"Tadi malam, sempat ketemu Mama Yohana?" tanya Rania kala menyuguhkan kopi di pagi hari, beberapa saat sebelum aku berangkat ke ladang.
"Tidak jadi," jawabku.
"Lho? Bukannya tadi malam kamu ke rumah mereka?" tanya Rania lagi sambil mengambil tempat duduk di hadapanku.
Aku tatap Rania. Tampak kerutan tersusun di dahinya. Kuletakkan gelas kopi yang baru saja hendak kusesap. Mengatur napas sedemikian rupa, lalu menjawab.
"Tidak tau juga kenapa, tapi bu Afiah sepertinya ada yang sengaja coba dia sembunyikan dari kita.
Kamu tau? Tadi malam itu dia minta saya bantu ibunya. Tapi bagaimana saya mau bantu kalau dia tidak izinkan saya ketemu langsung ibunya."
"Kenapa bisa begitu?" sambung Rania.
"Tidak tau, kenapa," jawabku.
Keadaan berbalik. Kini Rania yang seperti tampak sedang menahan napas. Kerutan di dahinya pula semakin berlipat. Rania terdiam, aku kembali pada gelas kopi, melanjutkan menyicipinya.
Setelahnya, hingga kopi tandas, Rania tidak kunjung buka suara. Merasa tidak ada lagi yang akan dibicarakan, aku pun menyudahi minum kopi, lalu menyiapkan perkakas yang akan aku gunakan di ladang. Setelah menyambar rantang susun, wadah bekal, aku pun berangkat.
Sekian puluh meter sebelum mencapai pintu pagar ladang, aku dikejutkan dengan adanya Pak Arkas. Tampak ia berdiri tepat di depan pintu pagar.
"Mau apa orang itu di sini?" gumamku sambil menggeser sarung parang yang menggantung di pinggangku, lalu menghampirinya.
"Pagi, Pak Arkas!"Aku mendahuluinya menyapa.
"Pagi, Bary!" balas Pak Arkas datar.
"Tumben Pak Arkas ada sini? Mau ke mana?" tanyaku.
Dengan jung mata, diam-diam aku mengawasi gerak-gerik Pak Arkas. Sebab secara, aku tahu ladang Pak Arkas tidak berada di sekitar sini, tetapi jauh berada di sebelah Utara sana.
"Saya mau ketemu kamu, Bary!" ucap Pak Arkas sambil berjalan menghampiriku.
Waspada. Perlahan aku turunkan beban yang ada di pundakku. Lalu, aku letakkan begitu saja di tanah.
"Ada perlu apa cari saya?" tanyaku dengan nada penuh penekanan.
Pak Arkas mendengus tanpa kata. Apakah dia ingin mengajakku berduel?
Sembari menatap tajam, kusentuh sarung parangku, memiringkan gagangnya agar sedikit lebih condong ke depan. Aku sudah siap menghunusnya jika Pak Arkas akan melakukan sesuatu yang tidak diinginkan.
Bersamaan dengan itu, mungkin karena melihat gelagatku, Pak Arkas pun melakukan hal yang sama, menyentuh sarung parang yang juga tergantung di pinggangnya.
O, tidak! Pak Arkas menggeser sarung parangnya, memutar sedikit ke belakang.
Di tanah ini, menggeser senjata milik sendiri ke arah pinggang belakang, adalah pemberitahuan tanpa kata bahwa pemiliknya tidak merasa gentar sedikitpun pada orang, atau musuh yang ada di hadapannya.
Pak Arkas menantang? aku semakin siaga.
"Begini," ucap Pak Arkas.
Pak Arkas mengucap seraya mengangkat kedua tangan, membentangkannya sejajar telinga laiknya orang memperagakan gerakan pembuka pada ibadah salat.
"Mertuaku, Bary," tambahnya.
"Mama Yohana? Kenapa?" tanyaku dengan nada bariton.
