Malam hari pasca meninggalnya Mama Yohana, suasana di rumah almarhumah semakin memprihatinkan. Hingga malam ke-tujuh pasca mangkatnya beliau, belum ada satu kali pun terdengar bahwa ada Yasinan, atau pengajian untuk arwah yang digelar di rumah mendiang mertua dari Pak Arkas tersebut.
Padahal, pada yang sudah-sudah, saat ada salah seorang dari warga yang meninggal seperti saat ini, orang di kampung ini biasanya akan beramai-ramai datang membantu sebagai bentuk solidaritas, atau sampaian rasa belasungkawa sesama warga.
Umumnya, dari hari pertama hingga hari ke-empat puluh pasca meninggal, warga akan silih berganti mendatangi rumah duka. Selain ikut dalam pengajian, warga juga akan membantu semampu-mampunya pihak keluarga yang tengah berduka. Bahkan, ada yang berpendapat, kebiasaan saling bantu begini sudah menjadi bagian dari tradisi warga setempat.
Lalu, kenapa Mama Yohana sekonyong-konyong adalah pengecualiannya?
Ini benar-benar sangat kontras bila dibandingkan dengan warga lainnya.
Sampai di sini semakin sukar terbantahkan, jika Mama Yohana telah mendapatkan balasan sepihak dari warga atas apa yang ia perbuat semasa hidupnya.
Sedangkan anak-cucu yang ditinggalkannya, mungkin akan menanggng dosa-dosa beliau hingga batas waktu yang tidak dapat ditentukan. Ini bisa terlihat dengan bagaimana warga mulai mengucilkan semua yang punya hubungan kekerabatan dengan almarhumah. Tidak terkecuali Rania, istriku.
Akan tetapi, sampai di sini aku semakin sadar, jika Rania bukanlah tipe manusia yang mudah, apa lagi mau mengalah. Di hadapanku, Rania tegas menyikapi perlakuan sepihak dari mayoritas warga tersebut.
"Lihat saja, nanti mereka pasti akan menerima balasannya," ujar Rania berapi-api.
Mendapati itu, aku yang sudah beberapa kali mendengar luapan ekspresi amarah Rania, coba pulalah menenangkan Rania, menimpalinya dengan ucapan yang bernada canda.
"Iyalah itu," kataku. "Nanti saya bantu kamu makan mereka semua. Tapi sudah-sudahlah, Rania. Jangan itu terus yang dibahas. Kamu tidak capek, ya, siang malam bicarakan itu?"
"Ndak! Saya ndak akan berhenti sebelum saya balas semua perlakuan mereka," tegas Rania.
"Rania, memangnya kita bakalan dapat apa, sih, dengan amarahmu yang karatan seperti ini?" Aku masih mencoba.
"Eh, masih nanya lagi!" tukas Rania. "Dapat balas dendamlah! Kamu ndak tau saja, Bary. Orang di kampung ini, sejak saya masih kecil, mereka sudah semena-mena sama saya. Apa karena mereka pikir saya ini hanya sebatang kara, ya, makanya mereka selalu menganggap saya seperti Setan?
Dosa saya, apa?
Kamu pikir saya ndak taukah gosip-gosip yang mereka bicarakan itu? Hati ini sakit, Bary, sakit! Bagaimana mungkin saya bisa diam terus?" Rania semakin cetar.
"Hum ... Rania." Aku mendeham lesu. "Sebenarnya, saya tidak seberapa ngerti apa masalah kalian ini. Tapi bagusnya itu, kalau orang anggap kita setan, kita buktikanlah kalau anggapan mereka itu keliru. Kita berbuat baiklah semampu-mampunya kita, bukan malah sebaliknya. Yang begituan itu malahan seolah-olah kita sengaja benarkan tuduhan mereka."
"Jadi, maksudmu, saya ngalah saja, supaya mereka tambah jadi, gitu? O, ndak ndak! Maaf, Bary! Saya tidak semulia itu!"
"Bukan begitu jugalah, Rania." Aku terus berusaha dengan nada yang sedikit lebih lembut lagi. "Sebenarnya, kalau kita mau jujur, rata-rata pangkal permasalahan di dunia ini, itu tidak jauh-jauh dari yang namanya ... seperti peribahasalah, gitu. Istilahnya, 'Tidak ada asap kalau tidak ada api.'"
"Ha ha ha."
