Chereads / WURAKE / Chapter 8 - Tolak Bala

Chapter 8 - Tolak Bala

Dikarenakan kesibukan sehari-hari, serta semakin pudarnya harapan untuk menemukan jejak pak Romi dan keluarga, pada akhirnya, seiring dengan berputarnya waktu, aku mulai mengikhlaskan pak Romi. Rania pun tampaknya demikian adanya. Dia bahkan terkesan lebih ikhlas dariku.

***

Tahun ini telah terjadi kemarau panjang. Hujan yang biasanya turun di bulan-bulan tertentu, tidak turun di sepanjang tahun ini. 

Karenanya, dari gagal panen, hingga kekeringan melanda yang menjadikan sulitnya mendapatkan air bersih, telah memicu para Tetua untuk mengadakan ritual Tolak Bala.

Ritual sakral seperti ini biasanya akan diikuti oleh nyaris seluruh warga kampung. Dari anak-anak, bahkan balita, orang dewasa, apalagi para paruh baya hingga lanjut usia, nyaris tidak ada yang mau ketinggalan, kecuali sebagian orang.

Adalah orang-orang yang memiliki keyakinan ritual tersebut bertentangan dengan agama yang dianut. Mereka inilah sebagian orang yang dimaksud.

Pun para Tetua, beserta orang-orang yang dianggap kompeten di bidangnya, mulailah pula berembuk, duduk bermusyawarah, menentukan hari baik, serta membahas segala sesuatu yang dibutuhkan dalam prosesi tersebut. 

Pada akhir rembuk, disepakati dan diputuskan, dua belas malam bulan di langit, bertepatan dengan Selasa malam, proses ritual akan digelar. 

Setelahnya, berita pun disebar dari mulut ke mulut.

Pun, tiba pulalah pada hari yang ditentukan. Mulai pulalah warga berhimpun di satu titik lokasi yang telah ditentukan.

Adalah tanah lapang milik salah seorang warga yang berada di pinggir kampung. Sejatinya, tanah lapang tersebut adalah ladang tempat bercocok tanam umbi-umbian, yang terkadang juga di selingi dengan tanaman jagung, dan lainnya. 

Namun, berhubung kemarau panjang melanda, lahan tersebut lebih mirip tanah lapang berpagarkan tajakan potongan kayu, ketimbang ladang. Ianya kosong melompong.

Tepat pukul delapan malam, seorang Tetua yang didaulat sebagai pemimpin ritual, memulai prosesi. 

Sepotong bambu dengan panjang sekitar dua meter, ditajak dalam tanah, lalu dibiarkan berdiri tegak lurus. Di ujung paling atas potongan bambu tersebut, diberi dua potong kayu sepanjang lengan orang dewasa. Ianya ditata secara bersilangan sehingga menyerupai simbol penambahan.

Empat ujung dari dua potongan kayu yang ditata menyerupai simbol penambahan tersebut, ianya melambangkan simbol empat penjuru mata angin, yakni Utara, Timur, Selatan, dan Barat. 

Usai yang demikian, pemimpin ritual menaruh sesaji pelengkap ritual. Ianya berupa kapur sirih, daun sirih, gambir basah, beberapa buah pinang muda, telur ayam matang, nasi dari beras merah, nasi jagung, serta beberapa batang rokok. 

Semua benda tersebut dikemas dalam kulit jagung kering, lalu digantung pada masing-masing ujung kayu yang ada di atas bambu. 

Setelah semuanya dianggap siap, barulah prosesi yang sebagian orang dianggap sama dengan menyembah berhala ini, dimulai.

"Wahai jin putih, jin merah, jin hitam, marilah makan pinang, marilah merokok. Janganlah ganggu warga desa ini, janganlah membuatnya susah. 

Wahai hujan, turunlah! Hilangkanlah kemarau panjang yang melanda tanah ini. Wahai jin putih, jin merah, jin hitam ...." Komat-kamit pemimpin ritual.

Setelah semuanya selesai, dan yakin permintaan sudah diterima, barulah warga desa, khususnya anak-anak, berebut air ritual yang sudah dibacakan mantra oleh sang pemimpin ritual. 

Kemudian, air ritual tersebut diusapkan ke bagian tubuh masing-masing orang. 

Terakhir, adalah acara puncak; makan-makan.

Berhubung aku adalah salah salah satu orang yang tidak meyakini bahwa Jin bisa menurunkan hujan, sebagaimana yang pernah diajarkan Guru Agama saat masih di bangku sekolah, aku tidak turut serta dalam prosesi ritual seperti ini. 

Akan tetapi, meskipun demikian, seperti yang sudah-sudah, setiap kali diadakan prosesi tolak bala atau semacamnya seperti ini, aku selalu mengincar semua persembahan, khususnya rokok yang disediakan buat para Jin warna-warni tersebut. 

Sejak tahu jika Jin tidak menyentuh makanan juga rokok yang disediakan untuknya, sejak saat itu pula aku selalu mengendap-endap, mengincar sesaji yang tersedia. 