Sekali lagi Pak Arkas mendengus berat, lalu memulai cerita, menjelaskan keadaan Mama Yohana yang coba ditutup-tutupi oleh anak-anaknya, termasuk Bu Afiah.
Syukurlah! Pak Arkas tidak seperti yang aku risaukan.
Lalu, aku langsung ke inti masalah, coba menyarankan agar Pak Arkas meminta saran atau bantuan para Tetua. Aku berpendapat, jika para Tetua yang memberikan saran, mungkin anak-anak Mama Yohana akan lebih bisa menerima apa yang disarankan ketimbang dari orang semacam kami yang terbilang masih hijau.
"Ini bukan masalah tega atau tidak tega, ya, Pak Arkas. Tapi kalau kita menginginkan orang tua kita bisa mengakhiri penderitaannya, supaya dia bisa pergi dengan tenang, kita sebaiknya panggil orang tua, atau paling tidak, minta pendapat orang tua-tua," uraiku kemudian.
Sengaja pula aku menyertakan kata 'kita' dalam kalimatku, berharap Pak Arkas terkesan dengan diriku yang sekonyong-konyong turut ambil bagian dalam problem yang tengah mendera Mama Yohana.
"Baiklah, saya akan coba bicara dengan Afiah," ujar Pak Arkas di penghujung perbincangan. "Terima kasih, Bary. Maaf saya sudah mengganggu waktu kamu."
"O, tidak apa-apa. Maaf saya tidak bisa membantu lebih," tutupku. Tidak berapa lama kemudian, Pak Arkas pun beredar.
Tiga hari kemudian, tersiarlah kabar. Konon, berkat bantuan beberapa orang Tetua, akhirnya Mama Yohana dapat mengakhiri semua penderitaan yang telah ia derita sejak beberapa hari terakhir.
Namun, bersamaan dengan itu, kabar tidak sedap, sudah terlanjur menyebar. Entah tahu darimana, tetapi warga telah tahu apa yang coba disembunyikan oleh anak-anak Mama Yohana.
Diyakini dan terbukti, Mama Yohana adalah salah satu penganut Wurake. Menjelang ajalnya, tubuh Mama Yohana tidak ubahnya mayat hidup. An*s di tubuh kurus kering Mama Yohana, tidak hentinya mengeluarkan cairan yang berbau tidak sedap, dan terkadang bercampur darah.
Ternyata, karena hal itulah kenapa Mama Yohana sengaja dikurung di kamar mandi.
Malaikat maut seolah sengaja menunda-tunda mencabut nyawa Mama Yohana. Konon, itu dikarenakan ilmu hitam yang ada di dalam tubuhnya. Nyawa Mama Yohana tertawan di antara hidup dan mati. Demikian tafsiran orang-orang.
Mama Yohana sudah pergi, tetapi tampaknya urusan tidak akan berhenti sampai di sini. Anak-cucu Mama Yohana, kini harus menanggulangi 'dosa-dosa' almarhumah.
Keluarga ini kini menjadi bahan gunjingan warga. Dampaknya, seperti yang ada di rumah duka pagi itu. Hanya ada beberapa orang yang hadir. Itu pun yang hadir hanya dari pihak keluarga dekat almarhumah.
Sampai-sampai aku yang kebetulan ikut hadir di rumah duka, jadi bertanya-tanya dalam hati, siapa yang akan memandikan jenazah Mama Yohana?
Orang yang biasanya menangani urusan Fardu kifayah, tidak ada satu orang pun yang terlihat hadir. Bahkan, hingga malam menjelang, belum ada tanda-tanda jika jenazah akan segera dikebumikan. Selain itu juga, tidak ada tandu jenazah yang terlihat di sekitar rumah duka.
Di dalam rumah, tampak raut-raut muram tergambar jelas di wajah anak-cucu Mama Yohana. Di antara mereka, aku hanya bisa mendekap sendu dalam diam.
