"Serang terus!"
Bug bug bug!
Bunyi senjata tajam dan tumpul beradu dengan makhluk jadi-jadian itu, kembali menggema merobek ketenangan malam. Lagi-lagi patut diakui.
Meskipun hanya berupa kepala tanpa tubuh, tetapi dia memang sakti mandraguna.
Terkena sabetan benda tajam atau hantaman benda tumpul, alih-alih terluka atau setidaknya memperlihatkan gelagat gentar, ia justru kian cekatan menggelinding.
Makhluk aneh ini tak ubahnya benda berbahan karet. Disabet dengan menggunakan benda tajam, malah penyerangnya yang tepental, lalu meringis kesakitan.
Makhluk ini memang kebal senjata.
Akan tetapi, kami juga sudah sangat siap. Apalagi, oleh Bapak Modin, selain sudah deperciki air doa, kami juga sudah dibekali petunjuk bagaimana seharusnya kala berhadapan dengan makhluk aneh ini.
Meskipun sempat terpana dan diam di tempat setelah melihat dengan mata kepala sendiri rumor dari kesaktiannya, sesaat setelahnya, segenap kami yang tengah berjibaku melawan si kepala buntung tanpa tubuh ini, tidak lagi peduli dengan rumor dan kenyataan yang ada. Sekuat tenaga kami berusaha untuk melumpuhkan makhluk yang sudah sekian lama menjadi incaran orang banyak. Serangan demi serangan kembali kami gencarkan.
Setelah mendapatkan serangan bertubi-tubi, meski makhluk ini memiliki kesaktian yang mumpuni, tetapi pada akhirnya gerakannya perlahan melandai. Mungkin ia mulai merasa kesakitan, atau mungkin telah kelelahan. Kini gerakannya tidak lagi segesit seperti sekira sepuluh menit sebelumnya. Bersamaan dengan itu, kami memanfaatkan kesempatan ini menyerangnya dengan lebih agresif lagi.
"Mati kau makhluk jahanam, mati ... !"
Serangan yang dibarengi pekikan, kian cetar membahana badai.
Puncaknya, makhluk ini akhirnya benar-benar terkapar dan tidak bergerak sedikitpun lagi.
"Mampus kau, mampus ... !" pekik berantai menggema.
Potongan kepala tanpa tubuh dengan usus bergelantungan ini, kini sudah benar-benar tidak lagi bergerak. Sekilas tafsir, dia telah tewas. Sampai di sini, aku dan kawan-kawan tampaknya sudah memenangkan pertarungan yang sangat menguras energi dan emosi ini.
Euforia spontan, riuh-rendah.
Namun demikian, entah karena masih terbawa arus emosi atau apa, meskipun tidak lagi berdaya, tetapi masih ada saja di antara kami yang meluahkan amarah. Tetap menyerang, dan bahkan semakin menjadi. Terakhir, salah seorang dari kami berteriak, menyebut kata, bakar.
Tidak perlu menunggu lama, tanpa menunggu komando susulan, beberapa di antara kami langsung menyalakan api.
Pun, api mulai menyala, dan siap dilemparkan ke potongan kepala tanpa tubuh yang sudah terkulai tersebut.
Akan tetapi ... astaga! Ya, Tuhan ... dia belum mati?
Pada saat-saat genting inilah, lagi-lagi makhluk ini mempertontonkan kepada kami bahwa dia bukanlah makhluk sembarang makhluk.
Dia benar-benar sakti.
Diawali dengan pijar kecil, matanya bercahaya semula. Bahkan, kini jauh lebih terang, dan lebih garang dari sebelumnya. Hanya dalam hitungan detik, ia sudah bangkit dan melayang di udara.
Dari jarak sekitar tiga meter dengan para pemegang kayu api menyala, makhluk aneh itu menjulurkan lidah, lalu menyedot semua nyala api yang ada.
Wush!
Api pun padam dalam seketika. Tersentak! Kami tersentak hebat dibuatnya. Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama. Tidak berapa lama kemudian, kami kembali bergemuruh.
"Serang makhluk jadi-jadian itu ... !"
Seketika itu juga, kembali secara bersamaan, kami melancarkan penyerangan.
Akan tetapi, karena ia sudah berada dalam posisi terbang, dan mulai jauh dari jangkauan, maka kami hanya bisa melemparinya dari berbagai arah.
Sedangkan dia, dia membalas dengan terbang jauh lebih tinggi lagi. Selang tidak berapa lama kemudian, ia sudah tidak tergapai, hingga pada akhirnya ia pun terbebas dari kepungan.
Meskipun demikian, kami masih coba untuk mengejar, mengikuti ke arah mana ia terbang. Jauh, tinggi. Makhluk tersebut bahkan sudah nyaris tak terlihat lagi.
Tidak berapa lama kemudian, di saat kami mulai pasrah, tiba-tiba seseorang mengucap lantang, "Di sana! Dia ada di sana, di rumah Pak Modin!"
"Terbang menuju rumah Bapak Modin? Mau apa dia di sana? Cari mati, ya?" gumamku.
Bersamaan dengan itu, serentak ke semua kami berbondong-bondong menuju arah yang dimaksud.
Kejadian berikutnya berlaku sangat singkat. Saat aku dan para warga menjejakkan kaki di halaman rumah pak Modin, kami hanya disambut dengan keterangan dari sang empunya rumah, yaitu salah satu dari anak lelaki pak Modin.