Pun, selang tidak berapa lama kemudian, para Tetua dan warga pun berangsur-angsur meninggalkan lokasi ritual. 

Kala suasana sudah mulai sepi, aku yang sejak tadi bersembunyi tidak jauh dari tempat berlangsungnya ritual, perlahan keluar dari tempat persembunyian, lalu menghampiri potongan bambu, tempat di mana sesaji digantung.

Krak! 

Saat kurang dari lima meter dari potongan bambu tersebut, terdengar seperti ada bunyi ranting patah. 

Sontak aku menoleh ke arah datangnya suara. Sekilas, seperti ada bayangan tidak jauh dari tempatku berdiri saat ini. 

Akan tetapi, karena merasa itu hanya bayangan, aku mengabaikannya, lalu bergegas ke tempat dimana batang bambu ditajak. 

Di sini, aku langsung menyambar rokok dan telur matang. Lalu, seketika itu juga mengupas lalu mengunyah telur matangnya sambil berucap pelan, ''Sayalah Jin-nya, sayalah Jin-nya."

Tengah asik mengunyah, tiba-tiba bunyi seperti patahan ranting barusan tadi, kembali terdengar. Aku menajamkan pendengaran, juga pandangan. Bayangan tadi pun terlihat lagi di sana.

"Mau nakut-nakutin saya, ya?" Aku menggumam jengkel, lalu mengakhiri menguyah. 

Meskipun seperti serasa hendak tersedak karena tidak minum usai makan dikarenakan tidak adanya air minum, aku berusaha untuk tetap tidak menimbulkan suara. 

"Heegh!" O, sial! Akhirnya aku tersedak juga.

Gegas aku menguasai keadaan, lalu perlahan menghampiri sumber bayangan sembari mempertajam awas.

Tidak ada apa-apa di situ.

Setelahnya, aku sudah berancang-ancang untuk pulang, bahkan sudah melangkah dua puluhan langkah atau lebih, saat suara itu kembali terdengar. Malahan, kini lebih jelas dari sebelumnya. 

Tanpa pikir panjang, aku kembali untuk memastikannya. Di sini, ada aura mistis yang terasa.

Pada saat yang bersamaan, aku tiba-tiba terpikir sesuatu. 

Jika sumber bunyi ini disebabkan oleh salah satu makhluk astral berupa Harimau jadi-jadian yang disinyalir ada di tanah ini, maka butuh nyala api. 

Kebetulan sekali, sebagai seorang perokok aktif, selalu ada korek api di sakuku. 

Aku pun menyulut sebatang rokok, lalu mengisapnya agar ada nyala api yang membersamai diriku.

Rumor yang beredar, Harimau jadi-jadian yang ada di tanah leluhurku ini, dia adalah jelmaan Jin Ifrit. 

Konon, apabila seseorang bertemu dengan makhluk astral tersebut, semisal dia tiba-tiba berubah bentuk menjadi manusia, lalu pura-pura minta api, jangan panik! 

Jawab pertanyaannya: 'Untuk apa api? Untuk bakar mulutmu, ya?'

Jika tiba-tiba dia berubah ke bentuk lain lagi, juga tidak boleh panik. Jika dia tiba-tiba membesar, jangan tertipu. Itu pertanda sebenarnya dia tengah merasa gentar. 

Namun, jika Harimau jadi-jadian tersebut justru mengecil, itu pertanda buruk. Makhluk jadi-jadian yang konon dapat berubah ke dalam banyak bentuk dan rupa ini, ia tengah mengincar mangsa. 

Orang yang bertemu dengannya dengan kondisi mengecil seperti itu, itu pertanda akan diajak bertarung habis-habisan, hidup atau mati.

Rokok sudah hampir setengahnya yang terlahap api, barulah sesuatu benar-benar terlihat di remang-remang sana. Tidak ingin mengambil resiko, aku keluarkan keris berkelok dari balik pinggangku.

Lalu, sembari terus mengisap rokok yang terselip di bibirku, aku beranikan diri menghampiri muasal bayangan tersebut. 

Pada jarak sekitar tujuh atau delapan meter, barulah terlihat jika itu adalah bayangan hewan yang banyak hidup di tanah Bunga ini. 

"Sialan!" rutukku. Itu hanya anak babi hutan.

Babi hutan di daerah kami ini, jumlahnya tidak terbilang banyaknya. Sangat banyak. 

Kami, warga setempat tidak berburu babi hutan. Maklum, 99,99%, penduduk asli di tanah ini beragama Islam. Jadi, mungkin karena hal itulah yang menyebabkan tidak adanya orang yang mengkhiraukan hewan-hewan liar tersebut. 

Padahal, di saat kelaparan, khususnya di musim kemarau seperti saat ini, babi hutan terkadang datang hingga ke samping, dan terkadang merangsek hingga ke kolong rumah warga. 

Saat musim kemarau seperti ini, mungkin karena hutan tak lagi menyediakan persediaan air dan makanan yang cukup, pada malam hari, babi hutan biasanya akan datang ke pemukiman warga untuk berebut sisa makanan bersama hewan-hewan liar lainnya.

