Chereads / WURAKE / Chapter 10 - Mama Yohana

Chapter 10 - Mama Yohana

Pulang dari mengantar Mama Yohana, aku masih sempat berjaga hingga tiga linting tembakau. Sedianya aku berniat berjaga hingga pagi hari. Akan tetapi, rasa kantuk tidak sanggup aku taklukkan. Letih, aku pun mengakhiri berjaga.

Saat terjaga, hari sudah menjelang siang. Buru-buru pulalah aku menuju dapur. Tanpa diawali cuci muka atau hal lainnya lebih dulu, gegas aku raih potongan kayu bakar, menatanya di atas tungku, lalu menyulutnya.

Rutinitas umum warga desa seperti kami pasca wanita-wanita kami melahirkan.

Aku akan merebus air untuk campuran air mandi bagi Rania dan bayinya. Orang-orang kampung seperti kami, meyakini mandi dengan menggunakan air hangat dapat mempercepat proses pemulihan luka dalam yang ada pada tubuh wanita pasca melahirkan.

Rutinitas mandi air hangat begini, biasanya dilakukan setiap pagi dan petang, hingga kurun waktu tiga bulan ke depan. Atau setidaknya hingga empat puluh hari pasca persalinan.

Pun, hari kembali bergulir, kehidupan sehari-hari juga terus berlanjut. Hinggalah di suatu sore, Rania menyampaikan sesuatu.

"Bary! Ada pesan dari Mama Yohana."

Mendengar nama Nama Yohana, dahiku mengkerut seketika.

Setelah hampir dua bulan pasca aku mengancamnya di malam itu, apakah Mama Yohana mengadukanku pada Rania?

"Bary!" ulang Rania.

"I-iya," Aku sampai tergagap. "Apa ... Mama Yohana datang ke rumah ini?"

"Tidak, bukan dia," jawab Rania. "Pagi tadi, cucunya yang datang."

"O .... Hum, terus?" Aku sedikit lega.

"Mama Yohana minta kamu datang ke rumahnya. Cucunya bilang, Mama Yohana sakit keras."

Kembali aku mengernyit. "Apa hubungannya dengan saya?" gumamku dalam hati.

"Kalau sempat, nanti malam pergi temui beliau, ya!" ujar Rania sembari beredar tanpa menunggu persetujuan atau tanggapan dariku.

Usai waktu magrib, meskipun enggan, tetapi demi tidak ingin mengecewakan Rania, aku penuhi undangan Mama Yohana.

"Kalau saya terlambat pulang, tidur saja duluan. Rapatkan saja pintu depan. Ganjal pakai apa gitu!" ujarku.

Rania mengangguk pelan.

Aku sengaja tidak ingin membuat Rania menunggu. Sebab, aku tahu, pasca melahirkan waktu tidur malam Rania sangat terbatas. Rania harus berbagi waktu dengan Rofik, bayi kami.

Pun, usai mengecup lembut kening Rofik yang ada dalam buaian Rania, aku pun beredar.

Sepanjang perjalanan menuju rumah Mama Yohana, tiada henti aku menduga-duga, apa maksud Mama Yohana memanggilku. Jika dia ingin membuat perhitungan, seharusnya dia langsung saja menyerang, tanpa perlu memberi peringatan terlebih dulu. Ini artinya, bukan untuk itu dia minta ditemui.

Lalu, untuk apa?

Pun, sekira lima puluhan langkah sebelum rumah Mama Yohana, mulailah terdengar suara jeritan. Semakin ke sini semakin jelas, jika itu adalah suara orang yang tengah mengerang.

Tidak sabar ingin mengetahui siapa pemilik suara tersebut, aku bergegas hingga berada tepat di depan pintu.

"Assalamualaikum!"

Salam yang aku ucapkan, tampaknya memecah konsentrasi penghuni rumah yang kebetulan pintunya sedang dalam keadaan terbuka.

Karenanya, seketika itu juga aku menjadi tumpuan tatap mata nyaris semua dari mereka yang kebetulan tengah berada di ruang tamu. Hanya anak balita yang tidak menghiraukan kehadiranku.

"Bary! Ayo masuk, Nak!" Bu Afiah, anak tertua Mama Yohanna, dengan tatapan sedikit menunduk, mempersilakan.