Dia malah terkekeh? Apakah ada yang lucu? Aku mengernyit tak mengerti.
"Kamu ini naif sekali rupanya, Bary," tukas Rania kemudian. "Tadi kamu bilang apa? Ada asap, ada api? Gitu, ya? Eh, mikir, Bary, mikir! Kamu dengar, ya, biar saya kasi contoh. Ambil contoh yang paling dekat, Mama Yohana, misalnya.
Anggap saja Mama Yohana itu sebagai sumber api, lalu gosip buruk yang menyebar di seluruh kampung ini, itu asapnya.
Sekarang pertanyaannya, kapan itu api mulai menyala? Mama Yohana itu sudah mati, kenapa asapnya masih ada terus? Kamu bisa jawab itu?"
Sayang sekali, kali ini aku tidak cukup mampu menjawab pertanyaan Rania. Aku terdiam.
"Atau, iya! Anggap saja asap yang ditimbulkan Mama Yohana itu masih ada, karena dia belum lama meninggal." Rania seperti coba menjawab pertanyaannya sendiri. Aku mendongakinya.
Kemudian, kembali ia menambahkan. "Saya kasi contoh yang lain, ambil masalahnya omku, pak Romi. Sudah berapa lama pak Romi tinggalkan kampung ini? Kenapa asapnya masih terus dikibas-kibas orang-orang di kampung ini? Kenapa saya dilibatkan? Apa dosa saya dalam kasus omku? Kamu bisa jawab itu, Bary?"
Cecaran Rania yang bertubi-tubi ini, membuatku semakin kesulitan. Aku mungkin bisa. Akan tetapi, apakah Rania mau mendengarkan?
Aku menyerah.
Sampai di sini, aku mulai berpikir jika ini bukanlah saat yang tepat untuk mendinginkan suasana batin Rania.
Pun, seperti yang sudah-sudah, saat tak sanggup, juga tidak ingin memperpanjang masalah, aku beredar saja meninggalkannya.
Kebersamaan yang kaku dan monoton.
Sungguh, seiring dengan bergulir roda waktu, semakin sukar untuk terpungkiri jika sebenarnya tanpa sengaja aku telah terseret jauh dalam pusaran arus dendam Rania.
Dendam, dendam, dan dendam. Biang permasalahannya hanya berupa enam huruf, tetapi dampaknya bukan main luar biasa. Apakah memang serumit ini kehidupan manusia?
***
Tengah bersiap menyalakan api unggun di halaman rumah, tiba-tiba aku dikejutkan oleh kehadiran Rania.
"Bary! Kamu kenapa? Kenapa senyum-senyum sendiri begitu?
Hati-hati Bary, jangan sampai kamu kerasukan."
Refleks aku tertawa-tawa. "Ha ha ha. Biarlah kerasukan, pengen juga saya merasakan bagaimana rasanya kerasukan."
"Jangan takabur begitu kamu, Bary. Pamali, apalagi ini hampir magrib, lho!" Rania tampak serius.
"Tumben?" sindirku. "Kamu takut Setan juga, Rania? Bukannya ...."
"Kalau bercanda, kira-kira juga, kamu, Bary!" potong Rania seolah tidak ingin memberiku kesempatan. "Walaupun kalian menganggap saya ini seperti Setan, saya hanya manusia biasa seperti kalian juga. Tolong jangan berlebihan." Rania semakin serius.
"Maaf, Rania." Aku baru sadar jika Rania sedang tidak ingin diajak bercanda. "Saya tidak bermaksud. Kamu tidak perlu tersinggung seperti itu."
"Ah, sudahlah, Bary! Ndak usah diperpanjang," ketus Rania. "Kopinya saya sudah bikin, masuklah minum," tambahnya.
Sesaat kemudian, ia sudah memutar badan. Mataku tidak berkedip membayangi punggung Rania.
Rania takut Setan, takut magrib? Tumben? Biasanya, Rania pergi ambil air di sumur umum pun, dia tak peduli walaupun magrib. Bahkan malam hari, biarpun aku melarangnya, dia tetap pergi walaupun hanya seorang diri.
Padahal, orang di kampung ini, jangankan magrib apalagi malam hari, sore hari di atas pukul lima saja, banyak orang yang tidak berani ke sumur umum sana.
Hari ini Rania takut magrib, takut Setan?
Sedalam-dalamnya laut, isi hati Rania lebih dalam lagi.