Sedetik kemudian, aku sudah hendak membalikkan badan. Namun, urung aku lakukan ketika anak babi hutan tersebut tiba-tiba pula berubah bentuk menjelma sebuah benda bulat. 

Nyata terlihat, itu adalah sebuah piring kaleng.

Aku dapat mengenali dengan jelas benda seperti itu karena hampir setiap kali makan, kami akan menggunakan piring kaleng. Karenanya, bergegas pulalah aku menghampirinya.

Dalam jarak sekira tiga meter, tiba-tiba piring kaleng ini menggelinding dengan sendirinya, pergi menjauhiku.

Sial! Aku sudah tertipu. Geram, aku langsung mengejarnya.

Proses kejar-mengejar pun terjadi antara aku dengan piring yang aku sinyalir adalah piring jadi-jadian. 

Piring tersebut menggelinding pada jalan setapak yang menghubungkan antara ladang tempat diadakannya ritual barusan, ke arah yang menuju kampung. Aku pun mengikutinya hingga ke perkampungan.

Tiba di perkampungan, saat piring itu bisa menggelinding dengan begitu mudahnya di atas pagar halaman warga yang berbahankan potongan bilah bambu yang ditegakkan, aku semakin yakin, sosok yang berada di balik piring kaleng itu bukanlah sembarang orang.

Hanya orang sakti mandraguna yang berani macam-macam dengan bilah bambu. Alasannya, bambu, terlebih lagi jika itu adalah bambu kuning, secara umum ianya adalah salah satu benda yang menjadi pemantang bagi penganut ilmu hitam.

Masuk ke tengah kampung, aku tidak lagi melakukan pengejaran seorang diri. Di sini, aku sudah bersama beberapa orang pemuda yang kebetulan melihat dan bertanya, aku tengah mengejar apa. Selain itu, oleh suara teriakan mereka, menjadikan warga yang ikut mengejar semakin ramai.

Akan tetapi, sayang sekali. Piring tersebut menggelinding di bumbungan atap rumah warga. Dia terlalu tinggi di atas sana. 

Ketika aku dan warga sudah hampir kehilangannya, oleh salah seorang warga, kami disarankan untuk berpencar. 

Sebagian tetap berada di jalan raya yang kondisinya cukup terang, sedangkan sebagiannya lagi disarankan menuju ke tempat yang agak gelap, yakni di belakang rumah warga. Kami pun melakukannya.

Ternyata benar. Piring tadi terlihat menggelinding di bagian belakang rumah. 

Bersamaan dengan itu, mungkin karena menyadari keberadaan kami, piring tersebut mempercepat gelindingan. Riuh pulalah kami mengejarnya. 

Selang beberapa puluh langkah kemudian, arah gelindingan piring tersebut menuju belakang rumah kami. 

"O, tidak! Ini bahaya!" Seketika itu juga aku disergap resah.

Tidak ingin mengambil resiko seperti satu tahunan silam, serta-merta aku berlari pulang menuju rumah. Aku bergegas, sebab di rumah ada Rania yang sedang hamil besar. Usia kandungan Rania saat ini sudah memasuki bulan ke delapan.

"O, syukurlah," desauku lega ketika mendapati Rania dalam keadaan baik-baik saja. 

Letih, aku pun langsung menjatuhkan bokong, duduk di hadapan Rania. 

"Kamu kenapa? Tidak enak badan, ya?" Lewat pantulan cahaya teplok, tampak wajah Rania dipenuhi peluh. "Tunggu saya ambilkan kain, ya!" 

Tanpa menunggu jawaban Rania, aku langsung beredar, menyambar sepotong kain, kemudian menuju dapur, mengambil air untuk mengompres Rania. Aku khawatir Rania tengah terserang demam atau semacamnya.

Pun, setelah menyiapkan semuanya, aku kembali menuju ruang tengah, tempat dimana Rania duduk barusan tadi. 

"Rania!" 

Aku memanggil sambil melongo ke ruang tamu. Rania tidak ada di situ. 

Pintu depan, terkunci, aku langsung menuju satu-satunya kamar yang ada di rumah ini.

Benar, Rania ada di sini, berbaring sambil membalut sekujur tubuhnya dengan menggunakan selimut.

"Ayo, bangun dulu, biar saya kompres!" 

"Kompres? Untuk apa?" ucap Rania dari balik selimut.

Aneh ini perempuan. Barusan, dia seperti orang yang keringat dingin. 

"Ayolah, saya kompres!"

"Kompres saja kepalamu! Orang baik-baik saja, kok, mau dikompres!" ketus Rania.

"Sialan ini perempuan!" balasku dalam hati.

Kesal, tapi tak ingin berdebat, aku pun beredar ke ruang depan.

Sikap Rania sedikit membingungkan.

Akan tetapi, tunggu dulu. Ini pukul berapa? Rania dari mana? Jika dia tidak dari mana-mana, kenapa dia berperluh-peluh seperti seseorang yang baru saja usai berlari jauh? Atau, jangan-jangan Rania itu ... ?