Chereads / WURAKE / Chapter 3 - Rania Yang Misterius

Chapter 3 - Rania Yang Misterius

Sepulang dari melayat, agar arwah tidak ikut masuk ke dalam rumah, usai memberi salam, kami tidak akan langsung menjejakkan kaki ke dalam rumah sebelum di seputaran belakang lebih dulu dilemparkan abu dapur. Atau, boleh juga menggunakan percikan air sebagai pengganti abu dapur. Usai yang demikian, barulah kami akan masuk ke dalam rumah.

Entah ini hanya mitos atau apa, tetapi hingga saat ini, kami masih melanggengkan keyakinan yang sudah melekat semenjak turun-temurun tersebut. 

***

"Tidak apa-apa, asal hati-hati saja. Sebab, kalau tidak salah, yang kalian bicarakan ini, dia adalah orang yang sangat sakti di kampung ini."

Diam-diam aku mengernyit. Dari mana Rania tahu semua ini? Padahal, barusan aku hanya minta izin untuk ikut perburuan sebentar nanti. 

Aneh!

Belum sempat menimpali, Rania kembali mengucap. Kali ini, semakin Rania berkata-kata, maka semakin tercengang-cengang pulalah aku.

Rania tahu banyak seluk-beluk ilmu hitam yang menjadi momok oleh banyak orang di tanah Bunga ini.

Menurut pengakuannya, meskipun laku ilmu hitam jenis ini, ada sebagian orang yang mendapatkannya bukan berdasarkan keinginan mereka sendiri, tetapi lebih kepada serupa ilmu telur, yang mana ilmu hitam tersebut telah bersemayam dalam diri seseorang sejak ia masih berupa janin di dalam rahim ibunya. 

Kononnya, setiap generasi akan selalu ada, paling tidak satu orang yang akan menjadi inang secara paksa untuk mewarisi ilmu tersebut.

Entah betul atau tidak, tetapi konon ilmu tersebut hanya akan bisa hilang jika trah dari keluarga tersebut, telah habis atau punah dari muka bumi ini. 

Dengan kata lain, hanya terputusnya keturunan keluarga tersebutlah yang bisa mengakhiri perpindahannya.

Sedangkan sebagiannya pula, diyakini telah dengan sengaja mempelajarinya. Konon, rata-rata yang menjadi motivasinya adalah agar mereka tetap awet muda. 

Biasanya, keinginan untuk tetap terlihat awet muda, ini adalah alasan dari kaum perempuan yang nekat bersekutu dengan Setan dalam mendapatkan ilmu ini.

Selainnya adalah untuk misi balas dendam. Kasus terakhir inilah yang paling banyak mendatangkan korban.

Mendengarkan penuturan Rania yang demikian, aku tidak tahu, apakah harus takjub, khawatir, atau justru curiga?

"Kamu banyak tau seperti ini, bagaimana ceritanya?" Aku coba berselidik.

"Sejak kecil, saya sudah sering dengar ini. Almarhumah mama yang sering cerita bagaimana hebatnya ilmu seperti ini."

Rania menambahkan, laku terakhir murid yang mempelajari ilmu ini, ia tidak akan dinyatakan lulus jika ia masih memiliki sedikit saja rasa jijik. 

Sang murid tidak akan pernah bisa menerbangkan kepalanya jika dia belum memakan secara langsung kotoran gurunya sendiri.

"Apakah karena itu orang yang punya ilmu hitam seperti ini, rumahnya rata-rata rumah panggung?" 

"Mungkin, iya, mungkin juga tidak," sahut Rania. "Tapi yang jelas, saat-saat terakhir sebelum mereka dinyatakan lulus, mereka akan turun di bawah kolong, baru mereka liat ke atas. Dia angkat kepalanya begitu, dan."

"Terus?" Aku semakin penasaran.

"Ya, itu, mereka buka mulutnya lebar-lebar. Selanjutnya, gurunya, 'kan ada di atas rumah, tuh! A ... mulailah gurunya BAB di sela-sela lantai. Di situ, 'kan sudah ada mulut muridnya yang menganga lebar."

"Ih, terus?"

"Pokoknya, gurunya itu BAB di mulut muridnya."

"Hi ... jorok betul, ya?" gumamku. "Terus, kotoran gurunya itu diapain. Dimakan gitu, atau ... ?"

"Mama bilang, iya, kotorannya itu langsung ditelan muridnya."

"Hoek!" 

Aku tidak tahan lagi. Sambil menutup mulut menahan muntah, bergegas aku keluar rumah. Di luar, barulah aku mengeluarkan semua apa yang aku tahan-tahan karena rasa jijikku barusan. Setelah itu, aku bergegas menuju kamar mandi. 

