Chereads / WURAKE / Chapter 7 - Rania oh Rania

Chapter 7 - Rania oh Rania

Syukurlah. Meskipun sempat riuh, tetapi berkat para Tetua, warga yang barusan berjejalan di sekeliling rumah pak Romi, pada akhirnya berangsur-angsur pergi meninggalkan rumah tersebut. Mendapati itu, aku pun pulang ke rumah.

Setibanya di rumah, meskipun sempat ragu, tetapi pada akhirnya aku ceritakan juga pada Rania tentang kejadian di sepanjang siang ini.

"Rania! Kamu sudah dengar siapa dalang dari keributan di kampung ini?" tanyaku dengan hati-hati.

"Belum," sahut Rania. "Siapa?" 

Aku menghela napas dalam-dalam, lalu menjawab, "Paman kita, Pak Romi." 

Rania, terdiam. Akan tetapi, ekspresinya tampak biasa-biasa saja. Ini tidak seperti yang aku cemaskan.

"Makan dulu! Kamu belum makan, 'kan?" 

Itu yang diucapkan Rania. Aku meluruskan wajah, coba mengintip sekali lagi garis wajah Rania. Biasa saja, tak ada perubahan sama sekali.

"Tolong buatkan saja kopi. Tadi kami sudah makan di rumah Pak Modin," jawabku.

Pun, Rania beredar. Tidak seberapa lama kemudian, ia telah pun kembali dengan segelas kopi. Usai menghidangkannya, Rania kembali beredar. Setelah itu, tidak ada lagi pembicaraan di antara kami.

Aneh! Rania tidak kaget dengan kejadian ini? Aku yang terlalu terbawa perasaan, atau Rania yang tidak peduli?

****

Malam hari.

Aku baru saja hendak terlelap ketika terdengar suara ribut-ribut di luar yang meneriakkan ''Kebakaran!'

Semakin ke sini, semakin riuh orang meneriakkan ucapan tersebut. Penasaran, aku keluar ke depan pintu.

Astaga! Itu di mana?

Aku begitu terkejut. Sesegera itu juga aku rapatkan daun pintu, lalu gegas menuju sumber nyala api. Aku begitu tergesa, hingga tidak sempat lagi walau hanya sekadar mengenakan sandal. Nyala api yang kian membumbung tinggi tersebut, benar-benar memicu rasa ingin tahuku.

Sekira dua ratusan langkah dari sumber nyala api, barulah aku tersentak sempurna.

Itu rumah Pak Romi.

Gegas pulalah aku menghambur, menghampiri sumber nyala api.

"Paman ... Paman! Bibi ... Bibi! Kalian di mana?" Aku mencari-cari sembari coba mengitari nyala api. 

Dari jarak tertentu, aku sudah mengitari lebih dari satu kali, tetapi aku tidak melihat adanya bayangan pak Romi dan keluarga di sekitar rumah yang tengah dilalap si jago merah ini. 

Ke mana perginya mereka?

Kurang dari dua jam, rumah panggung dengan bahan yang didominasi olahan kayu ini, pada akhirnya rata dilahap api.

Meskipun api sudah berangsur-angsur padam, tetapi aku masih berharap akan melihat Pak Romi dan keluarga dalam keadaan selamat. 

Akan tetapi, apa yang aku dapatkan? Tidak ada sama sekali. Aneh!

Beberapa orang warga yang juga berada di sini, tampak hanya pasif di tempat. Entah apa yang mereka lakukan. Sejak tadi, mereka tidak terlihat seperti orang yang hendak datang membantu. Menyadari hal ini, aku menjadi geram pada orang-orang ini.

"Siapa yang melakukan ini ... siapa ... ? Ayo lawan saya! Lawan ... ! Saya tau kalian marah sama pak Romi, tapi setidaknya jangan libatkan anak istrinya. Jahanam kalian semua! Lawan saya! Ayo lampiaskan juga pada saya kemarahan kalian!" 

Aku meledak-ledak, berseru lantang sambil mengitari warga yang ada. Menantang siapa saja yang berhadapan dengan jari telunjukku. Akan tetapi, entah kenapa, tak ada yang menanggapi. 

Tampak warga hanya mematung di tempatnya masing-masing. Sebagian malahan hanya membuang muka.

Puas berteriak-teriak seperti orang kesurupan, kembali aku menurunkan badan, duduk bertopang lutut, lalu diam tanpa kata.