Hinggalah malam telah benar-benar membentang. Entah sudah dimandikan atau belum, tetapi tampak jenazah Mama Yohana sudah berbungkus kain kafan, dan siap diantar ke pemakaman.
Tampak pula di sekitar tubuh jenazah terlihat kapur barus dalam jumlah yang cukup banyak.
Mendapati itu, aku menduga kuat, kapur barus ini ada hubungannya dengan bau tidak sedap nan menyengat yang menguar dari tubuh jenazah Mama Yohana.
Bagaimana tidak? Kami yang duduk di ruang depan pun bisa mencium bau jenazah yang tadi disemayamkan di ruang tengah.
Hampir tengah malam, barulah jenazah akan diantar ke pemakaman. Tanpa menggunakan keranda, dua orang laki-laki, salah satunya adalah menantu almarhumah, mulailah mengeluarkan jenazah ke luar rumah.
Di perjalanan, mereka bergantian membopong jenazah. Pun pada akhirnya, meskipun susah payah, tetapi jenazah sampai juga ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Tiba di komplek pemakaman keluarga, di situ telah menunggu dua orang laki-laki. Entah sejak kapan mereka berada di situ, dan mungkin dua orang lelaki itulah yang menggali liang lahat.
Kemudian, tibalah saatnya untuk pengebumian.
Di lubang yang hanya sedalam bahu orang dewasa, jasad Mama Yohana dimasukkan tanpa ada iringan bacaan doa-doa barang sepatah kata pun juga. Tidak ada sama sekali meskipun hanya sekadar satu baris lafal azan sebagaimana pada umumnya.
Benar-benar sebuah proses pemakaman yang tak lazim.
Namun, meskipun demikian, pada akhirnya prosesi pemakaman jenazah yang sangat menguras pikiran tersebut akhirnya usai juga.
Ke esokan paginya, santer dikabarkan berita yang sangat tidak mengenakkan. Konon, nyaris semalam suntuk Mama Yohana terlihat di beberapa tempat sekaligus.
Banyak warga yang mengakui itu, demikian berita yang merebak.
Yang lebih tidak mengenakkan lagi adalah bagaimana Mama Yohana terlihat. Ada yang mengaku melihatnya tanpa busana, ada yang melihatnya tengah mengerang kesakitan, adapula yang melihat kepala Mama Yohana terbang kesana-kemari.
Bermacam cerita miring ini, lagi-lagi menjadi bahan gunjingan orang-orang.
Hampir semua warga, khususnya yang masih memiliki dendam dengan almarhumah, menghubung-hubungkan semua itu dengan ''dosa'' yang pernah dilakukan oleh Mama Yohana semasa hidupnya.
Hinggalah, yang dipergunjingkan ini sampai juga ke telinga Rania.
"Saya betul-betul muak dengan orang-orang di kampung ini."
Rania marah dengan siapa? Aku yang tidak tahu-menahu, bertanya, "Apa yang kamu bicarakan, Rania?"
"Orang-orang yang gosipkan Mama Yohana itu," sahut Rania. "Orang sudah meninggal, masih saja diungkit-ungkit kesalahannya."
"Ya ... namanya juga luapan ekspresi sesaat," timpalku.
"Kamu malah belaian mereka?" delik Rania.
"Ya, tidak gitu jugalah, Rania," sahutku dengan tenang. "Lagian, buat apa, sih, sibukkan diri dengan urusan yang tidak penting begitu?"
"Apa kamu bilang? Ndak penting? Sikap semena-mena yang mereka perlihatkan, kamu bilang ndak penting?"
Rania semakin menyerlah, aku mulai merasa tidak nyaman, dan memilih untuk tidak terpancing.
"Orang-orang itu harus dibalas!"
Rania masih membara, aku semakin tidak ingin menanggapi. Sesaat kemudian, aku beredar meninggalkannya.