Sementara berkumur-kumur, Rania datang menghampiriku. Aku meliriknya sekilas. Tidak seperti aku yang termuntah-muntah, Rania tampak baik-baik saja. Tidak ada mimik geli sedikitpun di wajahnya. 

Terang saja aku merasa heran. Akan tetapi, mungkin ini dikarenakan Rania yang telah terbiasa mendengar, atau membicarakan hal tersebut. Jadi, mungkin adalah hal yang wajar jika dia memiliki semacam antibodi untuk kalimat yang menjinakkan tersebut.

Bahkan, alih-alih merasa jijik, Rania justru bertanya, apakah aku mau, atau punya niat untuk mempelajari ilmu hitam tersebut. 

Tegas aku menjawab : "Saya malah punya niat untuk membunuh para Wurake ini jika punya kesempatan bertemu langsung dengan mereka."

Rania terdiam. Setelahnya, tanpa kata, Rania beredar. Tidak berapa lama kemudian, aku pun menyusul.

Malam terus beringsut. 

Di ruang dapur, lama saling diam, usai menghidangkan makan malam, Rania memberitahuku satu hal lainnya lagi. Di sini, Rania seolah tahu apa yang tengah berkecamuk dalam pikiranku.

"Makan saja dulu. Tidak perlu buru-buru. Tidak terlalu sulit cara mengatasi Wurake itu. Rahasianya, yang penting kamu jangan sampai kaget kalau ketemu mereka."

"Maksudnya?" Aku menatap lekat wajah Rania. 

Rania yang misterius ini, ia hanya tersenyum kecil seraya mengucap, "Makan saja dulu."

Aku tidak memaksa. Pun, usai menyantap beberapa potong singkong rebus, aku pun mohon pamit.

"Tunggulah sebentar! Merokok-rokok dulu, atau apa gitu. Tunggu sebentar, ya! Tunggu sebentar. Jangan pergi dulu," ucap Rania lalu buru-buru keluar rumah. Aku mendiamkannya. 

Tidak berapa lama kemudian, Rania kembali sambil menenteng sepotong batang kelor seukuran pergelangan tangan.

"Untuk apa itu?" Aku menyambutnya dengan kening mengerut.

"Bawa ini. Ini senjata paling ampuh untuk penganut ilmu hitam apa pun," sahut Rania dengan penuh penegasan.

Keningku kian meninggi kala Rania menambahkan bahwa, para penganut Wurake itu semuanya sakti-sakti. 

Konon, para Wurake bukan hanya bisa menerbangkan kepala tanpa badan yang hanya membawa usus menggantung saja. Bukan juga hanya bisa menjelma dalam banyak rupa, tetapi mereka rata-rata kebal senjata. 

Akan tetapi, meskipun demikian, bukan berarti mereka tidak bisa terkalahkan. Mereka juga punya kelemahan.

"Apa kelemahan mereka?" Aku semakin tidak sabar ingin mengetahui kelanjutan ucapan Rania.

"Selain batang kelor ini, satu rahasia kelemahannya. Pukul dengan hitungan tunggal. Tidak penting kuat atau lemahnya pukulan. 

Yang pasti, cukup satu kali pukul saja. 

Seumpama mereka yang duluan nyentuh atau mukul kamu, balas sesuai jumlah sentuhan atau pukulannya. 

Kalau dia mukul kamu satu kali, balas satu kali juga. Kalau dua kali, balas juga dua kali. Begitu seterusnya."

"Misal, tanpa sengaja saya pukul dia dua kali, gimana?"

"Tidak ada istilah tanpa sengaja. Kalau kamu ceroboh, apalagi nekat mukul dua kali, padahal dia mukul kamu cuma satu kali, maka berdoalah! Semoga besok kamu masih bisa lihat matahari pagi."

Cukup, aku tidak lagi bertanya.

Pun, tepat tengah malam, sekali lagi aku pamit usai meminta doa restu dari Rania. Di depan pintu sebelum menjejakkan kaki ke tanah, Rania berucap lagi. Kali ini, sebelum melangkah, Rania memintaku untuk mengetes napas dengan cara memencet salah satu lubang hidung.

"Bagian mana nafasnya yang paling lancar, maka mulailah melangkah pakai kaki yang itu."

Meskipun tidak berminat, tetapi aku turuti saja keinginan Rania.

Astaga! Ternyata benar.

Lengangnya pernapasan, sangat jelas berbeda antara satu lubang hidung dengan lubang hidung lainnya. Aku bahkan sempat mengulangnya hingga tiga kali di masing-masing lubang hidung. 

"Rania? Jangan-jangan Rania ini memang Wurake juga? Astaghfirullah azim, mudah-mudahan bukan, kasian."