Menurut keterangan sang empunya rumah, makhluk tersebut masuk, lalu menggelinding dalam rumah. Terakhir, ia terlihat menggelinding ke kamar pak Modin. Entah apa yang ia inginkan di kamar tersebut.
Karenanya, spontan itu memicu kekhawatiran Rajab, anak pak Modin yang dimaksud.
Sadar tengah berhadapan dengan apa dan siapa, Rajab sigap menuju pintu depan, tempat dimana biasanya orang kampung menyiagakan penjaga rumah, yakni senjata tajam.
Diraihnya golok yang tergantung di balik daun pintu, kemudian bergegas menuju kamar tempat di mana makhluk itu menggelinding. Akan tetapi, sayang, makhluk tersebut sudah keburu menghilang. Ia tidak lagi terlihat di situ.
Di dalam kamar, saat Rajab beranjak meraih parang :
Makhluk tersebut sempat beradu kesaktian dengan pak Modin. Akan tetapi, pak Modin bukanlah orang sembarangan. Makhluk tersebut telah berjumpa lawan yang seimbang dengan kesaktiannya. Pada akhir pertarungan gaib yang hanya berlangsung sekian menit tersebut, si kepala buntung hanya bisa menggeser bantal yang ditiduri pak Modin, tetapi tidak dengan tubuh sakti beliau.
Pertarungan yang berakhir imbang itu, hanya menyisakan berpindahnya posisi bantal dari kepala pak Modin ke bawah jendela kamar, tempat yang diduga sebagai tempat terakhir digunakan makhluk tersebut sebagai jalan keluar dalam upayanya untuk melarikan diri. Selebihnya, tidak ada apa pun lagi.
Demikian keterangan dari Rajab dan digenapi oleh Bapak Modin sendiri.
Setelahnya, tidak ada lagi.
Kami sangat menyayangkan karena tidak sempat mengenali wajah orang di balik makhluk jadi-jadian tersebut.
"Tunggu saja. Besok pasti ketahuan siapa orangnya. Saya sudah kasi dia tanda di pinggul. Besok kalau ada orang yang datang ke sini jalannya pincang-pincang, a ... dialah orangnya," ujar Pak Modin membuyarkan keheningan kami.
Sontak saja kami saling adu pandang. Bersamaan dengan itu, kembali Pak Modin menambahkan beberapa hal. Kata Pak Modin yang bernama lengkap Abdul Rozak ini, saat makhluk tersebut coba menyerangnya, tadi dia hanya pura-pura tidur.
Ternyata, masih menurut pengakuan beliau, begitulah cara pertarungan gaib. Hanya mata batin yang digunakan untuk melihat lawan.
Pun, usai berbincang-bincang alakadarnya, juga berhubung karena sudah menjelang waktu subuh, kami untuk pamit pulang ke rumah masing-masing.
"Besok pagi kalian datanglah berkumpul di sini. Nanti kita panggil orang yang jadi makhluk jadi-jadian itu. Besok, dia pasti akan datang dengan sendirinya ke rumah ini."
Bapak Modin meyakinkan, sebelum kami meninggalkan pekarangan rumah beliau.
***
Ke esokan paginya, lewat bisik-bisik teman-teman, barulah aku tahu, dan sadar bahwa saat koma dan pura-pura mati semalam, makhluk tersebut sebenarnya hanya mengulur waktu, demi menunggu memudarnya pengaruh mantra yang ada pada tubuhnya.
***
Sekira pukul 10 pagi, kami mulai berhimpun di pekarangan rumah pak Modin.
Di sini, ada Kepala Desa, para sepuh, para Tetua, juga warga yang jumlahnya cukup banyak.
Antusiasme warga yang begitu tinggi, membuat sebagian warga menyarankan untuk bergotongroyong mendirikan tenda sebagai tempat berlindung dari panasnya sinar matahari.
Disepakati oleh mayoritas warga.
Pun, didirikanlah tenda. Kursi plastik yang ada di balai desa pun kami angkut, lalu kami jajar di halaman rumah pak Modin. Karenanya, suasananya lebih mirip acara pernikahan atau semacamnya ketimbang acara kumpul-kumpul biasa.
Setelah semuanya dianggap sudah siap, barulah puncak kegiatan yang ditunggu-tunggu sejak tadi. Menurut kasak-kusuk, berdasarkan perintah pak Modin, dan telah disetujui oleh Kepala Desa, sepuh, dan para Tetua, ritual akan dimulai dengan membakar Cabai Merah. Konon, sebelum dibakar, cabai tersebut sudah lebih dulu diberi mantra oleh pak Modin. Ibu-ibu di dapur yang diminta untuk membakar cabainya.
Tidak berapa lama kemudian, ritual pemanggilan Wurake pun berlangsung.
Sampai di sini, sangat jelas jika warga tampak tidak sabar ingin melihat siapa yang datang pada proses pemanggilan secara gaib kali ini.
Mama Yohana.
Lagi-lagi, nama itulah yang berulang kali diam-diam disebut oleh hadirin yang ada, tidak terkecuali aku. Aku bahkan sejak tadi malam diam-diam menyebut nama itu.
Selang tidak berapa lama kemudian, orang yang ditunggu akhirnya datang juga.
Berpasang-pasang mata, fokus menatap lekat pada seseorang yang sangat diharapkan kehadirannya.
Dia bukan Mama Yohana? Benar! Dia bukanlah seorang wanita sebagaimana dugaan kami.
Ya, Tuhan, kenapa harus dia?