kemudian, serta-merta kuraih keris seukuran golok kecil yang terselip di pinggangku. Keris berkelok yang tajam di kedua sisinya ini, memang sengaja senantiasa aku siagakan pada sepekanan terakhir, pasca kelahiran bayi pertama kami.
Usai yang demikian, sigap aku melompat ke arah Kucing tersebut.
Mungkin menyadari gelagatku, Kucing itu menoleh. Sempat sejenak saling tatap, pada akhirnya ia memalingkan wajah, melanjutkan langkah, lalu menjauh.
Tidak ingin kehilangannya, aku pun mengayun langkah. Namun, sayang! Baru beberapa langkah, kedua kakiku tiba-tiba saja terasa kaku laksana terpasung bumi. Sadar ada yang tidak beres, segera pula aku berkomat-kamit, melafazkan mantra-mantra.
Beberapa saat kemudian, berhasil, aku pulih semula.
Aku baru saja memulai langkah, sedangkan makhluk tersebut sudah keburu menjauh, menghilang ke dalam kegelapan malam. Masih berharap dapat menyelesaikan urusan dengannya, coba pulalah aku mengikuti jejaknya hingga ke mana ia menghilang. Yakin belum terlalu jauh, aku pun menerobos ke kegelapan searah dengan perginya makhluk tersebut.
Hutan kecil di ujung desa.
Suasana cukup mendebarkan. Selain suara Jangkrik dan desir angin yang berembus di celah-celah pepohonan, tidak apa pun lagi yang terdengar di dalam hutan yang ada di salah satu sudut kampung ini. Bersamaan dengan itu, perlahan bulu kudukku berdiri satu-satu.
Aku sedikit gentar dengan aura mistis yang tiba-tiba muncul ini. Namun, disamping sudah terlanjur berada di area hutan kecil, tempat yang aku yakini sebagai tempat terakhir menghilangnya Kucing barusan, aku juga terdorong oleh rasa penasaran, serta hasrat untuk mendapatkan buruan. Karenanya, semua itu membuatku nekat untuk melawan rasa gentar dalam diri sendiri.
"Jangan takut, Bary, jangan takut!" bisikku coba untuk menyakinkan diri sambil terus merangsek ke dalam kegelapan.
Tidak berapa lama kemudian.
Samar-samar aku melihat seperti adanya bayangan yang bergerak-gerak dari balik sebatang pohon, tidak seberapa jauh di sana.
Siaga penuh.
Keris kugenggam dengan begitu erat. Sangat erat. Lalu, hati-hati aku beringsut maju, berjalan setengah membungkuk, menghampiri muasal bayangan tersebut.
Selang kemudian ....
"Jangan Bary! Ini saya!"
Suara itu menggema, membelah kesunyian malam, mengadang ayunan keris yang hendak aku hunjamkan.
Nyaris! Nyaris saja.
Andai saja aku tidak mengenali dengan jelas pemilik suara ini, maka niscaya malam ini akan ada mayat yang jatuh menggelepar di hadapanku.
"Kamu? Kamu bikin apa di sini?"
"Saya ... cari Mangga," jawabnya.
Cari Mangga? Sejak kapan ada pohon mangga di sekitar sini? Meskipun aku bukan orang asli desa ini, tetapi aku tahu persis kondisi hutan kecil ini. Saban waktu aku ke sini, bagaimana mungkin aku bisa percaya? Namun demikian, aku tidak tahu bagaimana cara untuk mendebatnya.
"Jangan-jangan ini ... o, tidak!"
Resah, seketika itu juga aku berlari pulang. Sesampainya di rumah, gegas aku menuju kamar tempat di mana bayi kami berada.
"Oh, syukurlah!" gumamku lega.
Walaupun dalam kondisi remang-remang, aku masih bisa melihat bayi kami dalam keadaan baik-baik saja.
"Alhamdulillah ...." gumamku lagi.
Tidak berapa lama kemudian, aku beringsut meraih teplok, lalu mendekatkannya pada tubuh bayi. Satu tanganku memegang teplok, sedang tanganku yang lainnya aku gunakan untuk menyentuh tubuh bayi.
Saat menyentuh seputaran wajah, aku mulai merasa ada yang aneh dengan bayi ini. Tubuhnya tak lagi merespon sebagaimana biasanya. Penasaran, aku menyatukan jari telunjuk dan jari tengah, kemudian mendekatkannya ke hidungnya.
O, Tuhan, aku tidak lagi merasakan adanya pernapasan di sana. Sedetik kemudian, merasa kurang yakin, juga ingin memastikan, aku membuka kain sarung yang membalut tubuh mungilnya.
"Ya, Allah! I-ini?"