"Ya, Allah ... apa yang sudah terjadi?" gumamku pada diri sendiri.

Aku terus berada di sini. Tidak beranjak ke mana-mana, bahkan hingga tidak ada seorang warga pun lagi yang berada di sekitar lokasi kebakaran ini. 

Marah, kesal, dan sedih, campur aduk dalam pikiranku.

Aku bukannya tidak tahu jika Pak Romi bersalah. Wajar bila ia mendapatkan hukuman. Akan tetapi, walau bagaimanapun juga Pak Romi adalah pamannya Rania. Terlebih istri Pak Romi, Bu Marsinah, sudah sangat banyak 'bersedekah' kepada kami. 

Di kampung ini, hanya pada keluarga Pak Romilah yang menjadi tempat pelarian ketika kami kehabisan beras (jagung).

Diam sambil berpekur, tanpa terasa malam akan segera berganti pagi.

Selang kemudian, samar-samar jingga mulai sembul di ufuk timur. Bersamaan dengan itu, perlahan aku bangkit dari tempat dudukku.

Ketika sekeliling telah benar-benar terang, aku pun mulai beringsut ke tumpukan arang. Hati-hati. aku khawatir akan menginjak sesuatu, seperti sisa nyala api atau semacamnya yang tampak masih ada di antara puing-puing rumah. 

Berapa puluh menit kemudian. 

Aku sudah membolak-balikkan banyak tumpukan arang. Dengan menggunakan tongkat kayu, sudah pula aku mengais-kais bahkan pada abu yang ada. Akan tetapi, hingga lelah menggerogoti tenaga dan pikiran, aku tak menemukan apa yang kucari.

Setelahnya, coba pulalah aku mendatangi rumah-rumah di sekitar rumah pak Romi ini. 

Bertanya. 

Kecuali beberapa orang yang mengatakan 'tidak tahu,' jawaban yang aku dapatkan, semua nyaris senada.

Menurut satu-dua tetangga Pak Romi yang bersedia memberikan keterangan, kemarin saat warga mengepung rumah Pak Romi, istri dan tiga orang anaknya, diyakini berada dalam rumah. Bahkan, kemarin saat warga tengah mengepung rumah Pak Romi, ada salah seorang tetangga yang memergoki Bu Marsinah mengintip dari celah jendela.

Sedangkan Pak Romi sendiri, terakhir terlihat saat petugas keaamanan datang mengantarnya pulang sekira pukul tujuh malam tadi.

Hanya setakat itu yang aku dapatkan. Selebihnya, buntu.

Yakin tidak akan menemukan apa pun juga, dengan langkah lesu, aku memutuskan untuk pulang ke rumah.

***

"Dari mana? Kenapa baru pulang?" sambut Rania di depan pintu.

"Kamu tau rumahnya siapa yang terbakar tadi malam?" jawabku balik bertanya.

"Iya, tau. Tetangga sudah cerita. Kenapa, memang?"

"Lho! Kok, kenapa? Itu rumahnya pamanmu, Rania! Mereka semua tidak ada yang keliatan!"

Aku kesal dengan nada bicara Rania yang terkesan tanpa ada rasa simpati sedikitpun ini. 

"Saya sudah cari di arang sampai abu rumahnya, tapi tidak ada jejak mereka di sana," tambahku.

"O, itu? Mungkin saja mereka semua sudah pergi waktu api mulai menyala."

Aku menahan napas. Lalu, meskipun kian kesal dengan tambahan kalimat dan ekspresi Rania, tetapi pada akhirnya aku menimpalinya juga. 

"Iya. Mudah-mudahan begitu."

"Sudah, sarapan saja dulu. Kamu belum sarapan, 'kan?"

Sebenarnya, aku malas meladeni, tetapi rasa lapar telah memaksa aku untuk menuju meja makan.

"Tadi kamu bilang apa? Cari info dari tetangga-tetangganya Paman, ya?" tanya Rania.

Aku menjeda kunyahanku. "Iya," jawabku lalu kembali mengunyah perlahan-lahan.

"Tidak perlu repot-repot dicari!" ujar Rania lagi. "Tunggu saja, mereka pasti akan kembali, kok!"

Sontak aku meletakkan sendok makan lalu menatap Rania.

"Kenapa kamu begitu yakin, Rania? Sebenarnya, apa yang kamu sembunyikan dari saya?"

Rania tersenyum. Hanya seutas senyum simpul, tetapi sarat akan misteri.