Sejenak, seperti ada beban terpendam yang memaksa wajah Bu Afiah untuk kembali menatap lantai, usai mempersilakan aku sesaat barusan. Aku menduganya seperti itu.

Lalu, aku pun masuk dan langsung mengambil tempat, duduk melingkar bersama anak dan cucu-cucu Mama Yohana.

Suasananya tampak kaku.

Kecuali suara erangan dari ruang belakang, dan sesekali anak balita yang tampak sibuk dengan candanya masing-masing, semuanya hening. Diam-diam aku menjiwai satu persatu wajah-wajah yang memperlihatkan raut lesu ini.

"Nenek kalian, kenapa?"

Aku coba membuka percakapan. Tidak ada yang menyahut. Berapa di antara mereka, malah hanya saling tatap.

Ada apa dengan mereka semua?

Lalu, sambil mengarahkan wajah ke arah Pak Arkas, suami Ibu Afiah, aku mengulang pertanyaan senada.

Akan tetapi, menantu Mama Yohana ini pun juga tidak menjawab. Sedetik kemudian, Pak Arkas melempar pandang ke arah Bu Afiah.

Selang kemudian, tampak Bu Afiah bangkit dari duduknya yang langsung diikuti oleh Pak Arkas. Lalu, hampir bersamaan mereka memberi isyarat, memintaku untuk mengikuti mereka. Aku menyanggupi.

Pun, bertiga kini kami sudah berada di ruang dapur.

Di ruangan lain, yang hanya dibatasi beberapa lembar papan dan kain yang dijadikan tirai penutup ruangan dari tempat kami bertiga saat ini, suara erangan semakin lirih terdengar.

Dari jarak sedemikian dekat, akhirnya aku tahu, itu adalah suara erangan Mama Yohana.

"Sudah berapa lama seperti ini?" Jerit lirih Mama Yohana membuatku tidak sabar untuk segera mencari tahu.

Pun Bu Afiah, dengan nada berat mulailah pula ia membuka cerita. Dari tutur Bu Afiah, akhirnya aku tahu, Mama Yohana tengah sekarat.

Konon, ini sudah berlangsung lebih dari sepekan. Tidak siang hari, terlebih pada malam hari, semakin larut malam jeritan Mama Yohana semakin menjadi. Jerit yang diiringi rintihan kesaktian itu, adakalanya tidak ubahnya suara Kambing disembelih.

Pilu menyayat hati.

Sedang Bu Afiah membeberkan banyak hal, aku menyela, "Lalu, apa hubungannya dengan saya?"

"Nah itu dia, Bary," balas Bu Afiah. Tampak Bu Afiah seperti coba mengatur napas.

Di sini, rasa tak nyaman menyergapku. Karenanya, sambil terus mengawasi Bu Afiah dan Pak Arkas, aku pura-pura menggaruk pinggang.

Dengan menggunakan lengan bagian dalam, aku sentuh keris yang ada di balik pinggangku, memastikan keris berkelok ini masih siaga di tempatnya.

"Maaf sebelumnya, Bary! Kami tidak bermaksud apa-apa. Kemarin malam Ibu sempat beberapa kali sebut nama kamu. Itulah kenapa kami panggil kamu ke sini, siapa tau kamu tahu sesuatu yang bisa mengakhiri penderitaan Ibu," ujar Bu Afiah.

"Waduh! Saya ini anak kemarin, Bu! Mana ngerti saya hal-hal seperti ini!" Aku coba menepis Bu Afiah yang telah berpikir terlalu jauh.

"Tolonglah, Bary! Saya yakin Nak Bary bisa membantu kami," ujar Bu Afiah lagi.

"Aduh, Bu ... saya ini anak kemarin yang tidak tahu apa-apa, kasian. Ibu sudah terlalu berlebih-lebihan." Kembali aku coba menepis.

Akan tetapi, semakin aku mengelak, semakin pula Bu Afiah memaksa.

Ada apa dengan Ibu Afiah?

Tidak berapa lama kemudian, karena terus dipaksa, meskipun tidak seberapa yakin, aku pun coba memberi semacam saran.

"Begini, Bu, Pak!" ujarku sambil memandangi keduanya secara bergantian. "Sebenarnya saya tidak tahu apa yang kalian bicarakan ini. Tapi biarlah, mungkin begini saja."

"Kalau kalian tidak keberatan, izinkan saya masuk lihat langsung keadaan Ibu kalian?"

Bu Afiah dan Pak Arkas tampak saling pandang. "Memang kecuali harus dilihat secara langsung dulu?" Kini Pak Arkas yang angkat bicara. "Tidak boleh kasi saran atau petunjuk saja, gitu?"

"Kalau boleh saja, Pak!" balasku.

Di sini, aku kembali curiga pada keduanya. Dengan tidak mengizinkan melihat secara langsung keadaan Mama Yohana, sudah barang tentu mereka ini pasti tengah merahasiakan sesuatu.

Padahal, bukankah Mama Yohana hanya terhalang oleh sehelai kain dalam jarak sebegini dekat? Lalu, untuk apa aku dipanggil ke rumah ini jika tidak diperbolehkan melihat secara langsung?

"Ya, sudah! Tidak apa-apa! Maaf, saya mohon pamit saja kalau begitu," ujarku kemudian.

Aku sudah mengambil ancang-ancang untuk segera berlalu, ketika Bu Afiah tiba-tiba coba menghentikan langkahku.

"Tunggu Bary! Tunggu sebentar!" cegah Bu Afiah, aku menjeda langkah.

"Bu! Sebenarnya ini akan lebih bagus kalau saya lihat langsung keadaan Ibu kalian. Tapi karena kalian sepertinya keberatan, maka baiklah! Saya akan beritahu secara langsung saja."

Lalu, aku pun coba menjelaskan berdasarkan apa-apa yang aku ketahui. Akan tetapi, apa yang aku sampaikan ini, tidak lebih dari apa yang pernah aku dengar dari para sepuh yang pernah ia datangi. Baik untuk mempelajari, atau sekadar mencari tahu tentang hal-hal yang berbau mistis seperti yang tengah dialami Mama Yohana.

Sedang aku bertutur panjang lebar, Bu Afiah dan Pak Arkas hanya menatap lantai.

"Ibu kalian itu sebenarnya, kalau tidak salah, dia sudah mau pergi, tapi mungkin ada sesuatu yang tahan. Mungkin karena itulah dia teriak-teriak kesakitan."

"Maksudnya?" Spontan Bu Afiah mengangkat kepala. Pak Arkas pun tampak sama.

Aku menambahkan, "Itulah kenapa saya minta untuk lihat langsung. Tapi, sudahlah!" Aku mengambil jeda, sekadar untuk menghela napas, lalu melanjutkan, "orang seperti Ibu kalian biasanya menyembunyikan nyawanya dalam bungkusan kain hitam. Tanyakan, atau cari itu. Biasanya benda itu mereka sembunyikan dalam kotak kecil. Kuningan, biasanya itu dijadikan tempat kapur sirih mereka."

"Kain hitam yang isinya kertas dan kapur sirih itu, ya?" timpal Ibu Afiah.

Sontak aku menatap Bu Afiah. "Iya! Sudah pernah lihat?"

"Seukuran begini?" Bu Afiah memanjangkan jari jempol dan kelingkingnya.

"Iya, betul. Kurang lebih seperti itu." Aku semakin serius.

"Kalau tidak salah liat, barang itu ada di bawah bantalnya," aku Bu Afiah.

"Ambil, baru bakar. Nanti, jangan kaget, mula-mula benda itu anti api. Bakar saja terus. Lama-lama nanti dia menyala dengan sendirinya. Hanya saja ...." Aku mengambil jeda.

"Hanya saja kenapa?" sambar Bu Afiah.

"Kalian mungkin tidak tega kalau dengar suara teriakan Ibu kalian. Bukan apa-apa, kalau barang itu bersentuhan dengan api, Ibu kalian yang rasakan panasnya. Tapi ... ya, terserah kalian sajalah." Aku mengakhiri uraian.

Setelah merasa sudah cukup, aku pun pamit untuk yang kedua kalinya. Kali ini, baik Bu Afiah maupun Pak Arkas, tak lagi menahanku.

Kasian penganut-penganut ilmu hitam di tanah ini. Alih-alih membuat penganutnya bahagia, tetapi justru menderita di dunia bahkan mungkin hingga di alam sana.